Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dikabarkan akan melakukan “modifikasi” Al-Qur’an. Rencana inipun sudah muncul sejak tahun 2018. Mengapa pemerintahan Xi Jinping merasa perlu akan sinifikasi Islam di Tiongkok?
“Before they turn the lights out” – Beyoncé, “XO” (2013)
Siapa yang tidak kenal dengan penyanyi asal Amerika Serikat (AS) yang bernama John Mayer? Penyanyi satu ini populer dengan lagu-lagunya seperti “Your Body Is a Wonderland” (2001), “You’re Gonna Live Forever in Me” (2017), dan “New Light” (2021).
Nah, ada satu lagu populer lain yang dinyanyikannya pada tahun 2014 yang berjudul “XO”. Bagi penggemar musik, pasti tahu bahwa lagu ini bukanlah lagu yang aslinya dibawakan oleh John, melainkan oleh Beyoncé.
Memang, lagu asli ini merupakan salah satu track dalam album Beyoncé (2013). Namun, “XO” yang dibawakan oleh John memiliki warnanya tersendiri – karena memanfaatkan suara mentah gitar yang membuat lagu ini terdengar lebih manis.
Upaya “modifikasi” dari versi asli seperti ini memang banyak dijumpai di dunia musik tetapi tidak bila agama yang menjadi pembahasan. Pasalnya, pemerintah Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dikabarkan berencana untuk “memodifikasi” Al-Qur’an agar sesuai dengan nilai-nilai Konfusianisme.
Kabarnya, upaya memadukan nilai-nilai Konghucu dan Islam ini bertujuan untuk menghalau “nilai dan ideologi” ekstremis. Rencana ini ditengarai juga berkaitan dengan masyarakat Xinjiang yang mayoritas merupakan umat Islam.
Selain Al-Qur’an, rencana memadukan Konfusianisme dengan agama yang suda hada sejak tahun 2018 ini juga menyasar sejumlah agama monoteistik lainnya, yakni Kristen dan Katolik.
Bagi sebagian umat Muslim, apa yang direncanakan oleh pemerintahan Xi Jinping di Tiongkok merupakan isu yang sensitif. Namun, mengapa pemerintahan Xi berani melakukannya? Apa kepentingan yang ingin dicapai?
Rekayasa Kultural ala Xi?
Melalui modifikasi atas panduan nilai-nilai agama, Tiongkok bisa jadi tengah mempersiapkan sebuah perubahan besar, yakni perubahan budaya. Bagaimanapun, budaya adalah inti dari dinamika dalam masyarakat.
Revolusi Tiongkok yang dicanangkan oleh Mao Zedong di Tiongkok pada tahun 1966 silam, misalnya, merupakan upaya untuk mengubah struktur budaya masyarakat Tiongkok yang dianggap terlalu kapitalistik. Revolusi ini akhirnya menyasar kelompok borjuis dan tradisional.
Tidak hanya Revolusi Kultural di Tiongkok, upaya untuk mengubah budaya juga pernah terjadi di Turki. Di bawah Mustafa Kemal Atatürk, Turki pada tahun 1923 menggeser struktur sosial-politik menjadi lebih sekuler – dengan tujuan untuk menjadi setara dengan peradaban Barat.
Selain Tiongkok dan Turki, ada juga Jepang yang menjalankan Restorasi Meiji pada tahun 1868. Upaya perubahan itu bahkan mengubah banyak struktur kultural Jepang dengan tujuan agar bisa sama kuatnya dengan negara-negara Barat seperti Amerika Serikat (AS).
Upaya untuk mengubah budaya sebuah masyarakat ini bisa dipahami dengan sebuah konsep yang disebut rekayasa kultural (cultural engineering). Saeid Golkar dalam tulisannya yang bejudul Cultural Engineering Under Authoritarian Regimes: Islamization of Universities in Postrevolutionary Iran menggunakan konsep ini untuk menjelaskan proses Islamisasi kampus di Iran.
Upaya Islamisasi ini dilakukan sekitar tahun 1980 – setahun setelah Revolusi Iran pada tahun 1979. Kala itu, kampus atau perguruan tinggi kerap menjadi sumber suara kritik – baik bagi pemerintahan sebelumnya, Mohammad Reza Pahlavi, atau bagi pemerintahan Republik Islam Iran yang dipimpin Ayatollah Ruhollah Khomeini.
Maka dari itu, rekayasa kultural dimulai dari kampus-kampus dengan melakukan perubahan staf dan manajemen – diisi oleh orang-orang yang lebih sejalan dengan pemerintahan Republik Islam Iran. Tidak hanya staf dan dosen, mahasiswa-mahasiswi-pun juga digantikan.
Bukan tidak mungkin, berkaca dari contoh-contoh rekayasa kultural di atas, upaya “modifikasi” Al-Qur’an yang dilakukan pemerintahan Xi adalah salah satu bentuk rekayasa kultural – katakanlah untuk mengubah struktur sosial-politik di wilayah-wilayah tertentu seperti Xinjiang.
Namun, mengapa Xi menginginkan hal demikian terjadi? Mungkinkah ini berkaitan dengan strategi Xi di masa mendatang?
Xi Jinping Lelah “Multi–tasking”?
Boleh jadi, upaya rekayasa kultural ini bertujuan untuk menyelesaikan satu urusan – sembari menghadapi urusan lainnya. Dalam arti lain, Xi harus menyusun strategi jangka panjang untuk menghadapi lawan-lawannya.
Mengacu ke tulisan Robert D. Putnam yang berjudul Diplomacy and Domestic Politics: The Logic of Two-Level Games, terdapat dua tingkat permainan (games) yang harus dimainkan oleh pemerintahan suatu negara – yakni permainan politik domestik dan permainan politik internasional. Inipun berlaku untuk pemerintahan Xi di Tiongkok.
Di permainan domestik, Xi memang memiliki pengaruh yang kuat. Namun, bukan berarti tidak ada perlawanan bagi pemerintahan Xi.
Beberapa bulan lalu saat memasuki periode pemerintahannya yang ketiga, misalnya, terdapat suara-suara yang mengkritik pemerintahan Xi. Persoalan Uighur pun tidak kunjung usai seiring negara-negara Barat seperti AS semakin menyoroti persoalan itu.
Bukan tidak mungkin, upaya rekayasa kultural ala Xi bertujuan untuk menyelesaikan permaianan di satu tingkat dulu. Kemudian, Xi akan bisa lebih leluasa menjalankan permainan tingkat internasionalnya.
Apalagi, berbeda dengan pendahulunya seperti Deng Xiaoping yang menggunakan doktrin diplomasi yang “cari aman”, Xi justru mengandalkan diplomasi yang agresif, yakni wolf-warrior diplomacy – memiliki konsekuensi dan kemungkinan adanya gesekan lebih banyak dengan negara-negara Barat.
Alhasil, rekayasa kultural menjadi bagian dari strategi jangka panjang yang diambil Xi dalam mengarungi panggung politik dunia. Layaknya lirik lagu “XO” di awal tulisan, Xi perlu bergerak cepat sebelum Tiongkok kehilangan momentum untuk menjadi negara adidaya di masa mendatang. (A43)