Ganjar Pranowo menjadi salah satu sosok yang paling didukung untuk maju di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Namun, apabila membuat perbandingan, prestasi yang diperlihatkan Ganjar justru belum signifikan. Presiden Joko Widodo (Jokowi), misalnya, didukung karena memiliki warisan (legacy) politik mercusuar. Lantas, mengapa persepsi dukungan terhadap Ganjar begitu besar?
“The only true wisdom is in knowing you know nothing.” – Socrates, filsuf Yunani kuno
Dalam berbagai rilis survei elektabilitas, tidak jarang Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo menempati posisi pertama — minimal bercokol di tiga tertinggi. Bahkan, sejak tahun 2019, tepatnya setelah pelantikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk periode kedua, nama Ganjar sudah ramai disebut sebagai the next Jokowi.
Pada 29 Oktober kemarin, Ketua Jokowi Mania (JoMan) Immanuel Ebenezer juga menyebutkan bahwa dukungan terhadap Ganjar diberikannya karena Ganjar dilihat sebagai pengganti Jokowi. JoMan juga telah mengeluarkan tagline “Ganjar The Next Jokowi”.
Di berbagai linimasa media sosial, dukungan terhadap Ganjar juga deras terlihat. Di Instagram PinterPolitik, misalnya, ketika ada infografis tentang peluang Puan Maharani di 2024, komentar agar PDIP mengusung Ganjar masif terlihat. Dengan berbagai kontroversi yang ada, serta elektabilitas Puan yang masih rendah, mendukung Ganjar dinilai lebih masuk akal bagi banyak pihak.
Baca Juga: Relawan Jokowi Pecah, Ganjar Menguat?
Terlepas dari gelombang dukungan atas Ganjar, menjadi pertanyaan tersendiri, mengapa Gubernur Jateng ini banyak didukung maju di 2024? Apalagi, dukungan terhadapnya tiba-tiba mencuat selepas pelantikan Jokowi di periode kedua.
Jika membandingkan dengan Jokowi, mantan Wali Kota Solo ini memiliki legacy politik yang membuatnya mendapatkan dukungan masif. Sebelum ditarik ke Jakarta, Jokowi dikenal karena proyek ESEMKA yang menjadi pemberitaan nasional. Itu adalah politik mercusuar yang membuatnya dilihat dari berbagai penjuru provinsi.
Sementara Ganjar, sampai saat ini tidak memiliki politik mercusuar seperti Jokowi. Tidak ada terobosan politik yang membuatnya khas. Ini berbeda dengan Jokowi yang disebut mempopulerkan blusukan.
Lantas, dengan ketiadaan politik mercusuar dan terobosan politik, mengapa Ganjar mendapat dukungan masif untuk maju di 2024?
Dunning-Kruger Effect
Christopher H. Achen dan Larry Bartels dalam buku Democracy for Realists: Why Elections Do Not Produce Responsive Government memberikan penjabaran penting untuk menjawab pertanyaan tersebut. Berbeda dengan sistem politik lainnya, demokrasi memberikan akses dan kesempatan bagi masyarakat untuk memilih pemimpin atau pembuat undang-undang. Jika mengacu pada Samuel Huntington, ini adalah kemewahan yang baru muncul pada kuartal pertama abad ke-19 – gelombang pertama demokratisasi.
Masalahnya adalah, seperti penegasan Achen dan Bartels, voters atau pemilih tidak memiliki preferensi yang koheren, cenderung irasional, dan penalarannya terkadang kontradiktif dalam memilih pemimpin dan legislator. Dengan kata lain, masalah buruknya kualitas pemerintahan sebenarnya ada pada voters karena tidak memiliki kemampuan mumpuni dalam memilih.
Dalam terang psikologi, fenomena ini dapat kita pahami menggunakan Dunning-Kruger effect. Ini adalah konsep psikologi yang diambil dari tulisan David Dunning dan Justin Kruger yang berjudul Unskilled and unaware of it: how difficulties in recognizing one’s own incompetence lead to inflated self-assessments.
Tulisan yang diterbitkan pada tahun 1999 itu menjelaskan bias kognitif yang terjadi ketika kita melebih-lebihkan pengetahuan atau kemampuan di bidang tertentu. Ini terjadi karena kita jarang merefleksikan atau merenungkan seberapa dalam kita mengetahui sesuatu. Sering kali kita hanyut dalam kepercayaan diri dan malu mengakui ketidaktahuan. Seperti kutipan pernyataan Socrates di awal tulisan, kebijaksanaan yang sebenarnya adalah mengetahui apa yang tidak kita ketahui.
Baca Juga: Kenapa Jokowi Bisa Jadi Presiden?
Pada konteks politik, Dunning-Kruger effect sangat jelas terlihat. Contohnya dalam menentukan kinerja Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto. Untuk melakukan penilaian, setidaknya kita butuh pengetahuan yang cukup terkait isu-isu keamanan, peta konflik global, alutsista, bentuk-bentuk ancaman, dan kebutuhan militer nasional.
Namun, alih-alih menilai variabel kompleks seperti itu, berbagai pihak, khususnya masyarakat umum melakukan penilaian sederhana, seperti melihat ketegasan Prabowo dan diplomasi pertahanan yang dilakukannya. Pertama, dan ini yang terpenting, secara personal Prabowo memang tegas, sehingga itu bukan ukuran menilai kinerja. Kedua, diplomasi pertahanan adalah aktivitas lumrah Menhan, menteri-menteri sebelumnya juga melakukan hal serupa. Prestasi Prabowo baru dapat dilihat apabila ia mampu mendatangkan alutsista mutakhir atau mengembangkan alutsista nasional.
Sean Illing dalam wawancara bersama Achen dan Bartels yang dimuat Vox, menyebutkan, karena kurangnya kemampuan dalam melakukan penilaian, voters kemudian menentukan pilihannya berdasarkan figur. Cara penentuannya juga sederhana, yakni mencari figur yang dinilai akan memperjuangkan harapan politik mereka.
Secara khusus, kecenderungan tersebut disebut dengan mimesis atau imitasi. Duncan Reyburn dalam tulisannya Kindly Scandal menyebutkan mimesis sebagai perilaku adaptif manusia untuk membuat dirinya mirip dengan lingkungan sekitarnya. Menariknya, mimesis ini tidak hanya terjadi dalam konteks survival atau bertahan hidup, melainkan juga pada konteks relasi sosial, seperti memilih pasangan dan pemimpin.
Penilaian berdasarkan figur jelas terlihat pada kasus penilaian kinerja Prabowo. Pun demikian dengan keputusan mendukung Ganjar. Dengan belum adanya politik mercusuar dan terobosan politik mentereng, keputusan untuk mendukung Ganjar dominan bertolak pada konteks figur. Ia dinilai sebagai figur yang merakyat, sederhana, dan bukan dari kalangan elite seperti Puan Maharani.
Apa yang Ditakutkan?
Menariknya, sekitar tahun 360 SM, dalam buku Republic, Plato telah menggambarkan fenomena ini. Pada bab Book VI, Plato menceritakan percakapan Socrates dengan Adeimantus yang tengah membandingkan proses pemilihan pemimpin di demokrasi dengan di kapal.
Socrates memberi pertanyaan, siapa yang ideal untuk bertanggung jawab untuk memimpin kapal? Siapa saja atau orang yang dididik tentang aturan dan tuntutan pelaut? Yang terakhir tentu saja, jawab Adeimantus. Lanjut Socrates, lantas mengapa hal yang sama tidak diterapkan dalam memilih pemimpin di demokrasi? Tegasnya, memilih pemimpin adalah keterampilan. Butuh pengetahuan untuk melakukannya, bukannya intuisi acak.
Dalam artikel PinterPolitik yang berjudul Ganjar Perlu Dengar Rocky?, persoalan ini juga menjadi jantung perhatian. Dengan tidak adanya pertarungan gagasan di hadapan publik, bagaimana masyarakat menentukan seorang kandidat layak untuk memimpin?
Apakah kita pernah melihat Ganjar memaparkan gagasan-gagasan cerdasnya? Apakah ia pernah membedah masalah politik, ekonomi, sosial, budaya, dan hukum Indonesia? Kemudian yang terpenting, apakah ia pernah menunjukkan kehebatannya dalam menjawab persoalan-persoalan tersebut?
Rasa-rasanya tidak pernah. Masyarakat hanya disuguhkan survei-survei elektabilitas dan pemberitaan media. Yang ada adalah kunjungan kerja Ganjar ke berbagai tempat atau publikasi kegiatannya. Dan yang menarik, ada narasi Ganjar vs Puan yang seolah merepresentasikan elite vs rakyat. Ganjar adalah harapan rakyat melawan Puan sebagai representasi putri penguasa.
Baca Juga: Kenapa PDIP Tidak Pecat Ganjar?
Apalagi, di tengah penetrasi komunikasi digital, khususnya media sosial, konsep hiperrealitas (hyperreality) yang dijelaskan sosiolog Prancis, Jean Baudrillard benar-benar terlihat. Hiperrealitas menjelaskan situasi ketika kita sulit menentukan mana yang riil dan mana yang citra.
Katakanlah Ganjar benar-benar merakyat, bagaimana kita memverifikasinya? Sekalipun bisa, seberapa banyak masyarakat yang memiliki privilese melakukan hal tersebut?
Yang ditakutkan, karena kesukaran pemilahan yang riil dan verifikasi, iklim politik kita hanya berkutat pada perang persepsi. Kekhawatiran tersebut sebenarnya sudah terlihat. Melihat berbagai perdebatan peluang kandidat untuk maju di 2024, umumnya perdebatan berkutat pada konteks elektabilitas dan citra, bukannya kemampuan memimpin, kecerdasan, atau kehebatan dalam membuat kebijakan publik.
Pada dasarnya, masalah ini tidak hanya pada kasus Ganjar, melainkan pada semua kandidat di berbagai proses pemilihan umum (pemilu), baik pemilihan presiden (pilpres), pemilihan kepala daerah (pilkada), maupun pemilihan legislatif (pileg). Seperti yang berulang kali ditegaskan oleh Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah, para kandidat harus berani menunjukkan gagasan dan idenya agar masyarakat mengetahui mereka layak untuk dipilih. (R53)