Insiden penganiayaan Ade Armando dalam aksi demonstrasi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) pada 11 April 2022 menjadi sorotan publik. Mengapa hal itu bisa terjadi? Mungkinkah ada narasi besar lain di belakangnya?
Aksi demonstrasi yang dilakukan Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) pada 11 April 2022 lalu menjadi topik perbincangan panas di tengah masyarakat. Di balik cerita tentang perjuangan menyampaikan aspirasi masyarakat, ada satu peristiwa menarik yang menjadi sorotan utama, yakni insiden penganiayaan dosen senior Universitas Indonesia (UI) Ade Armando. Ade dikabarkan dikeroyok, hingga ditelanjangi saat ia ikut berbaur bersama ribuan massa yang berdemo di depan gedung DPR.
Kapolda Metro Jaya, Irjen Fadil Imran telah memastikan pelaku penganiayaan terhadap dosen sekaligus pegiat media sosial tersebut bukanlah dari kalangan mahasiswa.
Fadil menegaskan, ada sekelompok massa non-mahasiswa yang diidentifikasi melakukan aksi kekerasan pada Ade setelah mahasiswa selesai menyampaikan aspirasi ke pihak DPR. Selain Ade sendiri, Fadil mengatakan ada 6 anggota kepolisian yang menderita luka-luka.
Selain penjelasan dari kepolisian, pihak BEM SI juga sudah menyampaikan pernyataannya terkait insiden kekerasan yang terjadi saat demo. Koordinator Media BEM SI, Luthfi Yufrizal mengatakan kerusuhan yang terjadi bukanlah dari pihak BEM SI.
Luthfi menyebut aksi yang dilakukan BEM SI telah berjalan secara damai dan sudah tersampaikan aspirasinya dengan baik. Baru setelah rombongan mahasiswa BEM SI bubar, Luthfi menyebut ada sejumlah oknum provokator dan penyusup yang berdatangan.
Ya, bagaimanapun aksi kekerasan terhadap sesama manusia tidak bisa dibenarkan. Mirisnya lagi, peristiwa penggebukan Ade telah membuat semacam pembelahan di masyarakat.
Di satu sisi ada yang menyebut tindakan tersebut tidak manusiawi, tetapi di sisi lain ada juga yang merasa puas Ade dianiaya, dengan alasan Ade memang selalu membuat pernyataan kontroversial di media sosial.
Lantas, bagaimana seharusnya kita memaknai peristiwa penganiayaan ini?
Kedaulatan pada Amukan Massa?
Secara gamblang, kasus penggebukan Ade Armando oleh sekelompok massa di jalanan adalah bentuk nyata dari apa yang disebut sebagai mobokrasi.
Pada dasarnya, mobokrasi berasal dari istilah mob yang artinya adalah “massa”, atau gerombolan orang-orang yang tidak teratur. Mobokrasi secara sederhana bisa diartikan sebagai pemerintahan yang diselenggarakan dan dilaksanakan oleh massa atau segerombolan orang yang tidak paham seluk-beluk pemerintahan.
Aristoteles dalam bukunya Politics, menjelaskan bentuk pemerintahan yang “bagus” ada tiga, yaitu monarki, aristokrasi, dan demokrasi. Tetapi, tiga bentuk pemerintahan tadi dibayang-bayangi oleh bentuk pemerintahan yang “terburuk”, yakni tirani, oligarki, dan mobokrasi.
Di dalam mobokrasi, massa yang mengamuk di jalanan cenderung akan mengabaikan rule of law atau aturan hukum, dan menempatkan amarah rakyat sebagai sumber kebenaran yang tertinggi. Mobokrasi juga mampu mengendalikan pemerintahan dengan menerapkan kontrol dan tekanan pada semua pihak, dengan sepenuhnya mengandalkan kekerasan.
Meski memiliki kemiripan, mobokrasi dan demokrasi harus dipahami secara berbeda. Di dalam demokrasi, pemusatan kekuatan utama ditempatkan publik yang memiliki hak untuk memilih dan mengganti pemimpin sesuai dengan konstitusi yang dianut. Namun dalam mobokrasi, aturan-aturan dasar yang mengatur aktivitas masyarakat, seperti konstitusi, tidak lagi dipercaya.
Alih-alih menjadi solusi, mobokrasi justru akan menimbulkan efek kekacauan, karena mengandaikan adanya pembagian kekuasaan yang merata, namun tidak terkontrol dan tanpa arah. Akibatnya, benar atau tidaknya suatu perilaku dalam negara akan sepenuhnya ditentukan oleh emosi massa, bukan melalui proses peradilan yang terstruktur dan sistematis.
Peter M. Shane dalam bukunya Madison’s Nightmare: How Executive Power Threatens American Democracy menyebut mobokrasi dalam demokrasi bisa terjadi ketika dihadapkan pada melemahnya dua hal, yakni penerapan aturan dan/atau terkikisnya civic culture atau budaya sipil.
Menurut Shane, selain karena merasa aspirasinya tidak dapat diwujudkan oleh negara, masyarakat akan berani melakukan tindak kekerasan untuk memaksa kebenaran versinya ketika melihat adanya kelemahan dalam komitmen penegakan hukum. Mobokrasi juga bisa terjadi ketika massa melihat negara tidak bisa berbuat banyak untuk melindungi target yang diincarnya.
Yuval Levin dalam tulisannya The Evils of Injustice and Danger of Mobocracy, menjelaskan mobokrasi muncul sebagai gejala politik dari salah satu hasrat manusia yang terdalam, yaitu rasa ingin bebas dari aturan.
Yang lebih bahayanya lagi adalah, Levin melihat aksi peradilan sepihak oleh massa ini dapat memberikan efek berantai ke lapisan masyarakat lain yang cenderung lebih patuh pada hukum.
Anarkisme yang terjadi bisa membuat mereka merasa tidak aman dan tidak percaya dengan penerapan aturan di negaranya. Dampaknya adalah mereka kemudian akan merasa perlu melindungi diri dengan ikut-ikut bertindak di atas hukum. Hal ini tentu berpotensi melahirkan aksi-aksi anarkis lain yang juga destruktif.
Oleh karena itu, intisari yang perlu kita ambil dari kasus penggebukan Ade Armando ini sesungguhnya adalah dampak luasnya, bukan hanya menyoroti kekerasannya. Karena, kita pun harus mengingat perkataan Martin Luther King Jr.: “kekerasan cenderung akan melahirkan lebih banyak kekerasan”.
Namun, itu hanya salah satu dari dampak besar yang bisa berkembang dari aksi mobokrasi. Lantas, apakah kira-kira insiden penggebukan Ade Armando ini menyimpan alasan besar lain?
Ada Perang Isu?
Di dalam dunia sains, ada sebuah istilah menarik bernama Active Noise Control (ANC). Ini adalah metode yang digunakan untuk mengurangi suara yang tidak diinginkan dengan menambahkan suara tandingan yang dirancang khusus untuk membatalkan suara pertama.
Metode noise-cancelling atau pembatalan suara seperti ini bisa kita temukan di beberapa hal, seperti dalam penggunaan headphone, atau penggunaan jendela anti-kebisingan yang tengah dikembangkan Nanyang Technological University, Singapura, untuk menjawab permasalahan polusi suara di lingkungan perkotaan.
Taktik semacam ANC ini ternyata juga tidak asing digunakan dalam dunia komunikasi politik dan manajemen isu. Ashani Amarasinghe dalam tulisannya Diverting Domestic Turmoil, mengatakan isu adalah sebuah alat politik, ia mampu berfungsi sebagai alat yang dapat membelokkan perhatian publik dari isu lain yang sedang terjadi.
Terlebih lagi, sekarang adalah era di mana media dan narasi verbal telah menjadi makanan utama publik. Karena itu, Ashani menilai, isu yang dimunculkan ke publik di zaman modern ini kuat dugaannya memiliki peran strategis untuk mengalihkan gejolak domestik, dan pengalihan tersebut dilakukan dengan tujuan untuk menghindari bahaya skala besar atau risiko pembalasan dari isu yang terlebih dahulu populer.
Dalam konteks penggebukan Ade Armando, mantan Aktivis 98 yang juga mantan pengurus HMI MPO Cabang Jakarta, Dail Maruf menilai bahwa itu adalah sebuah pengalihan isu. Masyarakat yang tadinya menunggu-nunggu hasil demo yang dilakukan BEM SI, kini teralihkan dengan insiden mengerikan tersebut.
Dail menyebut, kemunculan Ade Armando adalah salah satu skenario untuk memukul balik para pendemo, terlebih lagi setelah terjadinya penganiayaan, narasi aksi demo telah ditunggangi dan disusupi mulai muncul. Ini menurut Dail berpotensi membuat aksi yang dilakukan mahasiswa terlihat sebagai aksi anarkis, bukan aksi yang damai.
Pandangan demikian sebelumnya juga sudah disampaikan dalam artikel PinterPolitik yang berjudul Misteri Propaganda BEM SI. Kekerasan yang terjadi dalam aksi demonstrasi dapat menjadikan kata “demonstrasi” sebagai kata peyoratif.
Kata peyoratif adalah kata yang telah melalui proses menjadi memiliki makna yang negatif, padahal kata aslinya bernilai netral atau justru baik.
Dengan menempelkan kesan yang negatif pada kata “demonstrasi”, ke depannya kelompok sosial yang ingin melakukan aksi demo akan berpikir dua kali karena apa yang mereka lakukan bisa jadi telah menjadi hal yang dibenci dan ditakuti oleh masyarakat.
Well, pada akhirnya itu semua hanyalah interpretasi belaka. Bagaimana pun juga, insiden penggebukan yang menimpa Ade Armando adalah sebuah hal yang sangat disesali.
Karena, seperti kata salah satu ahli saraf paling terkenal di dunia, Abhijit Naskar: “Sangat penting bahwa semua gejolak massa dipandu oleh dorongan untuk keadilan, bukan keinginan untuk membalas dendam.” (D74)