HomeHeadlineKoalisi Raksasa Prabowo Kandas Karena HAM?

Koalisi Raksasa Prabowo Kandas Karena HAM?

Partai Golkar dan PAN resmi mendeklarasikan dukungan kepada Prabowo Subianto di Pilpres 2024. Dukungan kedua partai itu menempatkan koalisi Prabowo sebagai yang terbesar saat ini. Jauh meninggalkan Koalisi Perubahan dan PDIP. Lantas, apakah sokongan koalisi raksasa adalah jaminan kemenangan untuk Prabowo di Pilpres 2024?


PinterPolitik.com

“Politics is not an exact science.” – Otto von Bismarck

Terjawab sudah ke mana Partai Golkar dan PAN memberikan dukungannya di Pilpres 2024. Diumumkan di Museum Proklamasi, Jakarta Pusat pada Minggu, 13 Agustus 2023, Golkar dan PAN resmi mendukung Prabowo Subianto.

Dipilihnya Museum Proklamasi terbilang sangat menarik. Dengan jelas itu adalah permainan simbol politik. Seolah ingin disampaikan bahwa Prabowo akan membawa “kemerdekaan” untuk Indonesia di 2024.

Tentu maknanya tidak sama dengan proklamasi Soekarno-Hatta, melainkan bermakna kemenangan di Pilpres 2024. Ini adalah awal mula Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto. Kira-kira begitu.

Seperti diterangkan Kelebogile T. Resane dalam tulisannya Statues, Symbols and Signages: Monuments Towards Socio-Political Divisions, Dominance and Patriotism?, monumen atau tempat bersejarah memainkan peranan penting dalam politik karena dapat menjadi pengikat ingatan kolektif atas pergerakan politik yang pernah dilakukan.

Angka Bukan Segalanya

Kini sudah lima parpol yang resmi mendeklarasikan dukungan terhadap Prabowo Subianto, yakni Partai Gerindra, PKB, PBB, Partai Golkar, dan PAN. Dari kelimanya hanya PBB yang merupakan partai non-parlemen.

Masuknya Golkar dan PAN bukan hanya angin segar melainkan penambahan kekuatan yang luar biasa. Kini, koalisi pendukung Prabowo adalah yang terbesar. Koalisi ini total mengumpulkan 265 dari 575 kursi DPR RI. Jauh meninggalkan Koalisi Perubahan dengan 163 kursi, dan koalisi PDIP yang hanya 147 kursi DPR RI.

Anies BaswedanGanjar PranowoPrabowo Subianto
NasDem 59 kursiPDIP 128 kursiGerindra 78 kursi
PKS 50 kursiPPP 19 kursiPKB 58 kursi
Demokrat 54 kursi Golkar 85 kursi
  PAN 44 kursi
Total: 163 kursi (28,34%)Total: 147 kursi (25,56%)Total: 265 kursi (46,08%)

Namun, jika kemudian dikatakan masuknya Golkar dan PAN adalah jaminan kemenangan, itu adalah kesimpulan yang prematur. Seperti pernyataan Otto von Bismarck di awal tulisan, politik bukanlah ilmu eksak. Empat tidak selalu menang melawan tiga atau dua.

Baca juga :  Prabowo, Trump, dan Sigma-isme

Menengok ke belakang, disokong koalisi terbesar tidak selalu membawa kemenangan. Pada Pilpres 2014, misalnya, koalisi Prabowo-Hatta Rajasa jauh lebih besar dari Jokowi. Tapi sejarah justru mencatat kemenangan untuk koalisi Jokowi-Jusuf Kalla (JK).

Pilpres 2014Parpol KoalisiKursi DPR RIPerolehan Suara
Prabowo-HattaGolkar, Gerindra, PAN, PKS, PPP, PBB292/560 (52,14%)62,57 juta (46,85%)
Jokowi-JKPDIP, PKB, NasDem, Hanura207/560 (36,96%)70,99 juta (53,15%)

Tidak hanya di politik, sejarah juga mencatat berbagai perang yang justru dimenangkan oleh pasukan yang lebih sedikit. Perang Kemerdekaan Amerika Serikat (AS) adalah contohnya. Pasukan AS yang lebih kecil dan kurang terlatih berhasil memenangkan perang melawan kekuatan besar Inggris pada abad ke-18. Kemenangan itu menggunakan taktik gerilya, dukungan dari pihak luar seperti Prancis, serta pemahaman tentang medan tempur lokal.

Ada pula Perang Thermopylae pada 480 SM. Pasukan Yunani yang jauh lebih sedikit, dipimpin oleh Raja Leonidas I dari Sparta, berhasil menahan pasukan Persia yang jauh lebih besar di celah sempit antara pegunungan dan laut.

Bertolak pada Pilpres 2014, Perang Kemerdekaan AS maupun Perang Thermopylae, faktor utama kemenangan bukanlah besar koalisi ataupun jumlah pasukan. Meskipun kuantitas menentukan, tapi perpaduan taktik dan strategi di lapangan adalah kunci yang sebenarnya.

Seperti kutipan Sun Tzu yang terkenal dalam bukunya The Art of War: “Strategy without tactics is the slowest route to victory. Tactics without strategy is the noise before defeat.”

Prabowo Masih Dihantui

Untuk meraih kemenangan di Pilpres 2024, koalisi Prabowo tidak boleh berpuas diri dengan besarnya koalisi yang sudah terbentuk. Pilpres 2014 adalah pelajaran berharga yang harus menjadi catatan penting.

Baca juga :  Creative Destruction Efisiensi Prabowo

Selain soal kuantitas bukan segalanya, ada satu lagi ganjalan yang menghantui Prabowo, yakni isu HAM masa lalu. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa isu HAM, khususnya penculikan aktivitas ’98, selalu menjadi palu godam untuk menghancurkan citra Prabowo di setiap gelaran pilpres.

Konteks itu harus diselesaikan jika Prabowo ingin mengoptimalkan keterpilihannya. Pasalnya, selama ini isu HAM tersebut dibiarkan abu-abu dan menjadi bahan gosip di warung kopi.

Sebelumnya, perlu diketahui bahwa keterpilihan atau elektabilitas (electability) adalah akumulasi dari tiga variabel, yakni keterkenalan atau popularitas (popularity), kesukaan (likability), dan reputasi (reputation).

[Popularity] + [Likability] + [Reputation] = Electability

Apa yang kurang dari Prabowo saat ini adalah reputasi. Citra sebagai pelanggar HAM adalah batu ganjalan serius terhadap reputasi sang mantan Danjen Kopassus. Ini misalnya dapat dilihat dalam infografis PinterPolitik di Instagram yang bertajuk Kenapa Tidak Memilih?. Per 13 Agustus 2023, infografis itu sudah mendapat 29.987 likes dan 3.653 komentar.

Infografis yang diunggah pada 2 Agustus 2023 itu berisi dua sentimen utama warganet terkait alasannya tidak memilih bacapres tertentu. Untuk Prabowo, sentimen utamanya adalah (1) isu HAM masa lalu, dan (2) bagian dari Orde Baru, khususnya karena merupakan keluarga Cendana.

Sekarang pekerjaan berat untuk Prabowo, mungkin tepatnya untuk tim pemenangan Prabowo adalah memperbaiki reputasi sang jenderal. Harus dibuat sejernih mungkin bahwa Prabowo bukanlah pelanggar HAM masa lalu.

Jika itu berhasil dilakukan, dapat dipastikan elektabilitas Prabowo akan melejit. Pasalnya, bicara popularitas dan likability, dua variabel itu sudah sangat besar. Terkait popularitas, siapa yang tidak kenal Prabowo Subianto?

Kemudian terkait likability, itu dapat dilihat dari banyaknya masyarakat yang mengidolai Prabowo. Di berbagai lini media sosial, misalnya, dengan mudah dapat dilihat konten-konten yang memuji Prabowo, baik secara fisik, ideologi, maupun kinerjanya.

Sejauh ini, pekerjaan untuk memperbaiki reputasi Prabowo terlihat sudah dilakukan dan memiliki progres yang baik. Di akun media sosial Prabowo, misalnya, konten-kontennya tidak sekaku sebelumnya. Terlihat lebih cair dan humanis.  

Well, kita lihat saja hasilnya. Menarik untuk dinantikan. (R53)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Jokowi dan Misteri “Kepunahan” Kelas Menengah 

Perbincangan seputar berkurangnya kelas ekonomi menengah Indonesia belakangan tengah ramai. Mengapa hal ini bisa terjadi? Mungkinkah ada kesalahan sistemik di baliknya? 

Creative Destruction Efisiensi Prabowo

Efisiensi anggaran negara yang tengah didorong Presiden Prabowo nyatanya mendapatkan gejolak dan tentangan.

Balada Rakyat Ekonomis dan Pejabat Hedonis

Pameran kemewahan pejabat, seperti patwal Raffi Ahmad, perdalam kecemburuan rakyat. Mengapa ini perlu jadi perhatian pemerintahan Prabowo?

Why Always Bahlil?

Upaya penertiban dan penataan subsidi LPG 3 Kg entah kenapa malah jadi resistensi dan mengarah langsung ke Menteri ESDM Bahlil Lahadalia. Padahal, terlepas dari eksekusi di awal yang harus diakui kurang rapi, kebijakan tak populer ini memiliki esensi sangat positif. Hal itu memantik interpretasi mengenai “perlawanan” kuat yang bisa saja terorkestrasi. Benarkah demikian?

IKN House Has Fallen!

Pemblokiran anggaran IKN Nusantara lemahkan pengaruh Jokowi, membuka peluang bagi Megawati untuk perkuat posisinya dalam politik Prabowo.

Ini Jurus Rahasia Trump “Perkasakan” Amerika? 

Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump berniat mendirikan sovereign wealth fund (SWF). Keputusan ini dinilai jadi keputusan yang sangat besar dan berdampak ke seluruh dunia, mengapa demikian? 

Prabowo dan The Intra-Elite Enemy

Masalah penataan distribusi gas LPG 3 kilogram menjadi sorotan terbaru publik pada pemerintahan Prabowo.

Prabowo Ditantang Memecat PNS?

Diskursus efisiensi anggaran negara turut mengarah pada peringkasan jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang gaungnya telah lama terdengar. Ihwal yang tak kunjung terealisasi dan berubah menjadi semacam “mitos”. Beberapa sampel di negara lain seperti Argentina, Amerika Serikat, hingga Singapura kiranya dapat menjadi refleksi. Lalu, mampukah Presiden Prabowo mendobrak mitos tersebut?

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...