Site icon PinterPolitik.com

Koalisi Keumatan, Apa untuk Umat?

Koalisi Keumatan, Apa untuk Umat?

Pertemuan Amien Rais dan Prabowo Subianto dengan Rizieq Shihab di tanah suci menguatkan wacana Koalisi Keumatan. (Foto: Istimewa)

Imam Besar FPI Rizieq Shihab menyerukan Gerindra, PKS, PAN, dan PBB untuk bersatu membentuk Koalisi Keumatan.


PinterPolitik.com

Alhamdulillah, impian umat untuk memilki koalisi khusus untuk mereka kini akan segera terwujud. Pentolan Aksi 212 yang juga Imam Besar FPI, Rizieq Shihab menyerukan dari tanah suci agar koalisi ini dibentuk dalam waktu dekat. Nama koalisi ini telah disiapkan: Koalisi Keumatan.

Empat partai dikabarkan siap untuk menyambut seruan sang Habib membentuk Koalisi Keumatan. Gerindra, PKS, PAN, dan PBB adalah partai-partai yang dirindukan Rizieq untuk menjadi pondasi koalisi tersebut.  Meski belum resmi bergabung, keempat partai tersebut telah menyatakan ketertarikan mereka pada seruan Rizieq tersebut.

Bagi sebagian orang, koalisi ini dapat menjadi angin segar dalam proses pencarian pemimpin dambaan umat. Akan tetapi, bagi beberapa orang yang lain, penggunaan kata “umat” dalam Koalisi Keumatan dianggap problematik karena bisa memecah-belah masyarakat.

Selain penggunaan istilah “umat”, koalisi ini juga dipertanyakan kans kemenangannya. Jika dibandingkan dengan koalisi Presiden Joko Widodo (Jokowi), akankah koalisi ini memiliki kesempatan menang yang tinggi? Lalu, siapa yang bisa mereka usung untuk mewujudkan pemimpin dambaan umat?

Partai-partai Peduli Umat

Jika dilihat, spektrum partai-partai yang direncanakan tergabung dalam Koalisi Keumatan tergolong beragam. Meski koalisi ini berbau agama, nyatanya tidak semua partai memiliki platform dengan basis ideologi agama secara spesifik.

Gerindra misalnya, di dalam visi dan misinya tidak pernah secara spesifik membahas urusan agama Islam dan kepentingan umat. Berdasarkan visi dan misi mereka, terlihat bahwa unsur nasionalis lebih kentara ketimbang nuansa keumatan.

Dalam visi partai tersebut disebutkan secara jelas bahwa mereka bercita-cita mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial dengan berlandaskan pada nilai nasionalisme. Mereka memang menyebutkan kata religiusitas pada visi mereka, tetapi mereka tidak merinci unsur agama atau umat mana yang dijunjung.

Sementara itu, PAN memiliki visi yang sedikit berbeda dibandingkan Gerindra. PAN memang dikenal identik dengan salah satu ormas Islam terbesar di negeri ini, yaitu Muhammadiyah. Maka nuansa Islam sudah sepantasnya lebih kental ketimbang Gerindra.

Di ujung visi partai berlogo matahari tersebut, terdapat kata-kata “…diridhoi Allah Swt., Tuhan Yang Maha Esa.” Terlihat bahwa unsur keislaman lebih nampak pada visi PAN. Meski demikian, dalam misi mereka, tidak ada hal-hal spesifik yang berbau agama. Semuanya hanya bersifat umum, seperti mewujudkan Indonesia maju, demokratis, bersatu, berdaulat, dan lain sebagainya. Sulit untuk melihat PAN sebagai partai Islam yang bekerja penuh untuk umat secara utuh.

Barangkali, nuansa keumatan baru nampak pada dua partai yang lain, yaitu PKS dan PBB. PKS misalnya, banyak menyebut kepentingan umat Islam di dalam visi dan misi partai mereka. Ada banyak referensi ke dalam Alquran dari visi-misi partai pimpinan Sohibul Iman tersebut.

Ada satu hal yang menarik dalam uraian visi-misi  PKS di situsnya. Mereka menyebut bahwa memisahkan umat Islam dari politik adalah hal yang mustahil dan bahkan ahistoris. Partai berlogo bulan dan padi tersebut tampak ingin memperjuangkan aspirasi umat Islam tersebut untuk mewujudkan masyarakat madani.

Serupa dengan PKS, PBB juga tergolong kuat aroma ideologi Islamnya. Mereka memang sejak lama tidak pernah ragu mengumbar cita-cita mereka untuk mewujudkan Indonesia yang sesuai dengan syariat Islam. Jika ditarik jauh secara historis, PBB memang diklaim mewarisi perjuangan Masyumi, salah satu Partai Islam terkemuka yang pernah dibubarkan oleh Soekarno.

Secara tegas, partai pimpinan Yusril Ihza Mahendra ini menyebutkan bahwa terwujudnya masyarakat Indonesia yang Islami sebagai visi mereka. Mereka juga menjelaskan dalam misi untuk membangun bangsa Indonesia berdasarkan nilai-nilai Islam.

Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut, terlihat bahwa keempat partai tidak memiliki ideologi sama persis. Tidak semua fokus pada hal-hal berbau Islam. Gerindra bahkan tergolong jauh dari isu-isu keumatan ketimbang parta-partai lainnya.

Beda Ideologi Koalisi Keumatan

Lantas, bagaimana partai lintas ideologi ini bisa mewujudkan keinginan umat – yang adalah koalisi bernapas agama? Jika melihat perbedaan dasar mereka, sulit untuk melihat bahwa mereka benar-benar bekerja untuk kepentingan umat Islam. Koalisi Keumatan yang akan dibentuk boleh jadi hanya menjadi marketing gimmick belaka.

Jika koalisi ini diwujudkan, maka hampir dapat dipastikan koalisi yang terbentuk tidak akan bersifat policy-seeking. Platform dan ideologi masing-masing partai terlalu beragam untuk dikategorikan pada bentuk koalisi tersebut. Berdasarkan kondisi ini, bisa dikatakan bahwa koalisi yang akan diwujudkan adalah vote-seeking coalition, gagasan yang dikemukakan oleh Kaare Strom.

Apabila benar-benar terwujud, tujuan koalisi ini tidak lain hanya menyatukan suara-suara dari partai yang kerap bersikap keras pada pemerintahan Jokowi. Menggabungkan suara-suara ini jelas jauh lebih mudah jika harus memaksakan policy-seeking berbasis ideologi.

Koalisi Keumatan dapat dipandang hanya sebagai cara untuk menumbangkan koalisi lain yang lebih dahulu terbentuk: koalisi pendukung Jokowi. Sebagaimana diketahui, keempat partai ini dikenal sebagai partai-partai yang tergolong rajin melakukan kritik pada Jokowi.

Berdasarkan kondisi tersebut, terlihat bahwa koalisi hanya dibentuk untuk melawan sosok musuh atau adversary. Menurut William H. Riker, koalisi partai memang tidak hanya berbasis pada kesamaan platform semata, tetapi juga sebagai sebuah strategi untuk melawan sosok adversary tersebut.

Selain itu, sebagai sebuah marketing gimmick, koalisi ini juga dapat dikatakan hanya dimaksudkan untuk menarik suara dari kalangan pemilih Muslim saja. Saat ini, identitas berbau Islam memang tengah menguat seiring dengan geliat para pegiat aksi 212 dan turunannya.

Koalisi Keumatan jelas lebih mudah memukau massa Islam, terutama mereka yang terbawa euforia Aksi Bela Islam dan aksi-aksi lanjutannya. Jenama Koalisi Keumatan hanya menjadi pembeda khusus untuk menjual gagasan koalisi kepada massa tersebut.

Meski berpotensi menarik massa pendukung Aksi 212, nama Koalisi Keumatan sebenarnya menyimpan potensi bahaya. Penggunaan istilah “umat” pada koalisi tersebut bisa saja menimbulkan klasifikasi umat dan non-umat. Padahal, orang-orang yang tidak tergabung dalam atau memilih koalisi tersebut bisa saja memiliki identitas serupa. Hal ini dapat menimbulkan pembelahan atau bahkan perpecahan di dalam masyarakat, terutama di tengah umat Islam sendiri.

Peluang Koalisi Keumatan

Lalu, jika hanya dimaksudkan untuk melawan Jokowi, bagaimana kans dari Koalisi Keumatan ini? Jika dibandingkan dengan koalisi pendukung Jokowi, jelas Koalisi Keumatan belum teruji soliditasnya. Hingga saat ini, masih belum ada deklarasi resmi Koalisi Keumatan.

Di atas kertas, koalisi ini sudah memenuhi syarat presidential threshold untuk mendukung salah satu calon presiden. Jika dijumlahkan, persentase perolehan suara keempat partai akan memenuhi syarat tersebut dengan mudah.

Pertanyaan berikutnya adalah siapa yang akan diusung oleh Koalisi Keumatan? Sulit untuk menemukan kandidat yang benar-benar bisa mewakili koalisi ini. Masing-masing partai jelas memiliki jagoan tersendiri untuk didorong menjadi calon RI-1 dan RI-2.

Jika melihat pemberitaan terakhir, disebutkan bahwa Rizieq Shihab mau mendukung Prabowo Subianto asalkan koalisi empat partai tersebut dapat terwujud. Gerindra sendiri masih mendorong nama mantan Danjen Kopassus itu agar dapat diterima semua pihak yang terlibat dalam pembentukan koalisi. Mereka lebih cenderung pada opsi deklarasi koalisi segera dilakukan dengan syarat Prabowo menjadi capres.

Meski demikian, bagi PAN, perlu ada komunikasi lebih lanjut untuk menentukan capres yang benar-benar tepat. Bagi PAN, pembentukan koalisi adalah perkara yang mudah. Menurut mereka, yang sulit adalah menentukan pasangan capres yang pas dan berpotensi menang.

Jika merujuk pada pemikiran Huan Wang dari New York University, pernyataan PAN tersebut ada benarnya. Menurut Wang, kebutuhan figur yang kuat adalah syarat dari kuatnya sebuah koalisi.

Berdasarkan kondisi tersebut, hingga saat ini sulit untuk melihat bahwa kans Koalisi Keumatan lebih unggul ketimbang koalisi pendukung Jokowi. Merujuk pada hasil survei, nama-nama yang ada di internal Koalisi Keumatan terlihat masih kalah pamor ketimbang Jokowi sebagai petahana.

Dalam survei yang dirilis Indikator Politik Indonesia, nama Prabowo sebagai capres unggulan koalisi ini tampak masih tertinggal di belakang Jokowi. Pada survei tersebut, dalam pilihan semi terbuka, Jokowi mendapatkan suara 51,9 persen. Sementara itu, Prabowo terpaut jauh di bawahnya dengan raihan 19,2 persen.

Kondisi serupa berlaku bagi nama-nama lain di internal koalisi. Kader-kader PKS yaitu Ahmad Heryawan, Anis Matta, Sohibul Iman, dan Hidayat Nurwahid perolehannya masih di bawah satu persen. Ketua Umum PBB, Yusril Izha Mahendra hanya mendapat 0,1 persen suara saja. Lebih tragis, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan meraup 0,0 persen suara responden. Nama penganjur koalisi, Rizieq Shihab sekalipun hanya bisa mendapat 0,2 persen saja.

Berdasarkan kondisi tersebut, sulit untuk melihat potensi kemenangan Koalisi Keumatan, setidaknya sampai hari ini. Idealnya, mereka membutuhkan nama alternatif yang dianggap kuat melawan Jokowi sesuai dengan pemikiran Wang. Jika tidak, mereka harus bekerja keras agar koalisi ini bisa memberikan kursi pada pemimpin dambaan umat. (H33)

Exit mobile version