Site icon PinterPolitik.com

Koalisi Fuzzy Demokrat-Gerindra

Koalisi Fuzzy Demokrat-Gerindra

Dok. Demokrat

Walau kadernya sering saling melempar celaan, namun Demokrat menetapkan untuk terus bersama dengan Gerindra di Pilpres 2019. Mengapa?


PinterPolitik.com

“Lebih baik punya musuh yang dikenali dibanding sekutu yang dipaksakan.” ~ Napoleon Bonaparte

[dropcap]S[/dropcap]ehari jelang tenggat ditutupnya pendaftaran capres dan cawapres yang akan bertarung di Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun depan, gejolak malah sempat mewarnai koalisi oposisi. Pertikaian ini terjadi antara dua elit partai, yaitu Wakil Sekertaris Jenderal Demokrat, Andi Arief, dengan Wakil Ketua Umum Gerindra, Arief Poyuono.

Kecewa dengan keputusan Prabowo Subianto yang membatalkan pertemuan dengan Ketua Umum  Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Rabu (8/8) lalu. Andi menuding Ketua Umum Gerindra tersebut sebagai jenderal kardus karena lebih memilih menemani Sandiaga Uno bertemu dengan PAN dan PKS.

Pertemuan antara Sandiaga yang menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, kabarnya terkait dengan diusungnya Sandi sebagai cawapres Prabowo. Andi bahkan mengatakan kalau Wakil Gubernur DKI Jakarta tersebut, mengeluarkan uang mahar masing-masing Rp 500 miliar pada kedua partai Islam tersebut.

Tak terima ketua umumnya disebut jenderal kardus, Arief yang sebelumnya juga pernah mencela putra sulung SBY, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) pun melemparkan celaan yang sama mengenai mantan presiden keenam tersebut. Tak hanya itu, Arief juga ikut mencela putra SBY lainnya, yaitu Edhie Baskoro Yudhoyono atau Ibas.

Saling cela yang dilakukan Andi dan Arief tersebut, pada akhirnya menimbulkan pertanyaan tersendiri. Mungkinkah dua parpol yang para elitnya saling mencela ini, bisa duduk bersama dalam sebuah koalisi? Apalagi celaan yang diberikan tersebut sudah masuk ke ranah pribadi, bukankah dalam koalisi seharusnya saling menghormati?

Namun pertanyaan ini ditepis oleh Sekjen Demokrat Hinca Panjaitan, usai pertemuan darurat elit Partai Demokrat yang dilakukan Kamis (9/8) dini hari. Menurutnya, koalisi Demokrat dan Gerindra akan tetap terjalin karena Demokrat telah menyerahkan pemilihan cawapres sepenuhnya pada Prabowo. Ada apa dengan Demokrat?

Posisi Demokrat di Pilpres 2019

“Koalisi partai-partai politik sangat rumit dan tidak terlalu memikirkan teori.” ~ William Kristol

Setelah berkuasa selama dua periode, Partai Demokrat di Pilpres 2014 harus merelakan diri berada di luar koalisi Pemerintah Meski begitu, partai biru ini juga enggan diajak bergabung dengan Gerindra ke dalam kubu oposisi dan tetap mempertahankan posisi netralnya. Apalagi hubungan SBY dan Jokowi lambat laun mulai membaik.

Di sisi lain, sejak 2017 lalu, Demokrat memiliki misi untuk memperjuangkan AHY sebagai pemimpin muda di masa depan. Walau sempat kalah bertarung di Pilkada DKI Jakarta tahun lalu, namun elektabilitas AHY semakin lama semakin membaik. Upaya ini tak lepas dari kegiatan blusukan AHY ke pelosok tanah air.

Berbekal popularitas AHY dikalangan milenial, Demokrat pun mencoba peruntungan dengan membuka wacana adanya poros ketiga, bersama PAN dan PKB. Hanya sayangnya, sikap PKB yang berharap banyak untuk menjadi cawapres Jokowi membuat adanya capres alternatif selain Jokowi dan Prabowo menjadi sirna.

Akibatnya, posisi nyaman Demokrat yang tidak memihak Pemerintah maupun oposisi ini, harus ditinggalkan. Sebab berdasarkan Undang-undang Pemilu Pasal 235 ayat 5, parpol yang tidak memiliki atau mengajukan calon presiden atau wakil presiden di Pilpres 2019, tidak boleh ikut Pemilu Presiden di 2024.

Peraturan ini, tentu membuat Demokrat harus memilih, apakah harus mendekat ke kubu Pemerintah atau oposisi. Sehingga setelah upaya mendekatkan diri ke kubu Jokowi terhalang oleh dendam Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri pada SBY. Akhirnya Demokrat pun tak punya pilihan lain untuk bergabung dengan oposisi.

Bagi Gerindra, merapatnya Demokrat merupakan keuntungan besar karena memiliki suara parlemen dan mesin politik yang lebih besar dibanding PAN dan PKS. Apalagi, Prabowo mengaku tertarik untuk berduet dengan AHY. Bagi Demokrat, koalisi dengan oposisi pada akhirnya hanya berdasarkan pada bargaining position (tawar menawar).

Namun masuknya Demokrat ke Gerindra pun, bukan berarti tanpa halangan sebab Demokrat juga harus berhadapan dengan PKS yang terbukti setia dan terus mendukung Gerindra sejak kekalahan di 2014 lalu. Akibatnya, kesepakatan diantara parpol oposisi pun sulit tercapai karena masing-masing merasa memiliki posisi tawar yang lebih tinggi.

Bukan itu saja, Prabowo pun masih harus menghadapi tuntutan dari Persaudaraan Alumni 212 dan GNPF Ulama yang ikut merekomendasikan tokoh kepercayaan mereka sebagai posisi cawapres Prabowo. Sehingga bisa saja, terpilihnya Sandi menjadi cawapres Prabowo merupakan jalan tengah yang diambil akibat kebuntuan yang terjadi.

Koalisi Fuzzy Demi Pilpres 2024

“Setiap koalisi punya masalahnya sendiri-sendiri, seperti layaknya mereka yang sudah menikah.” ~ Arthur Hays Sulzberger

Walau SBY berkali-kali mengatakan kalau menjadikan AHY sebagai cawapres bukan merupakan harga mati, namun tetap saja keputusan Prabowo yang memilih figur lain, membuat sebagian elit Demokrat merasa kecewa. Apalagi sebelumnya, nama Sandi sama sekali tidak pernah tercetuskan sebagai salah satu pilihan cawapresnya.

Rasa kecewa itu dinyatakan sendiri oleh Andi, terutama karena diterimanya Sandi sebagai cawapres tak lain akibat Pemilik Saratoga tersebut memberikan mahar yang tak sedikit bagi PAN dan PKS. Pengambilan keputusan yang terkesan tiba-tiba ini, menurut para pengamat juga sangat berisiko, sebab Demokrat bisa saja memutuskan keluar dari koalisi.

Namun seperti yang telah dikatakan oleh Hinca, Demokrat tidak mempermasalahkan dan tetap akan berada di koalisi oposisi. Pernyataan yang senada juga diungkapkan oleh Prabowo, usai bertemu dengan SBY di kediamannya, Kamis (9/8). Walau hanya bertemu selama 40 menit, namun Demokrat memastikan keduanya tetap bersama di Pilpres nanti.

Fakta terus bersamanya Demokrat di koalisi oposisi, membuktikan kalau partai ini memutuskan untuk menahan diri agar tetap dapat mengikuti kontestasi Pilpres 2019 nanti. Sebab apa yang dikejar oleh Demokrat, khususnya SBY, sangat pasti adalah untuk mempersiapkan AHY agar dapat maju sebagai capres di Pilpres 2024 nanti.

Tujuan Demokrat yang menghadapi Pilpres 2019 sebagai batu lompatan di 2024 juga, membuat sikap partai ini untuk bersabar menghadapi serangan Arief menjadi masuk akal. Walau pada akhirnya, paska Pilpres nanti koalisi tersebut bisa saja terpecah kembali di tengah jalan, seperti yang pernah terjadi di Pilpres 2014 lalu.

Koalisi yang digalang dengan adanya kerawanan konflik, berdasarkan definisi koalisi Andrew Heywood, merupakan ciri dari koalisi di mana sebenarnya para elit politiknya terpaksa bersatu akibat adanya tujuan yang sama. Dalam hal ini, baik Prabowo maupun SBY memiliki tujuan dan musuh yang sama, yaitu mengambil alih kekuasaan dari Jokowi.

Akibatnya, koalisi tersebut hanya berlandaskan oleh nilai-nilai yang semu dan tidak tegas atau yang disebut sebagai koalisi fuzzy. Istilah fuzzy, tercipta sebagai antitesis dari pemikiran Classical Logic atau logika klasik yang diperkenalkan Aristoteles. Sementara politik fuzzy logic lebih cenderung bersifat politik kepentingan semata.

Menilik dari prinsip Napoleon Bonaparte di awal tulisan, dengan apa yang terjadi antara Demokrat dan Gerindra, koalisi yang dipaksakan memang pada akhirnya menciptakan konflik terselubung dan berisiko menjadi masalah yang berkepanjangan. Namun apapun itu, dalam politik memang hanya ada kepentingan.  (R24)

Exit mobile version