HomeNalar PolitikKlaim Big Data Luhut Perlu Diuji

Klaim Big Data Luhut Perlu Diuji

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan menuai serangan kritik setelah mengklaim pihaknya memiliki big data tentang 110 juta warganet yang mendukung penundaan pemilu. Polemik ini sesungguhnya menyentil kita tentang semakin terinfiltrasinya teknologi ke permasalahan demokrasi. Akankah ini jadi ancaman? 


PinterPolitik.com 

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan kini tengah menjadi buah bibir masyarakat setelah dirinya mengklaim memiliki big data yang menangkap aspirasi dari 110 juta warganet Indonesia terkait wacana penundaan pemilihan umum (pemilu). Pernyataan tersebut diungkapkan Luhut ketika mengisi acara podcast di kanal YouTube Deddy Corbuzier, awal Maret ini.  

Big data ini kata Luhut diambil dari hasil pemantauan diskusi yang terjadi di media sosial, seperti Facebook dan Twitter. Menurutnya, ratusan juta orang diketahui menyatakan pendapatnya di internet bahwa mereka tidak ingin keadaan politik berubah, dan menjadi penuh perseteruan layaknya Pemilu 2019. Keluhan terkait penyelenggaraan pemilu juga muncul karena masyarakat tidak rela dana ratusan triliun rupiah digunakan hanya untuk pemilu. 

Ibarat gula di sarang semut, pernyataan Luhut langsung menuai kritik dari politisi dan pengamat secara bertubi-tubi. Direktur Eksekutif Indo Strategic, Ahmad Khoirul Umam menilai klaim luhut mengenai big data merupakan bentuk manipulasi informasi.  

Padahal, Umam mengklaim dari sejumlah survei yang dilakukan, masyarakat justru cenderung menolak adanya penundaan pemilu. Oleh karena itu, menurut Umam, big data 110 juta warganet tidak merepresentasi apapun. Ia pun menantang Luhut untuk membuka data tersebut ke publik. 

Tentunya Umam bukan satu-satunya yang melempar kritik pedas pada pria yang akrab disebut “Opung” tersebut. Akan tetapi, terlepas dari siapa yang benar atau salah, polemik big data Luhut sesungguhnya menyentil kita akan sesuatu yang penting, yaitu infiltrasi teknologi big data ke dalam demokrasi. Apalagi Luhut sendiri menegaskan bahwa big data yang dimilikinya adalah aspirasi demokrasi Indonesia. 

Ini kemudian memancing sebuah pertanyaan penting yang perlu dipertanyakan. Bagaimana nasib demokrasi setelah big data digunakan untuk politik? 

Data dan Algoritma, Pembajak Demokrasi? 

Secara sekilas, bagi orang awam, mungkin istilah big data akan diartikan sebagai sekadar suatu perkumpulan data yang besar saja. Meski tidak salah, pemahaman itu hanya mencolek permukaan dari apa yang sebenarnya dimaksud dengan big data

Tom Breur dalam tulisannya Statistical Power Analysis and the Contemporary “Crisis” in Social Sciences, menjelaskan bahwa big data jauh dari hanya sekadar perkumpulan data saja, melainkan ia juga adalah bidang teknologi yang mampu menganalisis, mengekstrak informasi secara sistematis, dan menangani kumpulan data yang terlalu besar atau kompleks untuk ditangani oleh perangkat lunak aplikasi pemrosesan data tradisional. 

Menariknya, pengaplikasian big data juga dapat digunakan untuk membentuk algoritma yang menyesuaikan dirinya dengan riwayat digital kita. Karena itu, bisa terjadi fenomena di mana sebenarnya kita tidak mendukung seorang politik karena mungkin kita anggap dia sebagai orang jahat. Tapi karena politisi tersebut tahu kita menggemari isu lingkungan, ia pada akhirnya mengkampanyekan isu lingkungan untuk mendapatkan dukungan kita. 

Baca juga :  Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Kekhawatiran ke arah ini pernah diungkapkan Jamie Bartlett dalam bukunya The People Vs Tech: How the Internet Is Killing Democracy. Di dalamnya, Bartlett mengatakan bahwa teknologi dan demokrasi pada dasarnya adalah dua produk yang berasal dari dua era yang berbeda. Demokrasi menurutnya lebih cocok untuk negara-negara konvensional, yang perekonomiannya belum melewati proses peralihan ke ruang lingkup ekonomi yang berbasis data. 

Jika teknologi canggih seperti big data dipaksakan ke suatu negara yang belum benar-benar siap, maka Bartlett mengatakan konten-konten digital yang ada di negara tersebut pasti akan dipahat sekian rupa agar dapat membentuk kebenaran-kebenaran yang memang ingin didesain oleh pihak yang memegang kekuatan big data

Sebagai dampaknya, peran big data menjadi sangat krusial dalam perkelahian politik. Meski data yang ditampilkan oleh suatu lembaga survei belum tentu merepresentasikan suatu konsep tertentu, ia akan tetap digunakan oleh sejumlah pihak untuk menggiringnya dengan sekian rupa sehingga bisa menghasilkan kesimpulan yang diinginkan. 

Sebagai contoh, bayangkan bila Anda bekerja sebagai event organizer yang ingin membuat acara. Anda lalu menemukan sebuah riset yang mengatakan 90 persen orang di kota Jakarta senang  dengan musik-musik asal Korea Selatan (Korsel). Apakah kemudian dengan menghadirkan kelompok musik tradisional Korsel, acara Anda akan sukses? Barangkali tidak, karena riset tersebut belum sempat menjelaskan bahwa 90 persen tersebut ternyata adalah spesifik untuk musik-musik K-Pop. 

Inilah yang diprediksi oleh sejarawan Israel, Yuval Noah Harari dalam bukunya Homo Deus: A Brief History of Tomorrow, melalui suatu istilah bernama dataisme. Harari mengatakan bahwa di era teknologi ini, muncul sebuah fenomena di mana kehendak manusia kalah oleh semakin pentingnya peran algoritma dan data. Karena dianggap sebagai penyaji informasi yang aktual sekaligus cepat, big data seakan-akan memiliki otoritas yang khusus dalam membenarkan suatu pandangan di masyarakat. 

Karena keanehan itu, Harari menilai bahwa di zaman canggih ini akan muncul praktek di mana kita bisa melihat nilai-nilai yang tadinya erat dengan ketuhanan, seperti tentang kebenaran yang mutlak, akan semakin ditempelkan ke teknologi. Dengan demikian, teknologi akan semakin dipuja-puja. 

Sebagai dampaknya, orang yang punya akses ke teknologi big data ibarat menjadi dukun modern, karena informasi yang dia pegang mampu membuatnya sebagai orang yang (hampir) serba tahu. Padahal, data yang dipegangnya itu sendiri masih memiliki unsur-unsur multitafsir.  

Karena itu, sesungguhnya teknologi saat ini telah terbukti menjadi aspek yang digunakan untuk ‘membajak demokrasi’, oleh mereka-mereka yang hanya melihat teknologi sebagai suatu hal yang bisa dieksploitasi secara sepihak. 

Baca juga :  Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Lantas, akan seperti apa bentuk pemerintahan ke depannya setelah big data semakin umum digunakan? 

Menuju Pemerintahan Datakrasi? 

Mengacu ke apa yang disampaikan Yuval Noah Harari, bukan tidak mungkin bila di masa depan aktivitas politik dan pemerintahan akan berkutat sepenuhnya ke big data. Sejumlah peneliti politik sudah mulai memprediksi hal ini, dengan memunculkan istilah datakrasi, yang artinya adalah sistem pemerintahan yang kedaulatannya berada pada data. 

Ketua Umum Inovator 4.0, Budiman Sudjatmiko pernah mengatakan bahwa ke depannya, dalam segi politik, kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) melalui teknologi big data akan semakin diandalkan dalam sistem pemerintahan karena dapat menghasilkan kebijakan politik yang lebih akurat dan presisi.  

Meski di satu sisi ini dapat mempermudah kinerja pemerintah, dampaknya kemudian adalah, suatu aspirasi masyarakat akan semakin tidak dipandang bila ia hanya berasal dari individual. Tentunya, politisi akan semakin bergerak agar membentuk persepsi melalui big data.  

Aidinil Zetra, dosen ilmu politik dari Universitas Andalas (Andalas), mengatakan bahwa pada dasarnya datakrasi akan menjungkirbalikkan hakikat demokrasi. Jika demokrasi bicara tentang hak, maka datakrasi akan bicara tentang kebenaran. Ironisnya, meski syarat dengan dampak negatif pada politik, sebenarnya datakrasi sangat potensial digunakan untuk kepentingan yang baik. 

Di Tiongkok dan Amerika Serikat (AS), pemadam kebakaran disebutkan sudah menggunakan teknologi big data untuk mencegah adanya kebakaran, dengan membangun bank data tentang gedung-gedung seperti apa yang rentan terjadi kebakaran, dan apa-apa saja penyebab utamanya. 

Oleh karena itu, sepertinya kita perlu berkaca pada apa yang dikatakan Sekretaris Jenderal DPP PDIP, Hasto Kristiyanto, yang mempertanyakan, bila Luhut memang memiliki akses ke big data, mengapa hanya dimanfaatkan untuk tujuan politik? Padahal kegunaan big data sangat luas dan banyak yang bisa digunakan untuk memperbaiki kehidupan rakyat.  

Dirk Helbing dalam tulisannya Will Democracy Survive Big Data and Artificial Intelligence?, mengatakan bahwa saat ini kita sedang berada pada persimpangan jalan. Perkembangan teknologi telah mengenalkan kita pada kemungkinan-kemungkinan yang sebelumnya belum pernah ada dalam peradaban manusia. 

Namun, teknologi itu sendiri tidak bisa disalahkan karena teknologi adalah ibarat sebuah pisau, ia bisa digunakan untuk memotong makanan, atau justru melukai seseorang. Semua itu sepenuhnya terletak pada kehendak sang pengendali atau user.  

Dengan demikian, tidak masalah sesungguhnya bila kita sedang mengarah ke sistem datakrasi, jika memang itu digunakan untuk kebaikan masyarakat. Karena kita pun perlu akui, tujuan utama perkembangan teknologi sesungguhnya adalah untuk memudahkan kehidupan manusia.  

Permasalahannya adalah, apakah teknologi seperti big data hanya akan digunakan untuk justifikasi pandangan politik tertentu saja? Sepertinya, inilah pertanyaan yang perlu kita ajukan ke pemerintah. (D74) 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).

Prabowo, Kunci Kembalinya Negara Hadir?

Dalam kunjungan kenegaraan Prabowo ke Tiongkok, sejumlah konglomerat besar ikut serta dalam rombongan. Mungkinkah negara kini kembali hadir?

Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

Narasi kejayaan Nusantara bukan tidak mungkin jadi landasan Prabowo untuk bangun kebanggaan nasional dan perkuat posisi Indonesia di dunia.

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

More Stories

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?