Tumbangnya rezim Orde Baru adalah babak baru sistem perpolitikan Indonesia. Setelah puluhan tahun di bawah payung otoritarianisme, kemewahan demokrasi akhirnya dirasakan. Namun, benarkah selama ini demokrasi telah dijalankan?
Bangsa ini terlalu lama berada di bawah pemimpin bertangan dingin. Mengutip dosen filsafat Universitas Indonesia (UI), Donny Gahral Adian, rezim Orde Baru telah membuat masyarakat mengalami “surplus kecurigaan” terhadap kekuasaan. Ini kemudian menjadi akar atas berbagai sinisme, khususnya ketika politik demokrasi dinilai tengah terancam. Melihat berbagai gerakan massa, khususnya yang berpendar dari mahasiswa, narasi “kematian demokrasi” selalu menjadi jantung pergerakan.
Melihat secara dua sisi, surplus kecurigaan ini tidak sepenuhnya negatif. Secara psikologis, itu dapat dimaknai sebagai euforia atas tumbangnya rezim Orde Baru. Ini adalah semangat kebebasan. Mungkin sedikit berlebihan, tapi dapat dikatakan, psikologi massanya mirip dengan Revolusi Prancis.
Oleh karenanya, segala bentuk sinisme dan kecurigaan terhadap kekuasaan, pada dasarnya merupakan bentuk kepedulian masyarakat yang ingin menjaga demokrasi. Melihat statistik yang ada, misalnya dari Economist Intelligence Unit (EIU), indeks demokrasi Indonesia pada tahun 2020 menunjukkan alarm kuning. Menempati posisi ke-64 dunia, skor indeks demokrasi Indonesia turun dari 6,48 menjadi 6,30. Ini adalah skor terendah dalam 14 tahun terakhir.
Baca Juga: Bergabungnya PAN, Kemunduran Demokrasi?
Tentunya, seperti yang jamak diperhatikan, persoalan kebebasan berpendapat adalah yang paling disorot. Dengan adanya UU ITE, ruang-ruang kebebasan ekspresi dinilai direduksi. Ada pula persoalan-persoalan vital lainnya, seperti dugaan pelemahan KPK dan minimnya kekuatan oposisi di periode kedua pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Tidak berlebihan, ini adalah kabinet paling powerful sejak reformasi.
Setelah PAN masuk dalam kabinet, praktis hanya PKS dan Demokrat yang tersisa sebagai partai oposisi. Poin ini senada dengan temuan Pusat Kajian Ilmu Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), yang menyebutkan tren kemunduran demokrasi di Indonesia dewasa ini berkaitan dengan porsi oposisi dalam pemerintahan.
Minimnya porsi oposisi yang kuat di dalam parlemen dinilai berimplikasi terhadap lemahnya pengawasan terhadap pemerintah. Kualitas demokrasi jelas menurun akibat tidak ada mekanisme checks and balances yang memadai.
Lantas, dengan adanya indikasi-indikasi tersebut, apakah demokrasi tengah terancam? Atau justru ini adalah buah dari surplus kecurigaan?
Bukan Demokrasi, Tapi Liberalisme?
Salah satu ilmuwan politik paling berpengaruh di era kontemporer, Francis Fukuyama dalam tulisannya Liberalism and Its Discontents: The challenges from the left and the right memberikan poin menarik yang harus direnungkan.
Menurut Fukuyama, apa yang kita sebut dengan demokrasi saat ini pada dasarnya adalah demokrasi liberal. Bahkan secara spesifik, serangan-serangan terhadap demokrasi yang selama ini menjadi perbincangan publik, sebenarnya adalah serangan terhadap liberalisme.
Kebebasan berpendapat, egalitarianisme, kesetaraan, dan pengawasan pemerintah (checks and balances) adalah buah perkawinan liberalisme dengan demokrasi yang baru terjadi di akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18.
Jika secara khusus membahas soal checks and balances, itu dapat dikatakan sebagai imbas dari perkembangan ilmu hukum tata negara. Mengutip Charles O. Jones dalam bukunya The Presidency in a Separated System, inti dari argumentasi pembatasan kekuasaan lembaga, baik eksekutif dan legislatif, adalah agar tidak terjadi kekuasaan absolut dalam membuat undang-undang.
Merujuk pada definisinya, demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana masyarakat memiliki kewenangan dan kesadaran untuk memilih pemimpin atau pembuat undang-undang. Demokrasi sesederhana itu.
Nah, jika kita memperhatikan berbagai diskursus soal demokrasi, umumnya pembahasan berkutat pada liberalisme, persis seperti pernyataan Fukuyama. Kita lebih sibuk membahas soal kebebasan berpendapat, checks and balances, hingga UU ITE, namun luput membahas esensi dari demokrasi itu sendiri, yakni apakah masyarakat sudah benar-benar “sadar” dan berwenang dalam memilih pemimpin dan legislatifnya?
Baca Juga: Kita Gagal Memahami Politik?
Jika kita memperhatikan proses pemilu, baik pemilihan presiden (pilpres), pemilihan kepala daerah (pilkada), hingga pemilihan legislatif (pileg), masyarakat pada dasarnya hanya menjadi variabel pemanis. Semua kandidat adalah mereka yang dipilih oleh partai politik. Jika pilpres dan pilkada masih berbicara soal elektabilitas dan popularitas, pileg benar-benar merupakan arena pergulatan partai. Nama-nama yang tertera di kertas suara merupakan buah dari keputusan partai terkait siapa kadernya yang diusung.
Singkatnya, masyarakat hanya memilih sesuatu yang sudah ditentukan oleh partai politik. Siapa pun yang terpilih sudah melalui lobi-lobi partai dan membawa berbagai kepentingan. Mirisnya, sebagaimana temuan Edward Aspinall dan Ward Berenschot dalam buku Democracy for Sale: Pemilu, Klientelisme, dan Negara di Indonesia, para kandidat tidak hanya terikat pada statusnya sebagai kader partai, melainkan juga dengan para oligark yang menjadi pemasok dana dalam menghadapi pemilu.
Temuan itu membuat pepatah “dari Rakyat, oleh Rakyat, dan untuk Rakyat“ menjadi tidak relevan untuk digaungkan. Dengan mengentalnya politik transaksional, khususnya dengan para penyumbang dana, pepatah itu harus diganti menjadi “dari partai, oleh partai, dan untuk oligarki”.
Konteks ini misalnya dapat kita lihat pada kasus pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja. Dengan derasnya gelombang protes, produk hukum itu nyatanya tetap disahkan dan tengah diterapkan saat ini. Seperti pernyataan Profesor Maria S.W. Sumardjono, dosen pembimbing disertasi Menko Polhukam Mahfud MD, UU Cipta Kerja masuk ke dalam tipologi UU elitis, ortodoks, bahkan juga otoriter.
Tegas Guru Besar Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) ini, UU Cipta Kerja diberlakukan sebagai instrumen untuk melaksanakan kehendak sepihak dari penguasa. Jika benar demikian, ini jelas tidak mencerminkan pepatah “dari Rakyat, oleh Rakyat, dan untuk Rakyat“.
Selubung Persepsi
Di titik ini, mungkin ada yang membantah singkat, “ya, memang ini demokrasi perwakilan”. Apalagi, berbeda dengan demokrasi di Athena dulu, jumlah penduduk dan luas wilayah tentu tidak memungkinkan untuk menjalankan demokrasi langsung. Bantahan-bantahan itu tidak salah, namun tidak tepat.
Jantung pembahasan artikel ini bukan pada membenturkan demokrasi perwakilan dengan demokrasi langsung, melainkan sejauh mana masyarakat benar-benar memiliki kewenangan dan kesadaran dalam memilih pemimpin dan legislatifnya.
Bisa saja berbentuk demokrasi perwakilan, asalkan partai benar-benar amanah dalam menyerap aspirasi masyarakat terkait siapa yang diinginkan menjadi kandidat pemimpin dan legislator. Namun, seperti yang diketahui, poin itu tidak kita temukan, atau setidaknya jarang.
Selain itu, ada lagi persoalan yang menjadi batu ganjalan terlaksananya demokrasi, yakni selubung persepsi. Katakanlah kita tidak bisa mengubah poin terkait kandidat yang harus dipilih oleh partai, UU juga mengaturnya demikian. Sekarang pertanyaannya, apakah masyarakat memiliki kesadaran dan ketenangan dalam memilih kandidat-kandidat yang telah ditentukan itu?
Baca Juga: Tidak Mungkin Jokowi Tidak Berbohong?
Mari melihat pemilihan presiden. Di berbagai kontestasi pilpres, misalnya Pilpres 2019, psikologi publik benar-benar tidak dibuat tenang. Terdapat berbagai perang persepsi, perang narasi, hingga fitnah dan adu domba. Dengan ketegangan-ketegangan seperti itu, bagaimana caranya masyarakat memilih pemimpinnya dengan tenang?
Persoalan ini tidak hanya terjadi di tingkat pemilihan presiden, melainkan di semua tingkatan pemilu. Di pilkada, misalnya, lumrah ditemukan politik hitam yang menyerang kandidat lawan. Ada pula permainan politik identitas yang memang dimaksudkan untuk menciptakan ketegangan di tengah masyarakat.
Terlebih lagi, seperti penegasan Fukuyama dalam buku Identitas: Tuntutan atas Martabat dan Politik Kebencian, era internet telah semakin membawa demokrasi ke jurang kehancuran. Media sosial yang menjadi arena baru pertarungan politik telah memperdalam dan mengentalkan politik identitas, serta menjadi tempat dalam menyebarkan ide kekerasan dan kebencian terhadap sesama.
Seperti yang ditegaskan dalam artikel PinterPolitik sebelumnya, Kok Bisa Ganjar Didukung?, apakah kita benar-benar mengenal kandidat yang kita pilih? Di tengah derasnya arus informasi dan perang persepsi, apakah kita bisa membedakan mana yang riil dan mana yang citra?
Katakanlah kita memutuskan untuk memilih kandidat X di Pilpres 2024 nanti, apakah itu datang dari ketenangan pikiran, atau justru datang dari keberhasilan penetrasi persepsi tim pemenangan kandidat X? Bisakah kita membedakannya?
Sebagai penutup, sekiranya perlu direnungkan terkait apa yang kita sebut dengan demokrasi selama ini. Apakah yang selama ini kita bela adalah demokrasi, atau justru nilai-nilai yang dibawa oleh liberalisme? Jika benar-benar ingin menegakkan demokrasi, kita harus memastikan bahwa masyarakat memiliki kewenangan, kesadaran, dan ketenangan dalam memilih pemimpin dan legislatifnya. (R53)