Entah sejak kapan politik lumrah dipahami sebagai istilah negatif. Kita misalnya kerap mendengar pernyataan jangan “politisasi”. Politik itu jahat, kebohongan, licik, tipu daya, korup, dan kejam. Kira-kira demikian pandangan umum. Bahkan akademisi hingga filsuf seperti Hannah Arendt juga melihat politik dalam pandangan ini. Lantas, apakah benar politik adalah entitas jahat? Atau justru kita telah gagal dalam membuat penilaian?
“Politics is not evil; politics is the human race’s most magnificent achievement.” — Robert A. Heinlein, penulis Amerika Serikat
Ada berbagai peristiwa politik yang menjadi top of mind masyarakat. Di Indonesia, setiap menjelang akhir bulan September, berbagai politisi seperti Gatot Nurmantyo mengungkit peristiwa berdarah G30S/PKI. Lubang Buaya tidak hanya menjadi saksi bisu sejarah atas kematian tujuh perwira TNI, melainkan juga sebagai simbol berbahayanya gerakan “politik kiri”.
Ada pula peristiwa Bom Bali I dan Bom Bali II. Keduanya menjadi guncangan untuk mengingatkan berbahayanya “politik identitas”. Kesimpulan yang sama juga dilekatkan pada peristiwa 9/11, pembajakan dan penabrakan pesawat ke Menara Kembar World Trade Center di New York City, Amerika Serikat (AS).
Menurut Rik Coolsaet dalam tulisannya Radicalization: The Origins and Limits of a Contested Concept, peristiwa 9/11 telah membengkokkan makna radikalisme menjadi begitu negatif dan dimaknai sebagai “kemarahan”. Sejak saat itu, istilah ini digunakan secara luas untuk menggambarkan ekstremisme dan terorisme. Sekali lagi, ini menjadi pemantik untuk mengutuk politik identitas, khususnya yang berbau agama.
Baca Juga: Perpres Ekstremisme Jokowi Salah Kaprah?
Tidak hanya peristiwa-peristiwa top of mind tersebut, peristiwa keseharian juga menjadi refleksi masyarakat dalam memandang politik. Rasanya lumrah kita temukan, baik obrolan di warung kopi maupun diskusi berat di kampus-kampus, politik selalu dimaknai negatif. Politik itu ladang korupsi, penuh kejahatan, kebohongan, dan berbagai perilaku negatif lainnya.
Di berbagai pemilu, misalnya, tidak jarang kita temukan fenomena surat suara dicoret dengan tulisan “koruptor”. Ada pula banyak kasus surat suara tidak sah karena “keisengan” masyarakat, seperti mencoblos semua nama, hingga menggambar sesuatu di surat suara. Mengutip profesor ilmu politik University of Minnesota, Christopher Federico, fenomena tersebut menunjukkan tingginya ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemilu, dan politik pada umumnya.
Tentu pertanyaannya, apakah politik merupakan potential evil? Apakah politik merupakan entitas kejahatan?
Kita Keliru Melihat
Jika melihat dan merenungkan sinisme berbagai pihak terhadap politik, kentara terbaca ada pelabelan bahwa politik memiliki sifat-sifat jahat. Filsuf Jerman Hannah Arendt dalam tulisannya Truth and Politics, misalnya, menilai realitas politik sebagai kebohongan. Menurut Arendt, kebohongan merupakan alat penting dan dibenarkan oleh politisi, demagog, dan juga negarawan.
Dalam diskursus politik harian, berbagai politisi bahkan menggunakan kata “politik” dengan maksud peyoratif. Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan, misalnya, pada 15 Juli kemarin menegaskan agar berbagai pihak tidak mempolitisasi Covid-19. Entah apa maksudnya, yang jelas, kata “politisasi” ditujukan untuk menjelaskan aktivitas bermakna negatif.
Sekarang pertanyaannya, apakah politik memang lekat dengan sifat-sifat semacam itu? Apakah kejahatan, kelicikan, dan kebohongan inheren dalam politik?
Untuk menjawabnya, kita dapat menggunakan definisi dasar politik. Dari bahasa Yunani politiká yang berarti urusan kota, politik adalah serangkaian kegiatan yang terkait dengan pengambilan keputusan dalam kelompok, atau bentuk lain dari hubungan kekuasaan antar individu, seperti distribusi sumber daya dan status. Singkatnya, politik adalah cara manusia mengatur kelompoknya.
Sekarang pertanyaannya, apakah ada keterangan cara mengaturnya harus dengan kejahatan, kebohongan, atau kelicikan? Tentu tidak. Lantas, kenapa pada praktiknya politik begitu jahat?
Jawabannya sederhana, bukan politik yang demikian, melainkan manusia yang menjalankan politik. Mengutip Nassim Nicholas Taleb dalam bukunya yang terkenal, The Black Swan: The Impact of the Highly Improbable, kesalahan penarikan kesimpulan tersebut dikenal dengan istilah swimmer’s body illusion atau ilusi tubuh perenang. Konsep ini diperuntukkan untuk menjelaskan ketika kita terbalik dalam menentukan sebab dan akibat.
Baca Juga: Apakah Agama Sumber Pertikaian?
Seperti namanya, analogi ini bertolak dari kondisi tubuh perenang. Pada umumnya, banyak pihak akan menyebut perenang memiliki tubuh yang bagus (atletis) karena ia kerap berenang. Padahal sebaliknya, justru karena memiliki tubuh yang atletis yang membuat perenang handal berenang.
Singkatnya, dapat dikatakan, mereka yang memahami politik adalah kejahatan dan kebohongan, seperti Hannah Arendt, telah keliru dalam menentukan mana itu politik, dan mana itu sifat manusia yang menjalankan politik. Bukan politik yang membuat manusia jahat, melainkan karena kejahatan adalah sifat potensial manusia, ini membuat politik yang dijalankan terlihat begitu jahat.
Memukul Target yang Salah
Untuk memperkuat hipotesis tersebut, kita dapat menarik jauh ke belakang sebelum adanya Homo Sapiens. Dalam bukunya The Origin of Political Order: From Prehuman Times to the French Revolution, Francis Fukuyama menegaskan bahwa secara alamiah (by nature), manusia, yakni Homo Sapiens memang berpolitik. Itu merupakan konsekuensi tidak terelakkan dari sifat manusia yang hidup berkelompok. Atas ini, kita lumrah mendengar istilah manusia adalah makhluk sosial.
Pertanyaannya, sejak kapan aktivitas berpolitik itu? Apakah sejak dahulu kala?
Mengutip berbagai studi antropologi dan evolusi, kemampuan beradaptasi dan hidup berkelompok dipercaya sebagai ramuan utama mengapa Homo Sapiens dapat bertahan hidup sampai sekarang, bahkan memuncaki rantai makanan.
Sebagai pembanding, kita dapat melihat Neanderthal, genus Homo sebelum Sapiens, yang disebut telah ada setidaknya sejak 200.000 tahun yang lalu. Menurut Martin Smith dan John Stewart dalam tulisannya When did humans first go to war?, mengacu pada berbagai temuan fosil, tidak ada keraguan bahwa Neanderthal mengalami luka tumpul yang kebanyakan letaknya di kepala. Ini menunjukkan Neanderthal kerap terlibat perselisihan menggunakan senjata – entah itu ketegangan individu ataupun kelompok.
Nah, sekiranya sudah jelas, jika benar kehidupan bersosial dan berpolitik adalah khas Homo Sapiens, bukankah indikasi kejahatan dan pertikaian sudah ada sejak era sebelum Sapiens? Sekali lagi, politik tidak membuat manusia bertindak jahat, melainkan kejahatan adalah sesuatu yang bersifat potensial dalam diri manusia.
Entah itu politik, ekonomi, ataupun agama, semuanya akan mengikuti kehendak dan sifat dari yang menjalankannya, yakni manusia.
Baca Juga: Kenapa Ahokers Bisa Muncul?
Jika kita lebih spesifik dengan merujuk pada evolusi otak manusia, pemaknaan politik kita saat ini tampaknya baru ada sekitar 3.000 tahun yang lalu.
Menurut Jeremy M. DeSilva dan rekan-rekan dalam tulisan When and Why Did Human Brains Decrease in Size? A New Change-Point Analysis and Insights From Brain Evolution in Ants, faktor yang menyebabkan penyusutan otak manusia pada 3.000 tahun lalu adalah berkurangnya kebutuhan manusia dalam menyimpan informasi.
Karena manusia hidup bersosial dan bergantung pada kecerdasan kolektif, penyimpanan informasi juga dilakukan secara bersama. Mengacu pada praktik politik modern yang menunjukkan kecerdasan kolektif, mungkin baru 3.000 tahun yang lalu praktik politik kita seperti saat ini.
Mengutip Irving M. Copi, Carl Cohen, dan Kenneth McMahon dalam buku Introduction to Logic, jika masih melabeli politik sebagai entitas jahat, kita akan terjebak pada kesesatan bernalar yang disebut dengan straw man atau manusia jerami.
Kesesatan bernalar ini terjadi ketika kita berusaha menyerang atau membantah sesuatu, padahal subjek yang sebenarnya tidak disentuh atau disangkal sama sekali. Singkatnya, seperti namanya, alih-alih memukul manusia asli, kita justru memukul manusia jerami atau orang-orangan sawah.
Kritik, sinisme, dan pelabelan negatif terhadap politik umumnya bertolak pada straw man. Mereka membuat persepsi atau sangkaan bahwa politik adalah entitas jahat kemudian mengkritiknya habis-habisan. Padahal, yang jahat adalah manusia itu sendiri yang menjalankan politik. (R53)