HomeNalar PolitikKita Butuh Kualifikasi Capres?

Kita Butuh Kualifikasi Capres?

Menjelang Pilpres 2024, berbagai nama mulai ditebar untuk menjadi kandidat. Ada nama lama seperti Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. Ada pula nama-nama baru seperti Andika Perkasa, Dudung Abdurachman, hingga Firli Bahuri. Apakah kita butuh kualifikasi capres agar tidak sembarang sosok didorong maju? 


PinterPolitik.com

Sekitar dua tahun lagi, kita akan memiliki presiden baru. Saat ini, berbagai nama terus dimunculkan di berbagai media sebagai kandidat. Dari kubu kepala daerah, ada tiga nama terdepan, yakni Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. 

Sementara dari kubu menteri, ada nama Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno, Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, dan Menteri BUMN Erick Thohir. Dari kubu pejabat tinggi pemerintahan, ada nama Ketua DPR RI Puan Maharani, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan, Ketua KPK Firli Bahuri, Ketua DPD RI La Nyalla Mattalitti. 

Kemudian dari kubu militer, ada nama Panglima TNI Andika Perkasa dan KSAD Dudung Abdurachman. Dan tentunya dari petinggi partai politik, ada nama Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar dan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Ada pula nama-nama lain yang tentunya terlalu panjang jika disebutkan semuanya.

Dari nama-nama itu, kita dapat membaginya ke dalam dua kategori, yakni nama lama dan nama baru. Prabowo, Sandi, Anies, Puan, hingga Muhaimin jelas merupakan nama lama. Sementara Andika, Dudung, dan Firli adalah nama baru. Nama mereka terlihat baru muncul akhir-akhir ini.

Yang menarik adalah, berbagai nama yang muncul tidak memiliki modal politik (political capital) yang cukup untuk menjadi capres-cawapres. Mengutip Kimberly L. Casey dalam tulisannya Defining Political Capital, terdapat berbagai jenis modal yang dapat menjadi modal politik, yakni modal institusional, modal sumber daya manusia (SDM/human capital), modal sosial, modal ekonomi, modal kultural, modal simbolik, dan modal moral.

Terkait pilpres, setidaknya terdapat lima modal utama yang menentukan, yakni modal ekonomi, modal partai politik, modal koneksi internasional, modal elektabilitas, dan modal popularitas. Dari berbagai nama tersebut, sekiranya kita sudah dapat menilai, nama mana saja yang memiliki setidaknya tiga modal politik.

Tentu pertanyaannya, dengan fakta seperti itu, mengapa berbagai nama yang tidak memiliki modal politik besar tetap dimunculkan? 

Perang Political Endorsement

Secara cepat kita dapat menyimpulkan bahwa fenomena ini adalah apa yang disebut sebagai political endorsement. Cheryl Boudreau dalam tulisannya The Persuasion Effects of Political Endorsements, menjelaskan political endorsement menjadi penting karena ini menjawab masalah keterbatasan akses masyarakat dalam mendapatkan informasi politik.

Baca juga :  Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Contohnya, masyarakat perlu mendapatkan data keberhasilan mengelola anggaran, pertumbuhan ekonomi, hingga siapa saja patronase kandidat tersebut. Pertanyaannya tentu satu, berapa banyak masyarakat yang memiliki akses itu? Sekalipun memiliki akses, seberapa banyak yang memiliki kemampuan untuk menganalisis datanya? Persoalan ini yang membuat Boudreau mendukung dan melihat positif political endorsement.

Untuk menentukan gubernur selanjutnya, misalnya, masyarakat cukup mengikuti dukungan pakar ekonomi, negarawan, hingga elite politik. Dukungan-dukungan tersebut kemudian disimpulkan terkait mana yang paling pantas mereka pilih di bilik suara nantinya.

Selain itu, fenomena political endorsement merupakan kemewahan dari demokrasi, khususnya setelah bertemu dengan liberalisme. Menurut ilmuwan politik Amerika Serikat (AS) Francis Fukuyama dalam tulisannya Liberalism and Its Discontents: The challenges from the left and the right, perkawinan liberalisme dengan demokrasi baru terjadi di akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18.

Menurutnya, demokrasi modern tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai liberalisme yang mengusung prinsip kesetaraan individu. Ini jelas berbeda dengan demokrasi yang dulu diterapkan di Athena kuno. Kurt A. Raaflaub dalam buku Origins of Democracy in Ancient Greece, menyebut sistem demokrasi di Athena secara radikal berbeda dengan demokrasi abad 21 karena tidak semua individu memiliki hak politik. Saat itu, perempuan belum mendapatkan hak suara.

Dengan demikian, fenomena yang dapat kita sebut sebagai perang political endorsement merupakan buah dari demokrasi modern yang memberikan hak kepada setiap individu untuk menjadi pemimpin. Entah mereka memiliki modal politik yang cukup atau tidak, secara prinsipil mereka berhak maju, diusung, atau sekadar diusulkan maju.

Namun, meskipun political endorsement merupakan suatu kemewahan, fenomena ini memiliki satu kritik penting. Mudahnya seseorang diusung untuk menjadi pemimpin membuat masyarakat sulit mendapatkan pemimpin yang benar-benar dibutuhkan. Bertolak pada dalih kebebasan politik, setiap individu kemudian merasa berhak untuk memimpin dan dipilih menjadi pemimpin. Secara teoritis, itu tentu baik, namun sayangnya cukup mengkhawatirkan secara praktikal.

Butuh Kualifikasi Capres-Cawapres

Konteks tersebut misalnya disinggung oleh Ahli Peneliti Utama Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Siti Zuhro pada 31 Januari 2022. Menurutnya, karena kita tidak memiliki undang-undang (UU) teknis atau Standard Operating Procedure (SOP) kualifikasi dan kriteria calon pemimpin, kerap kali calon pemimpin hanya dinilai dari tingkat popularitasnya.

Tidak hanya sekali, pada 19 Desember 2021, Siti Zuhro juga menegaskan agar jangan terpesona dengan popularitas. “Itu menyesatkan karena kualitas yang kita inginkan bukan popularitas,” ungkapnya.

Baca juga :  Megawati and The Queen’s Gambit

Jauh sebelumnya, sekitar 360 SM, dalam buku Republic, Plato telah membahas poin yang diangkat Siti Zuhro ketika menulis percakapan Socrates dengan Adeimantus. Diceritakan, Socrates memberi pertanyaan kepada Adeimantus terkait siapa yang ideal untuk bertanggung jawab memimpin kapal? 

“Siapa saja atau orang yang dididik tentang aturan dan tuntutan pelaut?”, tanya Socrates. “Yang terakhir tentu saja”, jawab Adeimantus. Lanjut Socrates, lantas mengapa hal yang sama tidak diterapkan dalam memilih pemimpin di demokrasi? Menurutnya, memilih pemimpin merupakan suatu keterampilan, butuh pengetahuan, bukannya intuisi acak.

Terkait kualifikasi yang dibutuhkan, terdapat beragam argumentasi yang dapat ditemukan. Jika harus memilih, pendapat John Dickerson dalam tulisannya What Does It Take To Be a Good President? Four Things, Mainly dapat menjadi pilihan bagus. Menurut Dickerson, setidaknya terdapat empat kualitas yang harus dimiliki seorang presiden, yakni political skillmanagement abilitypersuasiveness, dan temperament. Menurutnya, kepemimpinan (leadership) merupakan akumulasi dari keempat atribut tersebut.

Political skill adalah kemampuan dalam menghindari atau menolak segala bujuk rayu dalam melahirkan kebijakan politik yang tidak seayun dengan kebaikan bersama (common good). Pasalnya, ketika terpilih nantinya, berbagai kepentingan dan ego akan mendekati dan merayu sang presiden. 

Management ability adalah kemampuan untuk konsisten dan fokus pada visi, serta mampu beradaptasi jika terdapat ganjalan atau peristiwa tidak terduga yang membuat visinya harus berubah. Persuasiveness terkait kemampuan menyampaikan pidato yang baik, serta mengetahui cara membaca dan merespons opini publik dengan tepat. 

Sementara temperament adalah soal pengalaman. Apakah sang kandidat pernah mengalami krisis besar dan mampu menjawabnya dengan baik? Apakah mereka sudah terbukti dalam menghadapi ketidakpastian dunia politik?

Namun kembali pada poin Cheryl Boudreau sebelumnya, seberapa banyak masyarakat mampu menilai keempat kualitas tersebut? Seberapa banyak masyarakat yang memiliki kemampuan dan pengetahuan seperti yang dibayangkan Socrates?

Atas kesulitan itu, saran dari Siti Zuhro sekiranya yang paling mungkin untuk diterapkan, yakni kita butuh UU atau SOP teknis untuk merinci kualifikasi capres-cawapres. Dengan demikian, meskipun terjadi perang political endorsement, masyarakat cukup bertolak dari pedoman teknis tersebut untuk menilai apakah sang kandidat layak untuk dipilih.

Selain itu, seperti yang disebutkan Siti Zuhro, partai politik juga harus kembali sebagai fungsinya untuk memberikan pendidikan politik. Partai politik haru menjadi yang terdepan dalam mengedukasi masyarakat terkait kualitas pemimpin yang dibutuhkan. (R53)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...