Polemik tahunan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) kali ini terasa jauh lebih panas di bandingkan saat pertama kali mencuat pada tahun 2017. Adakah di balik semua itu keterkaitan antara visi progresif Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) saat ini, Nadiem Makarim, di mana pada saat yang sama bersamaan dengan rasionalisasi “ultimatum” reshuffle Presiden Joko Widodo?
PinterPolitik.com
Problematika belajar dari rumah saat pandemi Covid-19 belum juga sepenuhnya usai. Namun kali ini dunia pendidikan tanah air dipanaskan dengan polemik Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang dinilai mendiskriminasi sejumlah besar siswa yang ingin melanjutkan ke jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) serta Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri.
Landasan hukum berupa Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 44 tahun 2019 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru pada Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Sekolah Menengah Kejuruan yang ditujukan untuk menghilangkan “kasta” dan diskriminasi sekolah pada implementasinya menimbulkan diskriminasi baru.
Realita keganjilan di lapangan banyak ditemui sekolah, baik SMP maupun tingkat SMA/SMK. Misalnya terkait diprioritaskannya batasan minimal usia dibandingkan prestasi serta jarak tempat tinggal calon siswa ke sekolah pada tahap pertama penerimaan siswa baru “porsi” zonasi.
Sontak reaksi keras para orang tua siswa ketika buah hatinya terdiskriminasi implementasi minor sebuah regulasi menjadi dapat dipahami. Tidak hanya terdiskriminasi secara fisik, dampaknya bahkan hingga membuat psikis beberapa siswa terganggu ketika mengetahui dirinya tak diterima di sekolah tujuan hanya karena ditakdirkan lahir satu bulan lebih lambat dibanding syarat masuk sistem zonasi yang kontroversial tersebut.
Beberapa kasus kemudian disinyalir kuat terkait tak diimplementasikan secara menyeluruhnya Permendikbud Nomor 44 tahun 2019 tersebut di lapangan, utamanya mengenai sekelumit trik presentase penerimaan zonasi yang tampaknya “dimofidikasi” sedemikian rupa.
Protes keras orang tua siswa nyatanya tak hanya menggema di Ibu Kota, daerah lain seperti Bogor hingga Malang juga mengejawantahkan reaksi serupa. Bahkan, sorotan tak lagi kepada Kepala Dinas Pendidikan wilayah masing-masing, tetapi sudah merembet kepada dipertanyakannya peran aktif Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) atas persoalan ini.
Tak kunjung meredanya isu ini selama sepekan terakhir memunculkan pertanyaan tersendiri. Apakah membesarnya polemik ini terkait dengan sepak terjang dan visi menjanjikan Nadiem dan justru dimanfaatkan oleh pihak yang selama ini berseberangan dengan mantan bos Gojek itu?
Visi Nadiem Tak Disukai?
Optimisme penunjukan Nadiem sebagai Mendikbud tak bisa dipungkiri sebagai sosok “segar” yang diharapkan dapat mengubah apa yang disebut Fareed Zakaria dalam In Defense of a Liberal Education sebagai “great-book” approach atau sebuah pendekatan dalam sistem pendidikan yang tak menanamkan skill intelektual untuk membangun kreasi dan karakter fundamental seseorang.
Pendekatan tersebut dinilai telah cukup mengakar dalam sistem pendidikan Indoenesia sebagai kombinasi warisan diskriminasi dan kesenjangan pendidikan priyayi-pribumi “miskin” kala Hindia Belanda, resistensi domestik atas kedisplinan pendidikan ala Jepang, hingga dinamika fundamental kultur pendidikan Orde Lama hingga Orde Baru.
Masih dalam tulisan yang sama, Zakaria juga mengedepankan konsep liberal education dengan fundamental filosofi modern yang kuat sebagai kunci sebuah sistem pendidikan terbaik, jika dibandingkan sistem pendidikan yang juga menjanjikan di negara Asia seperti Jepang dan Singapura.
Kekuatan talent meritrocracy atau dapat diartikan sebagai proporsi berdasarkan talenta dalam liberal education disimpulkan Zakaria masih lebih unggul daripada exam meritrocracy atau penilaian berbasis nilai yang cenderung “saklek” sebagai karakteristik sistem pendidikan di Asia.
Esensi yang disampaikan Zakaria di atas agaknya cukup selaras dengan visi yang dipegang Nadiem sebagai Mendikbud saat ia berkomitmen memaksimalkan pendidikan karakter, deregulasi dan debirokratisasi, meningkatkan investasi dan inovasi, penciptaan lapangan kerja, hingga pemberdayaan teknologi.
Langkah awal revolusioner Nadiem tercermin ketika alumni Harvard University itu menghilangkan sistem yang memang jamak dinilai tak relevan mencerminkan predikat kelulusan siswa Indonesia selama beberapa dekade ke belakang yaitu ujian nasional (UN) dengan mengintergrasikan sistemnya ke penilaian objektif sekolah masing-masing.
Kendati demikian, satu langkah awal yang cukup signifikan tersebut memunculkan pertanyaan lanjutan mengenai potensi ketidaksukaan pihak-pihak yang selama ini diuntungkan secara harfiah pada “mengenyangkannya” proyek tahunan UN serta potensi gebrakan lainnya yang akan merugikan pihak tertentu.
Tentu pertanyaan tersebut bukan tanpa dasar jika merefleksikan pada berbagai langkah revolusioner namun berbeda formula dari seorang Mendikbud ketika dijabat Anies Baswedan. Kala itu, berbagai kebijakan progresif Anies yang menutup pintu “keuntungan” pihak-pihak tertentu dinilai turut mengantarkannya ke pintu keluar Kabinet Kerja Presiden Jokowi pada tahun 2016 silam.
Lantas, apakah hal yang sama – tumbangnya Mendikbud Nadiem – akan terjadi dengan pola yang terjadi pada Anies Baswedan, di mana momentumnya bersamaan dengan kisruh PPDB serta gaung ultimatum reshuffle kabinet Presiden Jokowi belakangan ini?
Alasan Penjegalan Makin Kuat?
James Fallows mendukung konsep liberal education Fareed Zakaria setelah menghabiskan beberapa tahun di Jepang untuk mengamati sistem pendidikan di negeri Matahari Terbit dalam sebuah publikasi berjudul More Like Us: Making America Great Again.
Fallows membeberkan rahasia sekaligus kunci bagi sistem liberal education terbaik yang dapat diadopsi oleh berbagai negara dengan berbagai karakteristik berbeda. Liberal education dapat diimpelementasikan dengan maksimal dengan pendekatan yang more like us atau dengan pendekatan yang sesuai dengan kombinasi variabel komprehensif, beserta relevansinya dengan tantangan zaman dari masing-masing pembentuk sistem pendidikan nasional.
Penyederhanaan sistem UN yang digagas Nadiem agaknya memang menjadi afirmasi dari sebuah langkah awal sebuah liberal education yang relevan dengan tantangan kekinian.
UN memang sejak lama dinilai tak relevan untuk mengukur kompetensi peserta didik di tengah kompleksitas dan cakupan subjek studi yang kian bervariatif serta beriringan dengan perkembangan teknologi informasi.
Salah satu pihak yang menentang penyesuaian penilaian kelulusan dengan menghapus UN datang dari mantan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla yang mengatakan penghapusan tes akhir tersebut akan membuat peserta didik menjadi lembek.
Konteks kritik JK memang tidak salah ketika dikhawatirkan standar mutu pendidikan nasional akan hilang karena basis kelulusan berpotensi memakai rumus “dongkrakan” pihak sekolah.
Namun demikian, langkah Nadiem justru dinilai menjadi titik awal dan esensi semangat liberal education yang justru bertujuan menciptakan standar pendidikan nasional baru dan menghilangkan diskriminasi kesenjangan sarana dan prasarana pendidikan di Indonesia.
Yang dikhawatirkan, rasionalisasi JK dinilai berpotensi dijadikan satu kartu as bagi pihak yang selama ini dinilai diuntungkan “proyek basah” UN, yang meliputi perumusan soal, percetakan, hingga pendistribusian, untuk menjegal Nadiem karena telah menghilangkan “permainannya”.
Apalagi ketika polemik PPDB belakangan ini seolah bergulir makin liar ketika baru pada tahun ini beberapa daerah diketahui membuat kebijakan sendiri-sendiri yang tak sesuai dengan regulasi yaitu Permendikbud Nomor 44 tahun 2019. Hal inilah yang dinilai menjadi pangkal polemik PPDB saat ini, yang bahkan membuat Nadiem seolah diam tak bersuara.
Polemik ini disinyalir berpotensi menjadi tambahan kartu as lainnya bagi pihak-pihak yang dirugikan dengan kebijakan dan implementasi visi progresif Nadiem berikutnya. Kembali, pola aksi-reaksi kebijakan dan respon “alam” ketika Anies Baswedan menjabat sebagai Mendikbud tak bisa luput begitu saja.
Kala itu pembenahan struktural berupa seleksi terbuka pejabat di Kemendikbud yang diinisiasi Anies, dinilai menjadi klimaks ketidaksukaan pihak-pihak yang dirugikan atas langkah progresif mantan rektor Universitas Paramadina itu. Seketika kombinasi isu serta magis politik membuat Anies terdepak dari jabatan Menteri.
Situasi lebih pelik dialami Nadiem. Kartu tripel as dinilai telah dipegang pihak-pihak yang tak suka dengannya ketika Presiden Jokowi sudah menyinggung potensi reshuffle yang berdasarkan sejarahnya akan menjadi sangat rentan bagi seorang teknokrat tanpa beking partai politik (parpol) dibelakangnya.
Kepemilikan tripel as dalam permainan kartu poker sendiri cukup kuat sebagai senjata memenangkan permainan. Magis tripel as inilah yang disinyalir sewaktu-waktu dapat menjadi pengaruh kuat keputusan strategis dari balik layar terkait jabatan Nadiem. Terlebih bagi pihak lainnya yang sempat dibuat keki secara personal dengan “style segar” Nadiem sebagai pejabat publik.
Terlebih lagi, pada Februari lalu, Nadiem masuk dalam radar menteri yang patut di diganti dalam survei yang dirilis oleh Indonesia Political Opinion (IPO) karena kinerjanya dinilai tidak memuaskan.
Keputusan eksistensi reshuffle tentu saja ada di tangan Presiden Jokowi. Kita liat saja apakah Mas Menteri Nadiem akan melanjutkan kiprahnya, atau justru terdepak dari lingkaran Istana. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.