Memasuki tahun politik, Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) mengalami gejolak di internal. Beberapa pihak menyebut aksi saling pecat yang dilakukan oleh para petinggi partai ini juga melibatkan para purnawirawan militer di belakangnya.
PinterPolitik.com
[dropcap]H[/dropcap]anura sedang mengalami dinamika di internal kepengurusan partai. Hal tersebut mencuat sejak terjadinya rapat yang dipimpin oleh Syarifudin Sudding sebagai Sekretaris Jenderal Hanura serta 27 Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan 401 Dewan Perwakilan Cabang (DPC) di Hotel Ambhara, 15 Januari 2018.
Rapat tersebut memutuskan untuk memecat Oesman Sapta Odang (OSO) sebagai Ketua Umum Hanura dan mengangkat Daryatmo sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Umum Hanura.
Keputusan tersebut muncul sebagai buntut mosi tidak percaya dari sebagian besar pengurus Hanura yang menduga bahwa OSO melakukan penyalahgunaan jabatan. OSO diduga memanfaatkan jabatannya untuk meraih keuntungan melalui mahar politik yang diberikan oleh kader Hanura yang mencalonkan diri di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serta menyelewengkan dana Hanura dengan menginvestasikannya ke dalam salah satu unit bisnisnya.
Hanura party has ousted its chairman Oesman Sapta Odang after party officials accused him of siphoning Rp 200 billion from party coffers. Oesman has called today's extraordinary congress which ousted him, illegal.
— Nuice Media (@nuicemedia) January 18, 2018
Perpecahan ini dinilai sangat merugikan bagi Hanura di awal tahun politik 2018 dan 2019. Apalagi, konsolidasi partai sangat dibutuhkan untuk memperkuat soliditas dalam menghadapi Pilkada Serentak dan Pilpres di dua tahun ini. Sungguh menjadi dilema bagi Wiranto sebagai Ketua Dewan Pembina Hanura melihat kadernya saling berebut kekuasaan dan memecah belah Hanura. Wiranto juga kelimpungan untuk menentukan kubu mana yang pantas untuk didukungnya.
Spekulasi bermunculan untuk menjelaskan fenomena ini. Tahun politik yang sudah semakin dekat memunculkan banyak dugaan terhadap pihak yang mungkin saja berupaya menghancurkan Hanura dan mengubah peta politik nasional.
Selain itu, ada indikasi bahwa pertarungan di Hanura ini juga melibatkan kekuatan para purnawirawan militer di belakangnya, apalagi partai yang identik dengan warna kuning keemasan ini merupakan ‘rumahnya’ beberapa purnawirawan militer dan didirikan oleh Wiranto yang juga seorang petinggi militer di masa silam.
Lalu, apakah Wiranto dan para jenderal itu mendukung Sudding dan Daryatmo dalam upaya menyingkirkan OSO? Bagaimana dengan dukungan Hanura untuk Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk Pilpres 2019?
OSO vs Sudding dan Daryatmo
Dualisme Hanura berawal pada dugaan beberapa pengurus partai yang menilai bahwa OSO melakukan praktik-praktik yang merugikan partai. OSO dituduh melakukan pelanggaran terhadap Anggaran Dasar dan Rumah Tangga (AD/ART) Hanura.
Faktanya, selain dituduh melakukan praktik mahar politik antara dirinya dengan kader Hanura untuk Pilkada, ia juga disebut melakukan penyelewengan terhadap dana Hanura yang diinvestasikan ke bisnis OSO Securities.
Tuduhan tersebut berujung pada pemecatan terhadap OSO yang salah satunya diprakarsai oleh Syarifudin Sudding. Daryatmo pun diangkat menjadi Plt Ketua Umum Hanura menggantikan OSO.
OSO yang tidak menerima putusan tersebut, mengklaim bahwa Sudding melakukan pelanggaran indisipliner. OSO menggelar rapat di Hotel Manhattan, 17 Januari 2018, dan dengan loyalisnya memutuskan bahwa Sudding dipecat sebagai Sekretaris Jenderal Hanura dan menggantinya dengan Herry Lontung. Kubu OSO juga melakukan perombakan di sejumlah struktur kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Hanura.
OSO menegaskan bahwa kubunya adalah pengurus Hanura yang sah berdasarkan SK Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) tentang Restrukturisasi, Reposisi, dan Revitalisasi Pengurus DPP Partai Hanura Masa Bakti Tahun 2015-2020, No. M.HH-01.AH.11.01 tahun 2018.
Pada malam harinya, OSO mengumpulkan 350 orang pengurus DPD dan DPC Hanura di kediamannya dan menceritakan mengenai pernyataan Wiranto kepadanya untuk menyelesaikan konflik Hanura berdasarkan AD/ART.
Tidak mau tinggal diam, kubu Sudding langsung menggelar Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Hanura di Kantor DPP Hanura pada 18 Januari 2018. Keputusan Munaslub menghasilkan beberapa poin bahwa Daryatmo diangkat sebagai Ketua Umum dan Sudding sebagai Sekretaris Jenderal Hanura.
Sudding menganggap bahwa Daryatmo lebih menghargai kader, mengedepankan nila-nilai etika, kesopanan dalam memimpin, maka dari itu diharapkan ini menjadi awal baru bagi Hanura. Manuver Sudding lewat Munaslub ini akhirnya membuat OSO melaporkannya ke pihak kepolisian.
Perdebatan perebutan pengaruh ini membuat banyak orang yang bertanya-tanya, apakah memang hanya murni karena alasan melanggar AD/ART, ataukah ada alasan lain di belakangnya?
OSO vs Para Jenderal?
Nyatanya, perebutan pengaruh di Hanura jauh lebih rumit dari yang tampak di permukaan. Perselisihan antara OSO dengan Sudding dan Daryatmo pada perkembangannya memang saling ngotot mengakui keabsahan kepengurusannya. Kedua pihak saling pamer SK Menkumham atau klaim restu Wiranto melalui pesan whatsapp.
Bukti tersebut yang membuat kedua belah pihak menganggap bahwa mereka sama-sama didukung oleh Wiranto sebagai Ketua Dewan Pembina Hanura. Belum bisa dibuktikan apakah dukungan tersebut hanya klaim belaka atau memang Wiranto ‘bermain aman’ dalam persoalan ini.
Hanura Dulu Dipuji, Kini…. pic.twitter.com/M2aICgq2Ix
— KOMPAS TV (@KompasTV) January 18, 2018
Kubu OSO menganggap pihaknya telah memiliki SK Menkumham yang dinilai sebagai pengurus sah Hanura. Selain itu, OSO juga mengklaim bahwa Wiranto berpesan kepadanya untuk menyelesaikan konflik Hanura sesuai dengan AD/ART. OSO mungkin menganggap pesan tersebut adalah dukungan kepadanya untuk tetap menjadi Ketua Umum Hanura.
Hal ini berbeda dengan kubu Sudding yang mengatakan bahwa sudah ada pesan dari Wiranto atas perselisihan yang terjadi dengan OSO. Pesan tersebut menjelaskan bahwa jika yang dilakukan oleh Sudding sesuai dengan AD/ART, maka hal itu harus dilaksanakan. Hal ini membuat Sudding mengklaim Wiranto juga mendukungnya.
Tarik menarik dan klaim pengaruh ini bukan tidak mungkin berkaitan dengan kepentingan ‘pihak lain’ yang bermain dengan memanfaatkan perpecahan ini. Jika ditelisik lebih jauh dari petinggi-petinggi Hanura bisa dilihat ada kecenderungannya dalam mendukung salah satu kubu.
Wakil Ketua Dewan Pembina Hanura Jenderal TNI (Purn) Moeldoko yang baru diangkat menjadi Kepala Kantor Staf Kepresidenan Jokowi misalnya menganggap bahwa apabila pemecatan OSO ini mengikuti AD/ART Hanura, maka tak ada yang perlu dipermasalahkan. Pernyataan Moeldoko ini boleh jadi ikut mendukung keputusan pemecatan OSO.
Selain itu, Sudding dan Daryatmo juga bukan orang biasa di Hanura. Sepak terjangnya selama ini mengindikasikan kepiawaian mereka dalam menggalang dukungan petinggi Hanura.
Pada pertemuan di Hotel Ambhara misalnya, Jenderal TNI (Purn) Subagyo Hadi Siswoyo (Subagyo HS) yang merupakan Dewan Pembina Hanura juga datang ketika penunjukan Daryatmo. Hal ini mengindikasikan bahwa Subagyo HS mendukung dan berpihak kepada Sudding.
Sebagai catatan, Subagyo HS adalah salah satu anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Jokowi. Jika demikian, apakah mungkin Jokowi ada di belakang kisruh yang terjadi di Hanura ini?
Sejauh ini, dukungan tersebut sulit untuk dibuktikan. Yang jelas, jika Wiranto juga mendukung keputusan Sudding, maka ada barisan purnawirawan yang berada di seberang OSO. Apalagi, kisruh yang muncul di waktu yang berdekatan dengan masuknya Moeldoko ke kabinet Jokowi ini menimbulkan selentingan di sana-sini bahwa Jokowi sedang memagari dirinya melalui peran para purnawirawan militer yang sudah mendukungnya sejak 2014 lalu.
Mungkinkah OSO sedang melakukan manuver untuk membawa gerbong Hanura ke pihak oposisi sehingga ia harus dihentikan? Agaknya sulit untuk melihat kemungkinan itu, mengingat OSO dan Prabowo Subianto pun memiliki hubungan yang kurang baik di masa lampau. Tetapi, segala hal sangat mungkin terjadi dalam politik.
Politik ‘Pecah Belah’ Partai?
Keberpihakan seseorang merupakan hal penting di dalam perjalanan politik. Apalagi keberpihakan tokoh besar seperti Wiranto dalam kiprahnya di Hanura terkait dengan dualisme OSO dan Sudding.
Pada awalnya Wiranto dinilai berdiri dua kaki diantara kedua kubu yang saling bertikai. Namun, perlahan-lahan mulai terlihat kecenderungan Wiranto dalam menentukan arah kebijakan Hanura ke depannya. Terlebih dengan dukungan Subagyo HS dan Moeldoko yang cenderung terlihat ke kubu Sudding. Artinya Wiranto juga boleh jadi ada di kubu yang berseberangan dengan OSO.
Sangat mungkin apa yang dialami oleh Hanura ini merupakan pola yang sama dengan yang terjadi di beberapa partai yang mengalami dualisme. Tujuannya? Untuk memecah dukungan menjelang tahun politik tentu saja.
Suara Hanura yang hanya 5,26 persen dengan 16 kursi di DPR tentu saja kecil. Namun, jumlah ini sangat berpengaruh untuk menambah presidential threshold bagi seorang calon presiden. Hanura tentu akan sangat penting bagi Jokowi misalnya, jika ia tidak mau lagi didukung oleh PDIP dan ingin meninggalkan status ‘petugas partai’.
Dengan melihat posisi Wiranto, Moeldoko dan Subgyo HS yang kini ada di kabinet dan di wantimpres, sangat mungkin OSO-lah yang sedang ingin disingkirkan.
Oleh karena itu, dukungan yang diberikan oleh Hanura kepada Jokowi juga kemungkinan besar tidak akan berubah selama Wiranto masih menguasai Hanura. Jika demikian, mungkinkah OSO selama ini ‘bermain’ di belakang Wiranto dan Jokowi? (LD14)