Site icon PinterPolitik.com

Kisruh Djarum-KPAI, Kepentingan Asing?

Kisruh Djarum-KPAI, Kepentingan Asing?

Audisi umum bulu tangkis PB Djarum. (Foto: PB Djarum)

Polemik antara Yayasan Lentera Anak (YLA) dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dengan Perkumpulan Bulu Tangkis (PB) Djarum masih berlanjut. Setelah publik menyalahkan YLA dan KPAI atas dihentikannya audisi umum beasiswa bulu tangkis milik PB Djarum, kini publik menyoroti adanya aliran dana asing ke dua lembaga tersebut.


PinterPolitik.com 

Sejauh ini aliran dana asing yang disorot adalah dana yang berasal dari perusahaan media internasional Bloomberg. YLA mengakui bahwa mereka memang menerima dana dari Bloomberg, meskipun dana tersebut tidak secara khusus digunakan untuk menargetkan audisi PB Djarum.

Bloomberg memang memiliki program atau proyek beranama Tobacco Control Grants yang bertujuan untuk mengurangi penggunaan tembakau di seluruh dunia.

Adapun salah satu bentuk implementasi program ini adalah pemberian bantuan dana kepada berbagai pihak, baik itu LSM, wadah pemikir (think tank), ataupun pemerintah, yang mengadakan kegiatan terkait pengurangan penggunaan tembakau.

Jika melihat daftar penerima bantuan dana di website Tobacco Control Grants, penerima dana Bloomberg terkait tembakau di Indonesia bukan hanya YLA dan KPAI.

Ada puluhan LSM, kelompok kepentingan, termasuk pemerintah yang menerima dana dari Bloomberg, seperti Aliansi Jurnalis Independen, Universitas Indonesia, hingga Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, bahkan termasuk DPR.

LSM dan Kontroversinya

Secara hukum, sah-sah saja jika LSM yang beroperasi di Indonesia menerima dana dari luar negeri. Pemerintah Indonesia juga sudah mengaturnya dalam berbagai peraturan.

Misalnya melalui Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 yang mengatur tentang sumber pendanaan ormas. Selain itu, ada juga Peraturan Pemerintah Nomor 59 tahun 2016 yang di dalamnya mengatur syarat pendirian dan sumber pendanaan LSM asing di Indonesia.

Meskipun tidak ada masalah hukum, LSM-LSM di Indonesia tetap sering dicurigai dan dituduh sebagai pembawa kepentingkan ekonomi ataupun politik asing. Stigma ini bukan tanpa alasan.

Menurut Davin O’Regan dari United States Institute of Peace, sulit atau kecilnya sumber pendanaan di dalam negeri membuat LSM di negara-negara berkembang sangat mengandalkan bantuan dana dari luar negeri.

Namun, bantuan dana ini tidak diberikan begitu saja.

LSM harus terlebih dahulu memenuhi persyaratan-persyaratan dari sang pendonor. Adanya syarat ini membuat suatu LSM harus mengubah agenda, tujuan, dan taktik (cara kampanyenya) sesuai keinginan pendonor demi mendapatkan kucuran dana.

Bukan kali ini saja aktivitas LSM di Indonesia dicurigai.

Dalam isu dikaitkannya industri pulp dan kertas nasional terhadap kerusakan hutan Indonesia misalnya, beberapa LSM pernah dicurigai digunakan sebagai alat persaingan dagang. Tujuannya adalah menciptakan citra buruk terhadap industri pulp dan kertas nasional di dunia internasional.

Hal serupa juga terjadi di industri kelapa sawit, di mana menurut Institute for Development of Economics and Finance (Indef) LSM asing banyak melakukan kampanye hitam guna menjatuhkan citra industri sawit nasional di pasar global yang lagi-lagi terkait persaingan dagang.

Kecurigaan terhadap agenda yang dikampanyekan LSM juga terjadi di India, bahkan di level yang lebih ekstrem.

Pada tahun 2014, Biro Inteliijen India mengklaim bahwa setiap tahunnya India kehilangan sebesar 2-3 persen GDP-nya karena kampanye-kampanye yang dilakukan LSM.

Kampanye-kampanye ini seperti perubahan iklim, hak pekerja, dan limbah elektronik, dinilai pemerintah India menghambat pertumbuhan ekonomi nasional.

Tidak berhenti di situ, pemerintah India juga menuduh LSM seperti Greenpeace dan Amnesti Internasional menjadi alat politik negara-negara barat, salah satunya dengan cara pendanaan asing.

Keterlibatan Pemerintah

Polemik LSM vs PB Djarum membuat pemerintah turun tangan.

Menteri Pemuda dan Olah Raga (Menpora) Imam Nahrawi membela PB Djarum dan mengatakan bahwa tidak ada tindakan eksploitasi anak pada audisi bulu tangkis.

Sementara Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Yohana Yembise menunjukkan sikap yang berbeda. Menurut Yohana, PB Djarum telah melanggaran aturan dengan melakukan eksploitasi anak.

Terakhir Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto juga angkat bicara.

Wiranto yang juga menjadi Ketua Umum Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) mengatakan bahwa polemik pemberhentian audisi umum PB Djarum sudah selesai dan nantinya akan ada konsep baru yang mengakomodir kepentingan kedua pihak.

Turun tangannya pemerintah bisa dimengerti. Bulu tangkis adalah cabang olahgara yang setiap tahunnya selalu menyumbangkan banyak penghargaan dan mengharumkan nama Indonesia di berbagai kompetisi internasional.

Prestasi ini pun tidak bisa dilepaskan dari bantuan CSR seperti PB Djarum, mengingat pemerintah, karena keterbatasan anggaran, sangat bergantung pada swasta untuk pembinaan atlet bulu tangkis.

Selain masalah anggaran dan prestasi olahraga, bisa jadi pemerintah juga ikut campur tangan karena polemik PB Djarum mengangkat kembali perang lama antara LSM dan industri tembakau soal dampak positif-negatif rokok.

Di satu sisi, industri tembakau di Indonesia menjadi salah satu industri penting dalam perekonomian nasional.

Berdasarkan data dari Kementerian Perindustrian (Kemenperin), pada semester pertama tahun 2019 industri tembakau menyerap 5,98 juta tenaga kerja, mulai dari petani tembakau hingga buruh pabrik rokok.

Pada tahun 2018, cukai rokok memberikan Rp 153 triliun  ke dalam pendapatan negara. Masih di tahun yang sama, rokok Indonesia memiliki nilai ekspor lebih dari Rp 13 triliun dan terus meningkat setiap tahunnya.

Namun di sisi lain, berdasarkan penelitian Kementerian Kesehatan, rokok menyebabkan kerugian sebesar Rp 4.180 triliun.

Angka fantastis ini berasal dari hilangnya produktivitas masyarakat yang mengkonsumsi rokok akibat penyakit dan kematian dini.

Bukan kali ini saja perusahaan rokok menarik dukungan di bidang olahraga.

Ambil contoh pada tahun 2008 di mana Gudang Garam tidak lagi memberikan dana bagi klub tenis meja-nya yang menghasilkan atlet-atlet berprestasi.

Pada akhirnya, terlepas dari perdebatan mengenai apakah benar anak yang mengikuti beasiswa PB Djarum dieksploitasi untuk iklan produk rokok, muncul pertanyaan yang cukup menarik, yaitu mengapa YLA hanya mengkritik Djarum?

Padahal di Indonesia sendiri masih banyak perusahaan rokok lainnya, seperti HM Sampoerna, Gudang Garam, dan Bentoel Internasional Investama.

Pun perusahaan-perusahaan rokok di luar Djarum ini juga menggunakan nama mereknya dalam program CSR. Sampoerna misalnya, memiliki Sampoerna University dan Sampoerna School System yang bergerak di bidang pendidikan dan juga melibatkan anak di bawah umur.

Atau jangan-jangan, seperti yang terjadi di industri kertas dan sawit, tekanan terhadap PB Djarum juga menjadi bagian dari persaingan dagang? Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (F51)

Mau tulisanmu terbit di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version