“Jadikan deritaku ini sebagai kesaksian bahwa kekuasaan seorang Presiden sekalipun ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng hanya kekuasaan rakyat. Dan di atas segalanya adalah Kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.”
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]P[/dropcap]residen juga seorang manusia, sayangnya manusia kerap lupa bahwa kekuasaan pun ada batasnya. Ironi ini juga berlaku pada Presiden Pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno. Jasa dan pengorbanannya bagi bangsa, seakan lenyap begitu saja akibat kekuasaan yang tak lagi ada padanya. Bahkan hingga akhir hayatnya, harus dilewati pahlawan proklamator ini dengan derita fisik dan batin yang tak terperi. Potret haus kekuasaan yang kini seolah dilupakan sejarah dan rakyatnya.
Indonesia tahun 1965 merupakan potret kelam sejarah bangsa. Berbagai konflik dalam negeri, dari isu kudeta Partai Komunis Indonesia (PKI), pembantaian ratusan ribu masyarakat yang diduga PKI tanpa melalui proses hukum, dan pembunuhan tujuh petinggi militer, dipicu oleh satu kondisi yaitu stagnasi perekonomian dan inflasi yang tinggi. Rakyat mulai kehilangan kepercayaan pada pemerintah, dan Soekarno sebagai presiden dituding tidak lagi becus mengurus negara.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) akhirnya mencabut kekuasaan Presiden Soekarno pada 12 Maret 1967. Sejak dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966, kekuasaan secara sepihak diambil alih oleh Jenderal Soeharto. Walau surat perintah tersebut ia yang tanda tangani, namun Soekarno menolak anjuran para loyalisnya untuk melawan Soeharto. Pun ketika Soeharto menjadikannya tahanan rumah dan melarang masyarakat memajang foto Soekarno.
https://www.youtube.com/watch?v=lsTq8VD_ffE
16 Agustus 1967, Soekarno meninggalkan Istana setelah 20 tahun memerintah. Dalam buku “Hari-hari Terakhir Bung Karno” yang ditulis oleh Peter Kasenda, pria yang sering menyebut dirinya sebagai “Putra Sang Fajar” karena lahir dini hari pada 6 Juni 1902 ini, diusir dari Istana hanya dengan menggunakan piyama dan sandal usang. Satu-satunya benda yang dibawa hanyalah bungkusan koran berisi bendera merah putih peninggalan istri ketiganya, Fatmawati.
Soekarno yang dulu memasuki Istana Negara dengan gagah, harus keluar tertatih-tatih diusia menjelang senja, yaitu 65 tahun. Ia sempat diperbolehkan tinggal di Istana Bogor walau dilarang memasuki Jakarta. Namun karismanya yang masih membekas di hati rakyat, membuat Soeharto yang sudah menasbihkan diri sebagai presiden merasa terancam kekuasaannya. Akhirnya, ia menjatuhkan hukuman tahanan rumah bagi Soekarno dengan penjagaan yang super ketat.
Komplikasi Penyakit & Kesepian
“Kekejaman terburuk yang dapat diberikan manusia pada manusia lain adalah isolasi.”
Sebagai seorang pejuang dan presiden yang terbiasa berinteraksi dengan para petinggi negeri maupun rakyatnya, menjadi tahanan rumah merupakan siksaan yang tak terperi bagi Soekarno. Apalagi ketika status kepresidenannya terengut, tim dokter kepresidennya pun ikut bubar, sehingga Soekarno yang saat itu menderita komplikasi beberapa penyakit, tidak lagi mendapatkan penanganan yang memadai. Dokter yang menangani bukan lagi dokter spesialis, itupun sulit sekali dihubungi.
Peter menuliskan kalau wafatnya Soekarno diakibatkan komplikasi beberapa penyakit, seperti hipertensi (darah tinggi), penyempitan pembuluh darah dan pembesaran otot jantung, serta gejala gagal jantung. Tak heran tubuhnya terus membengkak. Namun Soekarno menolak ditransplantasi ginjal, ia juga kerap mengeluh dadanya sakit jika batuk-batuk. Saat di-rontgen, ditemukan tulang rusuk yang retak, paru-paru basah yang disertai sesak napas, juga katarak di mata sehingga penglihatannya berkurang.
Sesekali, Soekarno hanya ditemani oleh istri keempatnya, Hartini. Itupun tidak bisa setiap hari, sehingga berdasarkan keterangan ahli forensik almarhum Abdul Mun’im Idries dalam bukunya “Indonesia X-File”, Soekarno wafat bukan hanya karena komplikasi penyakit tapi juga akibat faktor psikologis. Hidup terisolasi membuat Soekarno kehilangan eksistensi dihadapan rakyat yang tak pernah bosan mendengarkan pidatonya selama berjam-jam. Tekanan perasaan ini, menyebabkan penyakitnya semakin parah.
Pada 1968, kondisi Soekarno semakin buruk, penyakitnya pun semakin bertambah. Kondisi Bogor yang berhawa dingin pun membuat penyakit rematiknya sering kumat. Giginya ngilu saat minum air dingin dan sering berdarah. Namun upaya untuk berobat ke Jakarta ditolak oleh Pangdam Jaya dan Soekarno hanya diizinkan berobat di Bogor saja. Penyakit itu ditambah lagi dengan radang sendi di bagian tangan dan pinggulnya. Secara psikis, Soekarno mengalami depresi berat, sulit tidur, dan pelupa.
Tak adanya perhatian pemerintah atas kondisi Soekarno, membuat Hartini sedih. Berkali-kali ia mengirimkan surat permohonan pada Soeharto agar suaminya dipindahkan ke Jakarta dan mendapatkan perawatan yang layak. Namun hasilnya nihil. Hingga akhirnya, ia pun meminta Rachmawati mengantarkan surat itu langsung kepada Soeharto di Jalan Cendana. Permintaan ibu tirinya ini juga terdapat dalam buku Rachmawati Soekarnoputri yang berjudul “Bapakku-Ibuku”.
Tak lama setelah pertemuan Rachma dengan Soeharto, akhirnya Soekarno pun diperbolehkan pindah ke Wisma Yasoo (kini Museum Satria Mandala) di Jl Gatot Subroto pada sekitar Februari tahun 1969. Di rumah istri kelimanya, Ratna Sari Dewi ini, kondisi Soekarno semakin parah karena terus menerus diinterogasi oleh perwira Kopkamtib yang ingin mengorek keterlibatannya dalam Gerakan 30 September dan apakah ia diperdaya oleh PKI. Sungguh kejam perlakuan Soeharto pada mantan panglimanya ini. Kekuasaankah yang membutakan hatinya?
Pergi Dengan Senyuman
“Di sini terbaring Bung Karno, bagian dari bangsa Indonesia.”
Saat diwawancara dengan jurnalis Amerika, Cindy Adams, Soekarno yang lebih suka dipanggil Bung Karno mengatakan kalau di nisannya kelak akan tertulis kalimat bahwa dirinya merupakan bagian dari bangsa Indonesia. Selain itu, ia juga menegaskan kalau makamnya harus di bawah pohon besar yang rindang. Sayangnya, satu keinginannya yang lain, yaitu di makamkan di rumahnya di Istana Batu Tulis, Bogor, tidak pernah kesampaian karena Soeharto secara sepihak memutuskan untuk memakamkannya jauh dari Jakarta, yaitu di Blitar, kediaman orangtua Soekarno.
Beban mental Soekarno sejak dipindah ke Wisma Yasoo semakin bertambah, sehingga memperparah kondisinya. Konon, selain terus diinterogasi, setiap bagian rumah itu pun sudah dipasangi alat penyadap. Pada 16 Juni 1970, Bung Karno dalam kondisi koma dilarikan ke Rumah Sakit Angkatan Darat. Menurut Peter, selama berhari-hari Bung Karno terbaring tanpa mendapatkan tindakan yang layak. Para dokter saat itu beralasan kalau alat yang mereka pesan tidak pernah sampai hingga Bung Karno meninggal.
Dalam bukunya, Rachma juga menyatakan kemarahannya karena ayahnya yang tengah koma pun tetap mendapatkan penjagaan sangat ketat, bahkan sulit sekali bagi ia dan saudara-saudaranya untuk menjenguk. Pada 20 Juni, mereka mendapatkan telepon dari dokter yang menjaga Bung Karno untuk segera datang. Pukul 7 pagi, kelima anak Bung Karno sudah berkumpul dan mendapati kenyataan kalau ayah mereka sudah tiada. Ayah mereka sudah bebas dari tahanan fisik dan juga penyakitnya. Soekarno sudah bebas, bibirnya pun menyungging senyuman.
Kabar wafatnya Bung Karno pun menyebar ke istri-istrinya. Secara terpisah, satu per satu mereka datang untuk memberikan penghormatan terakhir. Hartini yang merawatnya saat sakit, sempat pingsan dan terus menangisi jasad suaminya. Begitu juga dengan Ratna Sari Dewi atau Naoko Nemoto, Inggit Garnasih yang langsung meninggalkan Bandung saat mendapat kabar, Haryatie, serta Yurike Sanger yang langsung histeris saat melihat tubuh pucat suaminya tersebut.
Walaupun sebelum meninggal Bung Karno terus menanyakan Fatmawati, namun hingga ajal menjemput pun Fatmawati tetap menolak datang. Apalagi saat pemerintah menolak permintaan Fatmawati agar jenazah Bung Karno dibawa ke rumahnya di Kebayoran Baru, dengan tetap menyemayamkannya di Wisma Yasoo. Dendam yang belum hilang membuat Fatmawati hanya mengirimkan bunga dan meratap sendirian di rumahnya.
Di sisi lain, walaupun Soeharto berusaha keras melarang masyarakat hadir di acara pemakaman Bung Karno. Namun, ia tidak mampu melawan kekuatan rakyat yang mengerti betul siapa pemimpin sejati mereka. Bagaimana pun, Bung Karno adalah pemimpin yang langsung dipilih oleh rakyat. Pemimpin sejati milik rakyat. Dan seperti kata Bung Karno, siapa menabur angin akan menuai badai, Soeharto pun kemudian hari juga digulingkan oleh rakyat. (R24)