Sekretaris Jenderal PPP Asrul Sani tidak terkejut konstituennya masih banyak memilih Prabowo Subianto. Wong kadernya saja masih banyak yang seperti itu.
PinterPolitik.com
Tahun politik terus menerus mulai dipenuhi intrik. Ada banyak kesepakatan politik yang tercapai, namun ada juga yang berakhir. Rasa manis dan pahit mewarnai cerita para elit yang bermain.
Ada partai yang sukses mengawinkan calon mereka dengan calon milik partai lain untuk kontestasi politik. Namun, tidak sedikit pula yang gagal.
Gerindra, PKS, ditambah PAN misalnya. Tokoh-tokoh utama ketiga partai itu sepakat untuk menyongsong Pilkada 2018 bergenggaman tangan. Ketiganya mengusung bersama calon di lima daerah. Atau kisah lainnya bisa dilihat pada Demokrat dan Golkar yang juga bersama-sama mengusung calon di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Sementara yang mengalami nasib sebaliknya, gagal membangun hubungan dengan partai lain. Akibatnya, para elitnya harus rela mengajukan “taruhan” seadanya, atau mengajukannya di menit terakhir. Pecah kongsinya Gerindra di menit-menit akhir pada Pilkada Jatim dan di Padang adalah contohnya.
Selain itu, ada juga cerita bagaimana PPP, PKB, dan Hanura “terjebak” mendukung Ridwan Kamil-Ruzhanul Ulum, padahal kader-kadernya lebih menyukai Duo DM.
Kader PKB, PPP, dan Hanura Jabar Alihkan Dukungan ke Paslon Lain https://t.co/ct3DszFFPS
— KOMPAS TV (@KompasTV) February 20, 2018
Hasilnya, perkawinan politik para elit tersebut tidak dapat berjalan mulus, karena suara dari internal partai justru memberontak dan malah mencari “sumber makanan” lain. “Deklarasi Konspirasi” – istilah yang digunakan oleh kader PPP, PKB, dan Hanura, yang membelot dari Ridwan Kamil ke Dedy Mulyadi – adalah contohnya. Deklarasi tersebut adalah bentuk dari kekecewaan dan “pengkhianatan” kader kepada partai dan elitnya.
Dalam politik, tak hanya tokoh utama yang signifikan dalam menentukan keputusan. Karena, bisa apa elit partai tanpa kadernya? Elit yang bisa disebut sebagai “peternak” tentu akan kewalahan tanpa dukungan dari “hewan ternak” atau kadernya sendiri.
Berikut adalah kisah tentang membangkangnya “ternak” dari “peternaknya”.
Kesuksesan power-shifting Golkar dan PAN
“Politik adalah perang tanpa pertumpahan darah. Perang adalah politik engan pertumpahan darah”
-Mao Zedong-
Ada tren selama tiga tahun lebih pemerintahan Jokowi bahwa semua elit partai selalu ingin mendekatkan diri pada Jokowi. Bahkan, partai yang awalnya mendukung Prabowo pada Pilpres 2014, satu per satu berpindah ke sisi Jokowi. Mereka adalah Golkar, PAN, dan juga PPP.
Tapi, melabuhkan partai ke kubu politik yang baru tentu punya kesulitan tersendiri, yakni penolakan kader di dalam partai untuk berlabuh ke kubu tersebut. Golkar dan PAN punya kisah sukses melabuhkan diri di sisi Jokowi.
Golkar misalnya, mulanya adalah pendukung pasangan Prabowo-Hatta di 2014. Kekuatan Golkar yang dipimpin Aburizal Bakrie kala itu, merupakan hubungan timbal balik yang positif dengan Prabowo. Hal ini juga yang membuat Prabowo sendiri sempat turun tangan ketika terjadi konflik dualisme di awal tahun 2014.
Akibat campur tangan Prabowo itu pula, beberapa kader milik Golkar sempat diusir karena membela Jokowi. Mereka adalah Agus Gumiwang Kartasasmita, Poempida Hidayatullah, dan Nusron Wahid. Kader-kader tersebut resmi berada di luar Golkar selama partai beringin itu masih berada di Koalisi Merah Putih (KMP) yang dibentuk Prabowo.
Barulah, pasca-konsolidasi dualisme dan terpilihnya Setya Novanto menjadi ketua umum, Golkar pun sukses menggiring seluruh kadernya ke wilayah kekuasaan Jokowi di Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Setya Novanto berhasil menjadi “peternak” yang baik bagi orang-orang Golkar, terbukti dengan masifnya dukungan kepadanya bahkan saat tengah berjibaku dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Tak hanya di internal Golkar, nyatanya Novanto juga mendapat dukungan dari hampir seluruh faksi DPR untuk tetap bertahan di kursi ketua dewan. Novanto sukses merebut pengaruh tak hanya di Golkar, namun hampir di seluruh fraksi di DPR. (Baca juga: Papa Tak Akan Turun)
Puncak keahlian elit di dalam Golkar adalah ketika 31 DPD Golkar sepakat untuk mengajukan nama Airlangga ke depan Jokowi untuk dijadikan ketua umum yang baru. Tidak ada satupun yang membantah, lintas generasi, lintas DPD Golkar.
Bahkan ketika Novanto sudah tidak ada, para peternak Golkar ini tetap punya kekuatan dan sukses memimpin kader menuju keputusan politik yang solid.
Begitu pula yang terjadi dengan PAN. Walaupun terlihat ragu-ragu bermain di tengah, partai ini sebenarnya punya sikap dan memang telah didesain untuk bermain di tengah. Elit partai macam Soetrisno Bachir, Amien Rais, serta Zulkifli Hasan, terus menjaga “marwah” PAN untuk terus di tengah. (Baca juga: Politik Tengah Absolut Zulkifli Hasan)
Partai berlogo matahari putih ini sepertinya didesain sedemikian rupa, karena walaupun para elitnya tersebut punya posisi politik yang berbeda-beda, namun soliditas tetap terjaga. Ini yang membawa PAN terus menggiring kadernya tetap di tengah, tidak melenceng ke wilayah Jokowi terlalu dalam, tapi tidak juga terlalu dekat ke wilayah Prabowo.
Di permukaan, terlihat bahwa dinamika pro-Jokowi dan anti-Jokowi tetap ada. Namun, fakta bahwa kader partai itu tidak lari kesana kemari dan memecah belah PAN, menandakan soliditas “peternak” PAN yang terus konsisten memberi makan “ternak-ternaknya”.
Pengkhianatan “Ternak” PPP
Kisah sukses Golkar dan PAN dalam menggiring “ternak-ternaknya”, sepertinya harus dicontoh oleh PPP. Pasalnya, sampai saat ini PPP tidak mempunyai “peternak” yang cukup kokoh untuk menggiring “ternak-ternak” ke satu arah yang pasti.
PPP masih begitu terbelah oleh karena kepentingan para elit utama masih sering bertabrakan. Setidaknya saat ini ada dua sosok elit yang terus berusaha merebut perhatian para kader PPP.
Pertama adalah Romahurmuziy (Romi), sang ketua umum resmi saat ini. Romi punya kekuatan dalam hal kedekatannya dengan dunia santri. Ayah Romi, M. Tolchah Mansoer adalah Guru Besar Hukum Islam IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Sementara ibunya, Dra. Hj. Umroh Machfudzoh, adalah pendiri Ikatan Pelajar Putri NU (IPPNU) serta Ketua DPW PPP DIY 1985-1995.
Selain dari kedekatan secara langsung dengan basis massa tradisional PPP, Romi juga punya legitimasi berupa kekuatan hukum dan dukungan dari Presiden Jokowi secara langsung. Kedekatan ini ditunjukkan dalam banyak kesempatan, salah satunya saat Romi mendampingi Jokowi di peresmian beberapa venue Asian Games, di Senayan.
Sementara, tokoh kedua adalah Djan Faridz. Djan adalah elit yang naik ke jajaran tinggi PPP hampir bersamaan dengan Romi. Ketika Romi menjabat sebagai Sekjen PPP tahun 2011-2015, Djan sudah dipercaya menduduki posisi Menteri Perumahan Rakyat oleh Ketua Umum PPP saat itu, Suryadharma Ali.
Melesatnya Djan yang tidak punya basis massa sekuat Romi pun disebabkan oleh kekuatan ekonominya. Djan memiliki perusahaan di sektor konstruksi dan sempat masuk ke dunia pertambangan batu bara. Daya ekonomi yang mumpuni membuat Djan mengimbangi legitimasi akar rumput dan legal-formal milik Romi, salah satunya pengaruh Djan di PP DKI Jakarta. (Baca juga: Anies-Sandi Mengalah Pada Preman?)
Pecahnya elit PPP sepecah-pecahnya ini, menjadikan para kader pun berhamburan kesana kemari tidak karuan. “Ternak” kubu Djan masih sering menyerang “ternak-ternak” Romi di daerah. Sementara Romi ingin terus islah dengan Djan agar “ternak-ternak” mereka itu tidak saling “membunuh”.
Kenapa “ternak” digunakan dalam tulisan ini? Kenapa pinterpolitik.com selalu menggunakan istilah “peternak politik” bagi elit yang memberi makan massa?
Karena begitulah realita politik di Indonesia. Tidak ada ideologi yang bisa menyatukan massa lebih kuat daripada kekuatan uang. Pendanaan politik sangat menentukan pihak mana yang kuat dan mampu berkontestasi di luar dan dalam partai.
Dalam buku So Damn Much Money: The Triumph of Lobbying and the Corrosion of American Government karya Robert Kaiser, tergambar bagaimana polarisasi politik di Amerika Serikat sangat rentan terjadi oleh karena kekuatan lobi orang-orang kaya. Uang dapat mengontrol massa dalam jumlah besar untuk memenuhi kebutuhan politik si pemilik dana.
Dan itu yang jelas-jelas terjadi dengan PPP kubu Djan. Massa kubu Djan dapat terus bergerak tanpa dukungan dana parpol dari pemerintah seperti massa kubu Romi, karena Djan sendiri mampu membiayai mereka dengan kekuatan finansialnya.
Pun begitu alasan massa kubu Djan tidak mau islah, karena menuruti ambisi “peternak” mereka yang sepenuhnya ingin menguasai PPP. Boleh jadi mereka berpihak bukan karena ingin berkhianat kepada marwah partai, tapi mereka hanya bergerak di mana ada uang di sana.
Tidak aneh kalau istilah “ternak-peternak” disematkan, bukan? (R17)