Dalam survei Lembaga Survei Indonesia (LSI), Prabowo Subianto menjadi menteri dengan kinerja paling memuaskan menurut publik. Namun, menimbang pada besarnya popularitas Prabowo, mungkinkah survei itu tidak representatif?
“Meskipun kita memiliki peta terperinci lanskap mental dari para mahasiswa psikologi Harvard (University), kita sangat sedikit mengetahui tentang lanskap mental kaum saman pribumi Amerika, para biksu Budhha, atau kaum mistis sufi.” – Yuval Noah Harari, dalam buku Homo Deus: A Brief History of Tomorrow
Seperti déjà vu, Prabowo Subianto kembali menempatkan dirinya sebagai menteri dengan kinerja paling memuaskan menurut publik. Dalam survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI), 13 persen responden menyatakan sangat puas dan 62 responden menyatakan puas dengan kinerja Prabowo.
Pada Juni 2020, Arus Survei Indonesia (ASI) juga mendapatkan hasil serupa. Prabowo menjadi menteri paling memuaskan dengan persentase sebesar 43,7 persen. Pun begitu dengan survei yang dikeluarkan Indo Barometer pada awal November 2020. Menariknya, pada Februari 2020, Indo Barometer juga mengeluarkan survei serupa yang juga menempatkan Ketua Umum Partai Gerindra sebagai yang teratas.
Sampai saat ini, berarti sudah empat kali Prabowo mendapatkan predikat sebagai menteri paling memuaskan. Pendukung mantan Danjen Kopassus tersebut pastinya sangat berbangga.
Baca Juga: Pilpres 2024, Kemenangan Absolut Prabowo-Anies?
Namun, terdapat komentar menarik dari Partai Nasdem seputar survei ini. Sama dengan komentar pada Februari 2020, dalam survei terbaru yang dikeluarkan LSI, partai biru juga menilai Prabowo menjadi menteri paling memuaskan publik karena faktor popularitasnya.
Di sini, mungkin ada yang melihat sinis komentar partai besutan Surya Paloh karena sedari awal, Nasdem memang terlihat tidak setuju Presiden Joko Widodo (Jokowi) menggandeng Gerindra masuk ke dalam koalisi.
Di luar sentimen tersebut, tanggapan Nasdem sebenarnya memiliki argumentasi kokoh, baik dibedah menggunakan pendekatan psikologi publik, ataupun analis yang lebih radikal melalui philosophy of mind.
Meraba Psikologi Publik
Sebenarnya tidak hanya Nasdem, pakar isu militer dan keamanan dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi juga memiliki pandangan serupa. Menurutnya, tingkat kinerja semestinya diukur melalui tingkat keberhasilan pelaksanaan tugas secara komprehensif pada kurun waktu tertentu yang dikomparasikan dengan standar hasil kerja, target, sasaran maupun kriteria yang telah ditentukan sebelumnya.
Fahmi menegaskan, “bagaimana mungkin kita mengukur kinerja seseorang memuaskan atau tidak, hanya berdasarkan keterkenalan dan seberapa besar perbincangan atau pemberitaan yang melibatkannya, (yang) cenderung memiliki tone, impresi dan sentimen positif.”
Pernyataan alumnus ilmu politik Universitas Airlangga itu dapat kita telaah lebih mendalam melalui konsep swimmer body illusion yang dipopulerkan oleh Nassim Nicholas Taleb.
Rolf Dobelli dalam bukunya The Art of Thinking Clearly menyebut konsep ini bertolak dari kesalahan yang sering terjadi dalam menilai tubuh perenang. Apakah perenang memiliki tubuh yang bagus karena mereka berenang? Atau karena memiliki tubuh yang bagus yang membuat mereka menjadi perenang?
Bagi yang tidak mengetahui tentang olahraga renang, umumnya akan menjawab berenang yang membuat tubuh menjadi bagus. Padahal, untuk menjadi seorang perenang profesional, tubuh yang bagus jusrtu yang harus terlebih dahulu dimiliki.
Dalam definisinya, swimmer body illusion adalah kekeliruan logis ketika seseorang keliru dalam menentukan mana yang menjadi sebab dan akibat.
Pada kasus tingginya tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Prabowo sebagai Menteri Pertahanan (Menhan), perlu dipertanyakan, apakah responden mengukur dulu kinerja Prabowo baru merasa puas, atau justru memang sejak awal puas dengan Prabowo sehingga menilai kinerjanya baik?
Ini sangat penting karena selaku sosok yang namanya malang melintang sejak rezim Orde Baru, dapat dikatakan Prabowo memiliki keunggulan dari segi popularitas. Terlebih lagi, mantan Pangkostrad tersebut telah dua kali maju di gelaran pilpres.
Selain faktor popularitas, mengukur kinerja Prabowo ketika baru menjabat selama setahun atau kurang juga terbilang penilaian yang terlalu dini. Pasalnya, di tahun pertama Prabowo sebenarnya hanya menjalankan program dan penyusunan anggaran yang telah dibuat oleh Menhan sebelumnya, yakni Ryamizard Ryacudu.
Kinerja Ketua Umum Partai Gerindra itu baru bisa dinilai apabila berhasil mengeksekusi program dan rancangan anggaran yang baru disusunnya belum lama ini. Akan tetapi, menguji hal ini juga cukup sulit.
Masalahnya, seperti yang ditekankan dalam rapat kerja (raker) dengan Komisi I DPR pada 11 November 2019 ataupun dalam wawancara pada 13 Oktober 2020, faktor kerahasiaan anggaran pertahanan sangat diutamakan Prabowo.
Atas faktor ini, Khairul Fahmi menekankan, “(karena) sebagian besar rencana anggaran itu kan sulit diakses publik dengan alasan kerahasiaan. Maka mestinya hasil survei untuk Prabowo itu statusnya adalah ‘tidak dapat diukur’.”
Baca Juga: Ada Luhut di Balik Bisunya Prabowo?
Oleh karenanya, Fahmi menilai, apa yang dapat diandalkan publik untuk mengukur kinerja Prabowo hanyalah informasi terbuka (open source), misalnya tugas yang diberikan oleh Presiden Jokowi.
Pada 27 Januari 2020, Presiden Jokowi meminta untuk mengembangkan industri pertahanan lokal demi mengurangi ketergantungan terhadap barang-barang impor. Nah, sekarang masyarakat tinggal menilai apakah tugas mengembangkan industri pertahanan lokal itu tercapai atau tidak. Salah satu indikator sederhanya adalah berkurangnya impor alutsista.
Kognisi yang Berbeda-beda
Setelah membedahnya dari aspek psikologi publik, sekarang kita akan berlanjut ke analisis yang lebih radikal menggunakan philosophy of mind atau filsafat akal budi.
Dalam perkembangan diskursus filsafat, khususnya peralihan filsafat modern ke kontemporer, terjadi perubahan pemaknaan terhadap rasionalitas. Jika dalam pemikiran René Descartes dan Immanuel Kant rasionalitas dipahami secara universal (tunggal), dalam filsafat kontemporer rasionalitas justru dipahami secara partikular atau parsial, bahkan juga relatif (jamak). Rationality berubah menjadi rationalities.
Artinya apa, dengan adanya perbedaan rasionalitas, atau cara individu dalam memahami realitas, sangat tidak memungkinkan menyerahkan kepada masyarakat umum untuk menilai kinerja menteri. Untuk menilai kinerja Menteri Luar Negeri, misalnya, diperlukan pemahaman terkait politik luar negeri dan geopolitik. Sementara untuk menilai Menteri Pertahanan, setidaknya diperlukan pemahaman terkait isu keamanan, alutsista, hingga struktur organisasi militer.
Sekarang pertanyaannya, berapa banyak masyarakat umum yang memiliki kapasitas untuk melakukan penilaian tersebut? Sekiranya tidak banyak. Ini membuat survei penilaian tingkat kepuasan menteri kerap berkutat pada persoalan sejauh mana sang menteri dikenal oleh masyarakat.
Yuval Noah Harari dalam bukunya Homo Deus: A Brief History of Tomorrow juga membahas persoalan parsialitas rasionalitas tersebut. Mengutip artikel filsuf Thomas Nagel yang berjudul What Is It Like to Be a Bat?, Harari menegaskan, meskipun nantinya manusia mampu mengonversi pikiran ke dalam algoritma komputer, kita tidak akan mampu memahami pikiran yang terkonversi tersebut.
Contohnya, mungkin diketahui hormon dopamin yang membuat manusia merasakan sensasi (perasaan) bahagia. Namun, apakah dengan menyuntikkan hormon dopamin dapat membuat kita merasa bahagia?
Dalam philosophy of mind, ini dikenal dengan permasalahan qualia. Qualia didefinisikan sebagai kualitas subjektif atas pengalamanan. Qualia dipahami unik dan berbeda di tiap individu. Contohnya, ketika A dan B kakinya sama-sama berdarah karena menginjak paku, apakah rasa sakit yang mereka rasakan sama?
Lalu, ketika A mengatakan dirinya sedang sakit hati karena ditolak cintanya, apakah B juga merasakan sakit hati yang sama dengan A ketika dirinya juga ditolak cintanya? Pengalaman saki hati tersebut begitu subjektif bukan? Itulah yang disebut dengan qualia.
Nah, pada tatanan praktis, ketika seseorang memiliki pengetahuan tentang ilmu keamanan dan alutsista, tentu memiliki qualia yang berbeda dengan mereka yang tidak memiliki dua pengetahuan tersebut. Ini membuat terjadinya perbedaan sensasi dan persepsi dalam menilai kinerja Prabowo.
Baca Juga: Mengapa Kinerja Prabowo Dinilai Memuaskan?
Seperti kutipan pernyataan Harari di awal tulisan, apakah lanskap mentalatau cara berpikir mahasiswa psikologi Harvard University akan sama dengan cara berpikir seorang biksu atau sufi? Sekiranya berbeda.
Pada akhirnya, mungkin dapat disimpulkan bahwa berulangnya Prabowo menjadi menteri yang dinilai memiliki kinerja paling memuaskan, tampaknya terjadi karena faktor popularitas dan kurangnya pemahaman masyarakat terkait cara mengukur kinerja seorang menteri. (R53)