Terekam pada sebuah video yang tersebar di media sosial, pesta ulang tahun Gubernur Jawa Timur Khofifah melibatkan kerumunan serta beberapa orang yang tidak menggunakan masker. Di tengah tingginya kasus Covid-19 di Jawa Timur, pesta ulang tahun tentu mengundang kemarahan publik. Lantas, mengapa pesta tersebut berlangsung? Mungkinkah pejabat publik seperti Khofifah akan diberikan sanksi?
Sudah lebih dari satu tahun Indonesia dilanda pandemi Covid-19, namun sepertinya pandemi belum akan usai dalam waktu dekat.
Di tengah pandemi, sayangnya masih ada kelakuan janggal dari pejabat pemerintahan yang menuai kontroversi. Terbaru, Gubernur Jawa Timur (Jatim) Khofifah Indar Parawansa ikut mengisi rentetan kontroversi tersebut perayaan melalui pesta ulang tahunnya baru-baru ini. Pesta dirayakan bersama dengan Wakil Gubernur Jatim Emil Dardak karena hari ulang tahun keduanya hanya berbeda satu hari.
Kontroversi tersebut dimulai dari beredarnya video pesta ulang tahun Khofifah di media sosial. Video tersebut menunjukkan adanya kerumunan orang yang ikut merayakan pesta ulang tahun. Terlihat juga beberapa orang yang tidak menggunakan masker. Pesta juga dilengkapi dengan band yang turut memeriahkan acara tersebut.
Banyak yang menilai terdapat pelanggaran protokol kesehatan (prokes) pada acara tersebut karena adanya kerumunan, namun pernyataan ini dibantah. Plh Sekdaprov Jawa Timur Heru Tjahjono menyebut pesta itu merupakan pesta kejutan untuk Khofifah dan Emil sehingga dilaksanakan secara spontan tanpa persetujuan gubernur.
Baca Juga: Pandemi Kuak Kegagalan Otonomi Daerah?
Heru mengatakan kegiatannya ketat akan protokol kesehatan. Acara sengaja dilaksanakan di ruang terbuka, tepatnya di halaman rumah dinas untuk menjaga sirkulasi dan meminimalisir penularan. Heru juga mengatakan beberapa orang melepas masker karena sedang makan.
Khofifah juga telah meminta maaf atas berlangsungnya pesta ulang tahun. Ia mengakui bahwa dirinya tidak mengetahui pesta tersebut diadakan. Ia juga menambahkan bahwa ada kesan berkerumun dan melanggar prokes pada pesta ulang tahunnya, di mana hal ini sama sekali tidak benar.
Ketiadaan Sense of Crisis?
Walaupun sudah ada klarifikasi yang diikuti oleh permintaan maaf dari Khofifah dan stafnya, pakar Epidemiologi Universitas Airlangga (Unair) M. Atoillah Isfandiari mengatakan pesta tersebut mencederai semangat penanganan Covid-19. Atoillah menjelaskan bahwa pejabat pemerintah belum sensitif dengan situasi pandemi yang belum berakhir.
Pesta ulang tahun Khofifah tentu juga tidak sejalan dengan anjuran Presiden Joko Widodo (Jokowi) atas pentingnya sense of crisis atau kepekaan atas krisis. Jokowi mengatakan bahwa perlu adanya perasaan bahwa situasi yang kita hadapi tidak biasa-biasa saja.
Anjuran tersebut sejalan dengan tulisan Leadership in a crisis: Responding to the coronavirus outbreak and future challenges yang ditulis olehGemma D’auria dan Aaron De Smet. Tulisan tersebut menjabarkan pentingnya kepekaan atas krisis sehingga pemimpin dapat memetakan dan memikirkan respons terhadap persitiwa tersebut.
D’auria dan Smet juga mengutip tentang normalcy bias. Dalam menghadapi krisis, pemimpin perlu mengingatkan atas bahaya normalcy bias atau bias kenormalan untuk menghindari sikap remeh atas segala kemungkinan dan dampak yang ditimbulkan dari krisis.
Normalcy bias sendiri adalah bias kognitif yang membuat orang tidak percaya atau meminimalkan peringatan ancaman. Akibatnya, individu meremehkan kemungkinan bencana dan potensi efek sampingnya.
Baca Juga: Siasat Khofifah Ubah Definisi Kematian Covid-19?
Pesta ulang tahun Khofifah dan Emil menggambarkan rendahnya sensitivitas atas krisis. Pada sebuah pesta, kerumunan bisa menjadi hal yang tidak terhindarkan. Walaupun Khofifah mengatakan pesta tersebut berlangsung tanpa sepengetahuan dan izinnya karena dikelola oleh stafnya, namun Khofifah tetap turut andil. Khofifah tetap menerima pesta tersebut dan tidak menolak, artinya tetap ada restu Khofifah. Pesta pun berjalan hingga selesai.
Berlangsungnya pesta ulang tahun Khofifah juga bersamaan dengan peningkatan kasus Covid-19 di Jawa Timur. Zonasi kuning di Jawa Timur meningkat pasca Lebaran. Sebelum Lebaran terdapat 12 kabupaten/kota yang masuk pada zona kuning, namun kini bertambah menjadi 17 kabupaten/kota.
Khofifah sendiri juga sempat menyatakan pencapaian Jawa Timur terkait ketiadaan zona oranye. Namun ini bertentangan dengan data, di mana terdapat 21 kabupaten/kota yang masuk pada zona oranye. Pernyataan Khofifah sendiri tidak didasari oleh data zonasi Satgas Covid-19, melainkan dari PPKM Mikro.
Seminggu sebelum pesta ulang tahun Khofifah, Jawa Timur juga kedatangan 7.948 Pekerja Migran Indonesia (PMI). Saat ini sudah ada 89 orang positif Covid-19 dan angkanya terus bertambah.
Berlangsungnya pesta ulang tahun Khofifah bersamaan dengan kondisi Covid-19 yang semakin buruk di Jawa Timur menunjukkan masih rendahnya sense of crisis dan adanya normalcy bias. Khofifah sendiri menanggapi pesta tersebut setelah viral di sosial media.
Kebal Sanksi?
Pesta ulang tahun Khofifah tentu menuai banjiran kritik mengingat bahwa dirinya adalah seorang gubernur yang seharusnya menjadi role model atau contoh penerapan prokes di masa pandemi. Banyak yang meminta agar Khofifah diberikan sanksi atas pelanggarannya.
Untuk saat ini pemerintah pusat belum memberikan tanggapan resmi terkait pesta ulang tahun Khofifah. Belum ada yang membahas terkait sanksi atas Khofifah dan jajarannya yang terlibat dalam pesta tersebut. Kasus tersebut berhenti pada klarifikasi dan permintaan maaf dari Khofifah.
Khofifah yang mungkin tidak akan memperoleh sanksi dapat dijelaskan melalui konsep skin in the game dari Nassim Nicholas Taleb. Skin in the game adalah prinsip kesetaraan permainan. Skin adalah metafora bagi aktor-aktor yang terlibat dalam game atau tatanan sosial. Aktor yang terlibat dalam game, haruslah siap untuk menerima risiko dari game yang dimainkan, baik itu hal positif ataupun negatif.
Idealnya para aktor menerima risiko dari tindakannya dalam game. Namun, tidak semua aktor menerima risiko tersebut. Ini disebut sebagai lack of skin in the game oleh Nathan Lusting melalui tulisannya Lack of Skin in The Game is The Root of Our Problems.
Dalam konteks pemerintah, lack of skin in the game terjadi ketika pejabat publik justru tidak taat pada peraturan yang mereka buat sendiri. Risiko atas aturan hanya dialami oleh masyarakat umum.
Ini juga dijelaskan melalui tulisan Francesca Jensenius yang berjudul Caught in the Act but not Punished: on Elite Rule of Law and Deterrence. Jensenius menjelaskan bahwa kelompok elite memiliki previlese atau de facto immunity untuk tidak memperoleh sanksi. Kelompok elite, seperti pejabat publik lebih mudah menghindari hukuman melalui berbagai cara, seperti suap, koersi, pertemanan dan sebagainya.
Baca Juga: Menerka Jokowi-Prabowo di Pernikahan Atta-Aurel
Lack of skin in the game dan de facto immunity menjelaskan apabila nantinya Khofifah sebagai pejabat publik tidak memperoleh sanksi. Khofifah sebagai Gubernur Jatim seharusnya memberikan role model atas implementasi kebijakan prokes.
Lack of skin in the game juga dilihat pada kasus kunjungan Presiden Jokowi ke Nusa Tenggara Timur (NTT) Febuari lalu yang menimbulkan kerumunan atau saat melakukan pembagian nasi kotak pada Januari lalu.
Ada pula kehadiran berbagai pejabat tinggi Istana ke pernikahan Atta Halilintar dan Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat di Deli Serdang, Sumatera Utara yang diduga mengundang kerumunan.
Sudah saatnya pejabat publik menjadi sosok percontohan atas implementasi prokes untuk menunjukkan keseriusan penanganan pandemi pada publik. (R66)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.