Dengarkan Artikel Ini:
Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?
Perebutan kursi Ketua DPR di antara Partai Golkar dan PDIP semakin memanas, menciptakan atmosfer politik yang tegang pasca Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Meskipun perolehan suara Partai Golkar berada di bawah PDIP dalam Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024, namun Partai Golkar berkeinginan keras untuk merebut kursi Ketua DPR dari tangan PDIP.
Menurut Undang-Undang (UU) MD3, PDIP sebagai partai peraih suara terbanyak dalam Pileg 2024 memiliki hak untuk menempati kursi Ketua DPR.
Namun, kabar mengenai niat Partai Golkar untuk merevisi UU MD3 guna menduduki kursi Ketua DPR telah mulai beredar.
Jika niat tersebut terwujud, maka itu kiranya akan mengulang kembali peristiwa tahun 2014 lalu. Saat itu, Partai Golkar berhasil menduduki posisi Ketua DPR meskipun peringkatnya dalam Pileg berada di posisi ketiga, di bawah PDIP dan Partai Gerindra.
Dalam sidang yang diwarnai walk out parpol koalisi pendukung pemerintah yang dipimpin PDIP itu, Partai Golkar berhasil memenuhi syarat jika kandidat pimpinan DPR harus didukung oleh minimal lima fraksi.
Saat itu, Partai Golkar yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) mendapatkan dukungan dari PPP, PKS, PAN, dan Partai Gerindra untuk menempati kursi Ketua DPR.
Partai Golkar memang memiliki sejarah yang kuat dalam menempati posisi Ketua DPR. Sejak awal berdirinya, Partai Golkar telah berhasil menempatkan 12 orang kader terbaiknya sebagai Ketua DPR.
Sementara itu, PDIP baru saja berhasil menempatkan satu kadernya sebagai Ketua DPR, yakni Puan Maharani periode 2019-2024.
Berdasarkan sejarah dan prestasi yang telah diraih itu, banyak pihak menganggap bahwa Partai Golkar lebih layak menempati posisi Ketua DPR daripada PDIP.
Namun, hal ini tidak serta merta membuat PDIP menyerah begitu saja. PDIP juga memiliki basis massa yang kuat dan dukungan politik yang signifikan.
Bahkan, Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto telah memberikan peringatan kepada Partai Golkar untuk tidak mengusik dan mencoba mencari celah untuk merebut kursi Ketua DPR RI lewat revisi UU MD3.
Hasto menegaskan jika PDIP memiliki kesabaran yang terbatas soal itu. Dia menyatakan jika PDIP tidak ingin peristiwa 2014 lalu terulang kembali.
Lantas, mengapa Partai Golkar dinilai lebih pantas untuk menempati posisi Ketua DPR RI dibandingkan PDIP?
Golkar Diterima Semua Kalangan?
Partai Golkar telah melangkah jauh sejak era Orde Baru. Dalam kancah perpolitikan Indonesia, Golkar telah menancapkan akarnya sebagai partai yang memiliki identitas sebagai penguasa utama pemerintahan atau ruling party.
Menurut cendekiawan Inggris William A. Robson, esensi mendasar politik adalah tentang mencari dan mempertahankan kekuasaan.
Pandangan ini telah terkait erat dengan teori sirkulasi elite yang diungkapkan sosiolog Italia, Vilfredo Pareto.
Menurut Pareto, kursi kekuasaan akan senantiasa berganti karena elite-elite yang baru selalu ingin menggantikan elite yang sedang berkuasa.
Dalam konteks ini, Partai Golkar dengan sejarahnya yang panjang kiranya sedang mengincar peran yang lebih dominan di pemerintahan baru periode 2024-2029, yakni menempati kursi Ketua DPR.
Ambisi ini tampaknya dapat dipahami sebagai dorongan alamiah dari kader-kader hingga elite partai yang terpatri dalam keinginan akan kekuasaan seperti yang terjadi di masa lalu.
Selain itu, keberlanjutan Partai Golkar dalam politik pemerintahan tidak hanya bergantung pada satu sosok sentral.
Mantan Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tandjung dalam bukunya yang berjudul The Golkar Way: Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik menjelaskan bahwa Golkar adalah partai yang fleksibel, mampu merangkul berbagai latar belakang, karakteristik, dan ideologi untuk bersinergi sebagai catch-all party.
Sikap terbuka dan kepemimpinan yang tidak terpusat pada satu sosok, dengan adanya banyak tokoh kuat dan faksi di dalam partai, menjadikan Golkar memiliki kemampuan lobi yang lebih mudah.
Berbeda dengan PDIP yang kepemimpinannya terpusat pada sosok sang Ketua Umum (Ketum) Megawati Soekarnoputri, membuat PDIP sulit untuk melakukan lobi secara efektif karena harus melalui persetujuan “sang Ratu”.
Ketika memimpin lembaga seperti DPR, diperlukan sosok atau partai politik yang dapat mengakomodir beragam kepentingan. Dengan karakteristiknya yang inklusif, Partai Golkar muncul sebagai partai yang dinilai tepat untuk memegang peran ini.
Namun, ambisi untuk menempati kursi Ketua DPR tidaklah mudah. Persaingan politik yang ketat, baik di internal maupun eksternal partai tampaknya akan menjadi tantangan utama.
Pada akhirnya, Partai Golkar kiranya memang telah memegang peran penting dalam peta politik Indonesia. Sejarahnya yang kuat dan adaptabilitasnya yang teruji telah menjadikannya sebagai kekuatan yang patut diperhitungkan.
Dengan ambisi untuk menduduki posisi yang lebih tinggi dalam pemerintahan, Golkar menunjukkan bahwa mereka berusaha senantiasa relevan dan berupaya untuk memainkan peran yang signifikan dalam pembangunan politik Indonesia yang lebih lanjut. ‘
Optimaes vs Populares
Dalam sejarah politik, persaingan antar partai atau faksi adalah hal yang lumrah. Bahkan, dalam kerangka politik yang berbeda, motif dan dinamika persaingan seringkali tetap sama.
Salah satu contoh yang menarik adalah politik Romawi Kuno yang terkenal dengan persaingan antara Optimates dan Populares.
Di Romawi Kuno, Optimates dan Populares adalah dua faksi yang mewakili kepentingan yang berbeda-beda.
Optimates, yang terdiri dari elit aristokrat, senator, dan orang-orang kaya, mengejar kepentingan mereka sendiri dengan mempertahankan struktur politik yang menguntungkan mereka.
Sebaliknya, Populares mewakili kepentingan rakyat jelata atau plebeian, menekankan aspirasi dan kebutuhan mereka.
Ketika kita melihat politik Indonesia, kita dapat menemukan paralel yang menarik. Partai Golkar, dengan basis elitnya dan akses yang kuat terhadap sumber daya politik, menyerupai Optimates dalam banyak hal.
Partai ini terbiasa memanfaatkan koneksi dan dukungan internal untuk memenangkan posisi strategis, seperti kursi Ketua DPR.
Sebaliknya, kendati kian dipertanyakan relevansinya, PDIP dengan narasi “wong cilik” dan retorika populisnya, menarik dukungan dari kelas bawah, mirip dengan peran yang dimainkan oleh Populares dalam politik Romawi Kuno.
Perbandingan antara Optimates dan Partai Golkar, serta Populares dan PDIP, memberikan wawasan menarik tentang dinamika politik di masa lalu dan sekarang.
Seperti yang terjadi di Romawi Kuno, persaingan antara faksi-faksi ini sering kali merupakan perjuangan untuk mengendalikan pemerintahan dan sumber daya negara.
Bagi Optimates atau Partai Golkar, itu berarti mempertahankan dominasi elite mereka, sementara bagi Populares atau PDIP, itu berarti memperjuangkan kepentingan rakyat.
Kunci dari persaingan politik ini adalah kemampuan untuk memobilisasi massa dan memengaruhi opini publik.
Partai Golkar menggunakan jaringan yang kuat dan sejarahnya sebagai partai penguasa untuk memperoleh dukungan internal dan eksternal.
Mereka dapat dengan mudah mengamankan kursi penting seperti Ketua DPR dengan memanfaatkan sumber daya dan pengaruh mereka.
Di sisi lain, PDIP mengandalkan basis massa yang kuat dan retorika populis untuk meraih dukungan, memanfaatkan aspirasi rakyat jelata dalam upaya mereka untuk memenangkan kursi-kursi strategis.
Namun, perlu diingat bahwa dalam politik, tidak semua hal berjalan sesuai dengan rencana. Kepemimpinan dalam lembaga seperti DPR memerlukan lebih dari sekadar dukungan massa atau retorika politik.
Pentingnya kemampuan untuk mengakomodasi berbagai kepentingan dan melakukan lobi politik tidak boleh diabaikan.
Terlepas dari seberapa kuatnya retorika, yang penting dalam politik adalah kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi rakyat.
Dengan demikian, ketika mengamati persaingan politik di masa lalu dan sekarang, akan terlihat bahwa meskipun aktor dan konteksnya berubah, motif dasar dan dinamika persaingan tetap sama.
Ini adalah cerminan dari sifat yang abadi dari politik manusia, di mana kekuasaan, kepentingan, dan aspirasi selalu menjadi pusat dari perjuangan politik. (S83)