Polemik tentang data kemiskinan lebih banyak mengandung unsur politik, ketimbang ekonomi. Tujuannya hanya untuk menciptakan spekulasi politik yang bertele-tele hingga tak kunjung menuai kata sepakat.
PinterPolitik.com
[dropcap]K[/dropcap]emiskinan dan negara adalah dua hal yang berkelindan. Negara menjadi sebuah entitas yang bertanggung jawab atas segala problem hajat hidup orang banyak. Tak salah, jika sebuah negara yang jatuh miskin entah itu karena perang, pertarungan politik, atau tata kelola pemerintahan yang buruk selalu jadi perhatian dalam sejarah politik dunia.
Bukan hanya itu, jika mengerucut, misalnya dalam konstestasi politik elektoral, kemiskinan juga merupakan isu yang seksi dan kerap mendapat perhatian pada momen-momen tertentu saja. Setidaknya, hal itulah yang saat ini sedang terjadi di Indonesia jelang Pilpres 2019.
Sebenarnya, jika ditarik ke belakang, isu ekonomi misalnya kemiskinan telah lama digunakan sebagai bahan kampanye politik Prabowo Subianto ketika bertarung pada Pilpres 2014. Sekarang, isu ini kembali muncul dalam semaraknya pesta demokrasi yang tak lama lagi akan digelar.
Bedanya, kali ini Prabowo seperti mendapat kawan politik baru yang turut menyerang pemerintahan Joko Widodo melalui angka kemiskinan yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Sayangnya, serangan itu kemudian ditampik oleh kelompok elite pro pemerintah sehingga menjadi polemik yang berlarut-larut.
Soal Data Kemiskinan, Fadli: Sudahlah, Pemerintah Jangan Manipulasi Angka https://t.co/WaS9QJBT6M
— Fadli Zon (@fadlizon) August 3, 2018
Perdebatan soal data kemiskinan yang santer dibicarakan dalam satu pekan terakhir lebih banyak mengandung dimensi politik ketimbang masalah ekonomi itu sendiri. Kemiskinan dalam konteks ini sudah tidak lagi bermakna sebagai masalah ekonomi semata tapi lebih pada ihwal politik dan hasrat untuk menjatuhkan lawan.
Bahkan, ada hal yang sebenarnya lalai dari perhatian elit politik, yakni soal ketimpangan antara si kaya dan miskin. Data yang dirilis oleh BPS pun memperlihatkan bahwa ketimpangan hanya turun tipis. Padahal, ketimpangan adalah problem yang sebetulnya harus lebih diperhatikan ketimbang data mengenai angka kemiskinan.
Karena meskipun kemiskinan itu turun tetapi ketimpangan ekonomi makin tinggi tentu menjadi polemik baru. Padahal, tujuan dari bernegara adalah untuk mencapai keadilan ekonomi atau mereduksi ketimpangan hingga batas maksimum.
Rezim Infrastruktur
Rezim infrastruktur Jokowi sebenarnya ditujukan untuk itu –mengurangi ketimpangan ekonomi antara kota dan desa. Hal itulah yang telah memaksa Jokowi melakukan pemberian intensif misalnya dengan bantuan dana desa, atau membangun infrastruktur sehingga tercipta konektivitas demi menunjang pendistribusian modal dan merangsang ekonomi pedesaan.
Tapi, perdebatan soal kemiskinan yang terjadi satu pekan terakhir ini, kadung menjadi bising-bising politik para elit. Alhasil, kesan yang timbul adalah pragmatisme elit terutama kubu oposisi untuk sekedar menciptakan mosi tidak percaya.
Sebelumnya, Prabowo sebagai pentolan kubu oposisi yang menjadi lawan berat Jokowi telah melakukan hal serupa melalui sebuah video pendek yang tersebar di jejaring maya. Prabowo tampak tak kehabisan tenaga, berpidato dari mimbar ke mimbar yang tujuannya untuk mencari simpati politik. Narasi-narasi anti asing yang kerap diucapkan sekaligus menjadi komoditas politik untuk menyerang rival politiknya.
Lantas, apa sebenarnya yang membuat Prabowo dan kawan-kawan politiknya kerap menyerang Jokowi melalui isu-isu ekonomi?
Terdapat satu variabel yang mungkin dapat memberikan jawaban mengenai pertanyaannya di atas, yakni semakin hilangnya ruang untuk menjadikan isu politik identitas seperti yang terjadi di Pilkada DKI dalam kontestasi Pilpres 2019 nanti. Hal ini terjadi karena Jokowi makin mendekatkan diri dengan kelompok-kelompok Islam.
Dalam statistik, kemiskinan bukan hanya angka-angka, tetapi juga politik. Dengan mengutak-atik metodologi dan alat ukur, politik statistik bisa menjadi senjata untuk menciptakan “gelembung citra” yang diperlukan oleh penguasa untuk meraih popularitas. @bps_statistics https://t.co/lyeGyuwD0q
— Partai Gerindra (@Gerindra) August 1, 2018
Tentu, menjadi lebih dekat dengan kelompok Islam, dapat menjadikan Jokowi makin kebal dengan segala serangan politik oposisi terutama menyangkut isu-isu miring seperti komunisme.
Pengangkatan politisi Islam konservatif seperti Ali Mochtar Ngabalin sebagai staf Presiden adalah salah satu contoh, bahwa Jokowi tidak hanya ingin menjaga bentengnya dari serangan musuh tapi sekaligus ingin menunjukan keberpihakannya kepada kelompok Islam konservatif.
Hal ini tentu saja membuat kubu oposisi mencari cara baru karena serangan politik yang bertendensi identitas makin hari makin tidak laku. Dan akhirnya problem ekonomilah yang menjadi pilihan untuk menggoreng hal sepele menjadi bertele-bertele.
Apalagi, konon kelompok Prabowo ini sedang terdesak dan berpotensi pecah kongsi dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Pasalnya, partai sempalan Ikhwanul Muslimin di Indonesia ini tetap ngotot untuk mencalonkan kandidat wakil presidennya. Jika hal ini terjadi, tentu Prabowo makin kehilangan pendukung dari kelompok Islam.
Akhirnya, tak ada pilihan lain, selain narasi-narasi nasionalisme dan kegagalan ekonomi yang menjadi dalih politik untuk menyarang Joko Widodo. Isu ini memang tidak hanya seksi tapi sekaligus mendapatkan ruang dan momentumnya sebab kondisi ekonomi Indonesia memang sedang tidak stabil, terutama nilai tukar rupiah yang tetap melemah, defisit neraca perdagangan, kenaikan harga bensin hingga telur ayam di pasaran.
Kendati demikian, Jokowi tampak tak peduli dengan fenomena tersebut, ia tampak gencar meneruskan pembangunan infrastruktur sebagai janji-janji politik yang harus dipenuhi, meski harus berutang kepada lembaga keuangan internasional untuk menjaga stabilitas ekonomi.
Kali ini, kubu oposisi makin mendapat isu baru yang dapat digoreng dan berpotensi menjatuhkan kredibilitas politik Jokowi, isu ini adalah masalah kemiskinan yang menurut Prabowo dalam lima tahun terakhir Indonesia malah tambah miskin kurang lebih 50 persen.
Kritikan Prabowo tentu tidak berdasar jika kita merujuk pada data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Faktanya, kemiskinan justru menurun 9,82 persen berdasarkan data Maret lalu. Pada titik ini, konteks politik terlihat lebih terasa ketimbang ekonomi itu sendiri, itu sebab tidak keliru jika dikatakan bahwa apa yang dilakukan Prabowo dan konco politiknya, lebih mengarah pada mosi tidak percaya, alih-alih bermain data.
Mosi Tidak Percaya
Dalam konteks politik, apa yang dilakukan Prabowo dengan menyerang sisi lemahnya Jokowi melalui problem kemiskinan dapat menyerupai sebuah propaganda politik. Tentu, efek yang muncul dari serangan itu bertujuan untuk mengakomodasi segala kepentingan politik Prabowo. Fenomena ini menyerupai teori propaganda yang dicetus oleh Harold Laswell dalam “Propaganda Technique in the World War” yang menyebutkan propaganda merupakan suatu konotasi yang negatif karena isinya manipulatif dan mencuci otak.
Dalam definisi yang lebih umum, propaganda adalah suatu pesan yang bertujuan untuk mempengaruhi pendapat dan kelakuan masyarakat atau sekelompok orang. Jika bersandar pada teori Laswell, yang dilakukan Prabowo dengan mengkritisi masalah kemiskinan dapat dianggap sebagai bagian dari upaya manipulatif.
Kenapa demikian? Karena pendapat Prabowo mengenai kemiskinan tidak berdasarkan data yang tersedia melalui BPS. Alhasil, tujuannya hanya untuk mempengaruhi pikiran publik: bahwa selama lima tahun Jokowi berkuasa masalah kemiskinan semakin menjadi-jadi dan tak kunjung alami perbaikan signifikan.
Praktik seperti ini tergolong lazim di dalam politik. Politisi-politisi kerap melakukan klaim-klaim numerik untuk menguatkan posisinya atau untuk menyerang posisi lawannya.
Dengan demikian, apa yang dilakukan Prabowo dan kawan politiknya boleh dibilang hanya untuk menciptakan mosi tidak percaya di kalangan masyarakat. Tujuannya adalah untuk mencari simpati politik. Tentu, masih ada kejutan-kejutan lain yang ditunggu menjelang Pilpres 2019.
Selama kejutan itu masuk akal, tentu rakyat akan menerimanya dan menjadi bahan pertimbangan, tapi jika kejutan itu adalah hal yang tidak masuk akal, tentu rakyat bakal semakin muak. Lantas, kita tunggu saja, apa strategi oposisi selanjutnya sehingga mampu mengambil hati rakyat Indonesia. (A36)