“Semakin cepatnya perkembangan sebuah peradaban, semakin cepat pula peradaban itu lenyap dan digantikan dengan peradaban lainnya yang timbul di tempat itu.” ~ Havelock Ellis
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]P[/dropcap]emerintah Indonesia akhirnya secara resmi mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) tentang pembubaran enam organisasi massa (ormas) Islam yang terindikasi radikal. Perppu ini kabarnya telah ditandatangani Presiden Joko Widodo pada Selasa (11/7), karena bila mengacu pada UU Ormas, pemerintah akan mengalami jalan panjang dan berliku. Namun bila tidak segera dibubarkan, kelompok ini akan terus membuat resah masyarakat dan ormas Islam lain.
Awalnya, pemerintah lebih dulu mengumumkan rencana pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) karena berniat mengganti ideologi negara dengan sistem kekhalifahan. Namun dalam perkembangannya, ternyata pemerintah tak ingin tanggung-tanggung, sebab ada lima ormas lainnya yang juga ikut dibubarkan, yaitu Aliansi Nasional Anti Syiah (ANNAS), Jamaah Ansarut Tauhid (JAT), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Forum Umat Islam (FUI), dan Front Pembela Islam (FPI).
Ormas-ormas Islam ini, menurut Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan HAM Wiranto, nyata-nyata bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Ia juga menuding adanya ajaran lain yang diarahkan untuk mengganti ideologi Pancasila dan UUD 1945, serta mengganti eksistensi NKRI. Namun ia juga menegaskan kalau Perppu ini tidak bermaksud mendiskreditkan ormas Islam maupun mencederai keberadaan ormas Islam.
Seiring dengan semakin terbukanya informasi dan kebebasan berpendapat, belakangan ini ormas-ormas Islam secara perlahan mulai marak bermunculan dan tak jarang melakukan kegiatan-kegiatan yang sebenarnya ‘melukai’ kebebasan itu sendiri. Tindakan, kegiatan, dan pernyataan yang cenderung radikal menjadi hal yang biasa melekat pada ormas-ormas tersebut.
Namun anehnya, pengikut mereka juga tidak sedikit jumlahnya. Bahkan bila kita lihat dari para simpatisan HTI maupun FPI, anggotanya begitu loyal dan cenderung posesif dalam membela pimpinan-pimpinannya. Bahkan, para kyai serta ulama yang lebih senior dan berilmu dibanding ulama junjungan mereka, misalnya dari Nahdlatul Ulama (NU) maupun Muhammadyah, malah dianggap sesat dan tak jarang dikafir-kafirkan. Ada apa dengan masyarakat Indonesia – terutama kaum Muslimin Indonesia saat ini?
Kejenuhan Kapitalisme
“Saya katakan bahwa cita-cita kita dengan keadilan sosial adalah satu, masyarakat yang adil dan makmur dengan menggunakan alat-alat industri, alat-alat teknologi yang sangat moderen. Asal tidak dikuasai oleh sistem kapitalisme.” ~ Ir. Soekarno
Kapitalisme, kata ini kerap menjadi momok bagi para idealis yang mengharapkan kehidupan yang adil, makmur, serta merata. Kapitalisme selalu dipersalahkan ketika ada kelompok yang tersingkirkan atau dikorbankan demi pembangunan maupun modernisasi. Bahkan Presiden Soekarno menuding kapitalisme hanya akan menyisakan kesengsaraan, pengangguran, dan kelaparan yang berujung pada kematian.
Pengaruh globalisasi dan modernisasi yang telah tumbuh subur di Indonesia, secara tidak langsung mempengaruhi sistem demokrasi Indonesia. Perdagangan dunia dan pasar bebas, lambat laun memperkuat masuknya kapitalisme, termasuk meningkatnya perilaku konsumtif masyarakat. Kondisi ini menciptakan kelas sosial baru yang menempatkan kekayaan dan kekuasaan di atas segalanya. Masyarakat pun menjadi terkotak-kotak.
Efeknya, tindakan korupsi semakin meningkat dan perebutan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara pun merajalela. Kemajuan teknologi yang semakin canggih, juga menjadikan manusia hanya sebagai elemen pasar. Dalam dunia industri kapitalistik, masyarakat hanya dinilai berdasarkan kualitas kerja dan kualitas kemanusiaan itu sendiri. Masuknya mesin-mesin canggih juga berefek pada minimnya ketersediaan lapangan kerja, serta persaingan bisnis yang semakin sengit.
Semua itu menciptakan beban hidup yang semakin berat dan meningkatnya kebutuhan sehari-hari. kondisi yang terus menekan masyarakat awam ini, akhirnya menciptakan sentimen tinggi pada pemerintah. Sedang bagi mereka yang bergelimang uang, sistem ini menciptakan kejenuhan akibat segala kemudahan dan kenikmatan yang ditawarkan. Pada akhirnya, kedua kelas masyarakat ini merindukan Tuhan. Baik sebagai penolong dari segala kesulitan, maupun sebagai pengisi kekosongan jiwa dari harta yang berlimpahan.
Benturan Kapitalisme dan Religi
“Benturan yang paling berbahaya di masa datang, diperkirakan akibat meningkatnya arogansi Barat, meningkatnya intoleransi Islam, dan arogansi Tiongkok.” ~ Samuel P. Huntington, The Clash of Civilization and Remaking 0f World Order
Kapitalisme selalu diidentikkan dengan Barat, sehingga berjayanya kapitalisme juga selalu dikait-kaitkan dengan munculnya paham sekularisme yang dianggap sebagai ancaman bagi kaum religius. Mengapa menjadi ancaman? Karena menurut Harvey Gallagher Cox – seorang teolog Amerika, sekularisme adalah nama ideologi yang menyatakan bahwa sebuah institusi atau badan negara harus berdiri terpisah dari agama atau kepercayaan.
Sementara bagi kelompok religius, negara dan agama tak bisa begitu saja dipisahkan. Sehingga kelompok ini berasumsi, semakin modern Indonesia maka paham kapitalisme pun semakin berkuasa. Pada akhirnya, sekularisme juga akan menyingkirkan masyarakat dari kepercayaan mereka pada Tuhan, akibat terlalu sibuk dengan duniawi. Dan siapa lagi yang wajib dipersalahkan dengan kondisi ini? Tentu saja pemerintah.
Dari latar belakang pemikiran ini, muncul ormas-ormas Islam baru dan vokal, bahkan cenderung radikal. Rajinnya kelompok FPI melakukan sweeping juga selalu berdalih membantu aparat keamanan “membersihkan” kegiatan yang mereka definisikan sebagai “haram”, walau belum tentu bagi pihak keamanan. Kini aparat keamanan didaulat sebagai thogut oleh para teroris dan dianggap halal untuk dilenyapkan, karena dianggap sebagai ‘alat’ kekuasaan untuk mengamankan kapitalisme.
Begitu juga dengan HTI, kelompok ini memanfaatkan kelompok masyarakat yang tersingkir, orang-orang kaya yang ingin ‘membeli’ kenyamanan tak hanya di dunia tapi juga di akhirat, serta anak-anak muda idealis yang memimpikan dunia sempurna di bawah kekhilafahan. Walau tidak sejalan satu sama lain, namun ormas-ormas ini selalu satu suara dalam hal meruntuhkan kekuasaan dan pemerintahan yang dianggap korup.
Lalu bagaimana dengan ormas Islam tertua dan telah lebih dulu mapan, seperti NU dan Muhammadyah? Sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia, keduanya seolah kewalahan dengan ulah ormas-ormas baru yang kerap melampaui batas. Tak jarang, nasihat yang dilontarkan oleh para ulama dari kedua ormas ini, tak dianggap sama sekali. Lebih parah lagi, malah diolok-olok dan dianggap sesat. Persatuan Indonesia pun pada akhirnya mengalami masa kritis, akibat semakin meningkatnya intoleransi dalam masyarakat.
Siapa Yang Akan Menang?
“Yang kita saksikan sekarang bukan saja akhir dari Perang Dingin atau berlalunya masa-masa sejarah pasca-perang, melainkan akhir dari sejarah itu sendiri, yaitu akhir dari evolusi ideologi manusia dan universalisasi demokrasi liberal Barat sebagai bentuk pemerintahan manusia paling akhir.” ~ Francis Fukuyama, The End of History and The Last Man Standing
Sikap radikal ormas-ormas Islam yang tak lagi hanya berbenturan dengan pemerintah, tapi juga dengan masyarakat dan sesama umat Muslim, tentu lambat laun akan dilihat sebagai sebuah ancaman bagi stabilitas negara. Maraknya penolakan masyarakat mengenai ormas radikal, kemudian menjadi alasan bagi pemerintah untuk menerbitkan peraturan yang dapat melumpuhkan ormas-ormas tersebut secara kilat.
Menko Polhukam Wiranto sendiri mengaku, keputusan Presiden Jokowi mengeluarkan Perppu No. 2 tahun 2017 tentang Pembubaran Ormas ini merupakan upaya untuk menyelamatkan bangsa Indonesia dari berbagai ancaman, termasuk ancaman ideologis. Tapi tentu saja, ia juga menegaskan kalau keluarnya Perppu ini bukan berarti pemerintah anti ormas Islam, apalagi karena sebelumnya 14 ormas Islam lain telah meminta pemerintah segera membubarkan ormas-ormas yang menimbulkan keresahan tersebut.
Bukan hal yang aneh pula, bila kemudian ada penolakan dari ormas-ormas tersebut, juga dari masyarakat yang menganggap keluarnya Perppu Pembubaran Ormas akan menjadi alat pasung bagi ormas lainnya. Sementara para penganut logika sinistik akan mencibir bahwa pada akhirnya teori Fukuyama yang mengatakan demokrasi liberal Barat akan menjadi pemenang di akhir zaman telah menjadi kenyataan, setidaknya di Indonesia.
Di titik ini, pemerintah kembali menjadi pihak bersalah, karena berupaya menghilangkan benturan religi melalui kekuatan kapitalistik yang pada akhirnya, juga menimbulkan benturan baru. Terutama karena dengan upaya ini, pihak-pihak yang ingin memancing di air keruh seakan mendapatkan ‘kolam’ baru untuk mengaduk-aduk keputusan pemerintah. Lihat saja HTI yang langsung berniat mengajukan judicial review Perppu tersebut ke Mahkamah Konstitusi.
Lalu siapa yang akan menang pada akhirnya? Mantan sekertaris negara Amerika Serikat Madeline Albright pernah mengatakan, ia tidak sepenuhnya percaya akan adanya benturan peradaban di dunia. Baik itu antara Barat dengan Timur, maupun antar religi. Tapi ia yakin, bahwa di dunia ini akan selalu ada benturan antara orang-orang yang beradab dengan yang tidak beradab. Sekarang tinggal kita yang harus menelaah dan menyimpulkan sendiri, pihak mana yang dianggap beradab dan yang tidak beradab. Berikan pendapatmu. (R24)