HomeHeadlineKetika Chill Guy Hadapi PPN 12%?

Ketika Chill Guy Hadapi PPN 12%?

Dengarkan artikel ini:

Audio ini dibuat menggunakan AI.

Akhir-akhir ini, media sosial dibuat ramai oleh meme bernama ‘Chill Guy’. Mengapa ini memiliki kaitan dengan situasi ekonomi dan sosial, misal dengan kenaikan PPN sebesar 12 persen?


PinterPolitik.com

“I’m just a chill guy” – Chill Guy

Tony Stark, sang jenius, miliarder, playboy, dan filantropis, selalu tampak tak tergoyahkan. Namun, di balik sarkasme dan ketenaran yang menyelimutinya, Tony adalah seorang pria yang dihantui oleh rasa bersalah dan tekanan yang mencekik. 

Insiden di Afghanistan, di mana ia nyaris kehilangan nyawanya dan menyaksikan senjata buatannya digunakan untuk kehancuran, mengubah hidupnya selamanya. Ketika ia menciptakan prototipe pertama baju besi Iron Man, itu bukan hanya untuk menyelamatkan nyawanya tetapi juga sebagai simbol perlindungan. 

Namun, semakin jauh ia melangkah, baju besi itu menjadi lebih dari sekadar alat. Ia mulai menggunakannya sebagai bentuk pelarian dari beban emosional yang terus menghantuinya—rasa bersalah karena kesalahan masa lalunya, ketakutan akan kegagalan, dan ketidakmampuan untuk menjalin hubungan yang sehat dengan orang-orang di sekitarnya.

Iron Man menjadi identitasnya, perisai yang melindunginya dari dunia luar dan bahkan dari dirinya sendiri. Ketika dunia memujanya sebagai pahlawan, Tony justru semakin terjebak dalam tekanan untuk selalu menjadi penyelamat. Setiap ancaman yang muncul memperparah kecemasannya, hingga pada satu titik ia mengalami serangan panik. 

Dalam Iron Man 3, ini diperlihatkan dengan jelas. Tony yang tak bisa tidur, terus-menerus menciptakan versi baru baju besi, seolah-olah mencoba membangun tembok tak terlihat antara dirinya dan ketakutan terdalamnya.

Namun, melalui perjalanannya, Tony perlahan menyadari bahwa pelariannya tidak bisa menjadi solusi abadi. Ia harus berdamai dengan dirinya, menerima kelemahan dan ketakutannya. Pada akhirnya, pelarian yang pernah menyelamatkannya menjadi alat untuk ia berdiri tegak kembali, bukan hanya sebagai Iron Man, tetapi juga sebagai Tony Stark—manusia yang utuh.

Lantas, bagaimana bila di dalam banyak orang terdapat seorang “Tony Stark”? Mengapa ini bisa juga berkaitan dengan dinamika sosial, ekonomi, dan, bahkan, politik?

Meme dan ‘Pelarian’ Politik?

Meme telah menjadi bentuk ekspresi yang populer di kalangan Generasi Z dan Milenial, berfungsi sebagai pelarian dari tekanan sosial dan ekonomi yang mereka hadapi. Menurut tulisan “Laughing at One’s Self: A Study of Self-reflective Internet Memes” oleh A.A.T. Kariko dan N. Anasih, meme tidak hanya sekadar hiburan tetapi juga alat untuk menyampaikan pesan akan situasi diri sendiri.

Mengacu ke pendekatan posmodernis dalam psikologi, meme menjadi semacam ekspresi akan diri manusia. Satu individu bisa memiliki banyak diri (selves), yang mana juga diekspresikan melalui meme.

Dalam situasi ekonomi yang tidak menentu, meme menawarkan cara bagi generasi muda untuk mengekspresikan kekhawatiran dan frustrasi mereka. Mereka menggunakan humor sebagai mekanisme koping, memungkinkan mereka untuk menghadapi realitas yang sulit dengan cara yang lebih ringan dan menghibur.

Selain itu, meme berfungsi sebagai alat komunikasi yang efektif di antara Generasi Z dan Milenial. Mereka menciptakan dan membagikan meme untuk menyampaikan perasaan dan pengalaman bersama, memperkuat rasa kebersamaan di komunitas online yang luas dan beragam.

Meme juga memungkinkan generasi muda untuk mengekspresikan identitas dan pandangan mereka terhadap isu-isu sosial dan budaya. Dengan cara ini, mereka dapat menyuarakan opini dan berpartisipasi dalam diskusi publik tanpa harus menghadapi konfrontasi langsung yang seringkali penuh tekanan.

Dalam konteks tekanan sosial, meme menjadi sarana bagi Generasi Z dan Milenial untuk menertawakan tantangan yang mereka hadapi. Humor dalam meme membantu mereka meredakan stres dan menciptakan jarak emosional dari masalah sehari-hari, memungkinkan mereka untuk tetap produktif dan optimis.

Dengan demikian, meme tidak hanya berfungsi sebagai hiburan semata, tetapi juga sebagai mekanisme pelarian dan alat ekspresi bagi Generasi Z dan Milenial. Mereka memanfaatkan meme untuk menghadapi tekanan sosial dan ekonomi, serta untuk mengekspresikan diri dalam lingkungan digital yang semakin kompleks.

Lantas, apa kaitan meme ini dengan dinamika sosial, ekonomi, dan politik di Indonesia? Mengapa meme bisa menjadi pertanda akan gejala sosial di masyarakat?

Chill Guy dan “Teriakan” dalam Hati

Meme Chill Guy, seekor anjing kecil yang tetap santai meski di tengah kekacauan, menjadi cerminan salah satu self (diri) manusia di era modern. Seperti yang dijelaskan oleh Kariko dan Anasih dalam tulisan mereka, meme dapat menjadi medium refleksi diri yang membingkai pengalaman manusia dalam berbagai situasi.

Di tengah tekanan sosial dan ekonomi yang dialami Generasi Z dan Milenial, Chill Guy menghadirkan pelarian sekaligus kritik halus terhadap realitas. Tahun 2024, misalnya, menjadi tahun politik yang menegangkan dengan Pemilu di berbagai negara, termasuk Indonesia, yang membawa harapan sekaligus kekhawatiran akan perubahan. Dalam situasi seperti ini, Chill Guy mengingatkan generasi muda untuk tetap tenang, meski realitas sering kali tidak sejalan dengan harapan.

Inflasi global yang semakin menekan daya beli generasi muda memperparah tekanan sosial ini. Mereka yang masih berjuang untuk mencapai kemapanan menghadapi situasi di mana biaya hidup meningkat lebih cepat daripada pendapatan. Melalui meme ini, banyak orang memilih untuk mengadopsi sikap Chill Guy—bukan sebagai bentuk pengabaian, tetapi sebagai strategi untuk bertahan dan menjaga kewarasan.

Ancaman lain yang menambah kekhawatiran adalah rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) pada Januari 2025, yang berpotensi memperburuk beban ekonomi. Dalam konteks ini, Chill Guy menjadi representasi self yang bersikap santai di tengah kekhawatiran mendalam, mencerminkan upaya untuk mengatasi rasa tidak berdaya dengan humor.

Dengan demikian, Chill Guy tidak hanya sekadar meme, tetapi juga wujud ekspresi salah satu self manusia di era ketidakpastian. Mungkin, meme satu ini menjadi pengingat bagi pemerintah dan masyarakat bahwa kini kita sedang tidak baik-baik saja. (A43)


Baca juga :  Kejatuhan Golkar di Era Bahlil?
spot_imgspot_img

#Trending Article

Mistikus Kekuatan Dahsyat Politik Jokowi?

Pertanyaan sederhana mengemuka terkait alasan sesungguhnya yang melandasi interpretasi betapa kuatnya Jokowi di panggung politik-pemerintahan Indonesia meski tak lagi berkuasa. Selain faktor “kasat mata”, satu hal lain yang bernuansa dari dimensi berbeda kiranya turut pula memengaruhi secara signifikan.

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

More Stories

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Perbedaan pendapat dalam politik luar negeri tampaknya sedang terjadi antara Prabowo dan diplomat-diplomat Kemlu. Mengapa demikian?