Pemblokiran situs Jurdil 2019 sempat menghebohkan masyarakat. Padahal, bagi segelintir orang, situs ini dianggap sebagai pemberi informasi alternatif dalam Pilpres 2019.
Pinterpolitik.com
[dropcap]M[/dropcap]emantau hasil penghitungan suara Pemilu 2019 memang gampang-gampang susah. Secara resmi, KPU memang memiliki cara sendiri untuk mempublikasikan proses ini melalui situs mereka. Akan tetapi, sebagai lembaga negara, perlu ada penyeimbang agar data yang tersedia tak bersifat parsial.
Merujuk pada hal tersebut, muncul banyak inisiatif warga untuk mengontrol perolehan suara riil melalui berbagai situs. Salah satu situs ini adalah jurdil2019.org. Meski begitu, situs ini kemudian sempat mengalami pemblokiran oleh pemerintah melalui Kemenkominfo. Selain itu, status Jurdil 2019 sebagai pemantau Pemilu juga dicabut oleh Bawaslu.
Ada alasan mengapa situs tersebut akhirnya mendapatkan perlakuan demikian. Perkara netralitas jadi biang keladinya karena Jurdil 2019 sebagai pemantau Pemilu yang harus bersikap imparsial, justru menampilkan foto salah satu kandidat di laman mereka.
Beberapa orang bereaksi terkait dengan pemblokiran ini. Pengelola Jurdil 2019 sendiri tampak melakukan protes dan tak terima dengan hal tersebut. Sementara itu, segelintir masyarakat juga tampak menginginkan situs ini tetap beroperasi sebagai alternatif dari data hitung milik KPU.
Dalam kadar tertentu, terlihat bahwa ada semacam penyensoran kepada situs Jurdil 2019. Padahal, situs ini ternyata menarik minat masyarakat yang ingin mencari informasi alternatif sesuai dengan nilai mereka. Pada titik itu, apa dampak dari penyensoran kepada Jurdil 2019 tersebut?
Penyensoran Internet
Pemblokiran atau penyensoran kepada sebuah situs web merupakan praktik yang kerap dilakukan oleh suatu pemerintahan. Tingkat dari tindakan ini bermacam-macam mulai dari pembatasan atau kontrol hingga pemblokiran secara total dari situs yang dimaksud.
Ada beragam alasan mengapa penyensoran dan sejenisnya ini dilakukan oleh negara pada kebijakan internet mereka. Perkara seperti politik, norma-norma sosial, keamanan, hingga ekonomi, kerap menjadi alasan dari penyensoran atau penyaringan pada aktivitas masyarakat di dunia maya.
Dalam konteks politik, beberapa negara kerap melakukan penyensoran dan pemblokiran untuk situs-situs yang dianggap beroposisi dengan pemerintah. Tak hanya kelompok oposisi, kelompok minoritas lain yang dianggap menjadi ancaman juga kerap jadi sasaran pemblokiran. Negara-negara yang melakukan ini umumnya adalah yang memiliki kecenderungan otokratik dalam menjalankan pemerintahan.
Meski lazim terjadi di banyak negara, praktik ini sendiri sebenarnya tergolong amat dipertanyakan. Kebebasan dalam demokrasi menjadi salah satu alasan mengapa praktik ini dipertanyakan. Freedom House misalnya, membuat indeks Freedom on the Net setiap tahunnya untuk menilai praktik kebebasan internet di suatu negara.
Dalam konteks tersebut, Indonesia dikategorikan sebagai negara yang melakukan penyensoran dan pengawasan internet yang bersifat bebas sebagian atau partly free. Hal ini tergolong beralasan, mengingat pemerintah melalui Kemenkominfo tergolong rajin melakukan pemblokiran kepada situs-situs di dunia maya, meski tak benar-benar memblokir penggunaan internet secara total.
Jurdil 2019 menjadi korban paling anyar dari praktik pemblokiran tersebut. Ada alasan mengapa kemudian Kemenkominfo memutuskan untuk memblokir situs tersebut. Laporan Bawaslu terkait netralitas situs ini membuat Kemenkominfo harus membuat situs ini tak bisa diakses oleh masyarakat.
Menurut Bawaslu, Jurdil 2019 telah melakukan pelanggaran sebagai sebuah kelompok pemantau Pemilu. Berdasarkan keterangan mereka, Jurdil 2019 memuat foto salah satu kandidat di dalam situs sehingga netralitas mereka sebagai pemantau Pemilu menjadi tercemar.
Tak hanya itu, menurut Bawaslu, Jurdil 2019 juga melakukan aktivitas publikasi proses quick count sehingga melanggar izin mereka sebagai pemantau Pemilu. Atas laporan Bawaslu, Kemenkominfo kemudian langsung bergerak cepat untuk melakukan pemblokiran.
Perkara Ketakutan
Memang, dalam beberapa kasus penyensoran hingga pemblokiran kepada hal-hal yang dianggap melanggar norma bahkan peraturan hukum formal adalah wajar. Akan tetapi, jika dikaitkan dengan kebebasan bersuara dan mendapatkan informasi di internet, hal ini dapat menjadi sesuatu yang diperdebatkan.
Ada pandangan khusus terkait penyensoran dan pemblokiran internet tersebut dari Chris Hedges, seorang jurnalis pemenang penghargaan Pullitzer. Menurutnya, penyensoran kepada internet adalah hasil dari rasa takut kelas berkuasa.
Secara spesifik, studi yang dilakukan oleh Gary King, Jennifer Pan dan Margaret Roberts menggambarkan bahwa ada rasa takut dalam negara saat melakukan sensor di internet. Mereka mendapatkan hal tersebut dari kasus di Negeri Tirai Bambu Tiongkok.
“When you censor a Web sites, you are not proving it guilty of any wrongdoing, you're only telling the world that you fear what it might say.” #kominfo @bawaslu_RI @jurdil2019 https://t.co/dMlp4On8Af
— Arif Rahman (@rlarifrahman) April 21, 2019
Berdasarkan kondisi tersebut, boleh jadi muncul penilaian dari publik bahwa ada rasa takut dari negara saat melakukan pemblokiran kepada Jurdil 2019. Secara formal, perkara netralitas yang diungkapkan oleh Bawaslu boleh jadi salah satu alasannya.
Meski begitu, dengan suasana politik yang begitu terwarnai oleh Pilpres 2019, boleh jadi ada informasi lain yang bisa membuat pemerintah atau kelas berkuasa di dalamnya tak merasa terlalu nyaman. Sejauh ini, informasi yang beredar di dalam situs ini tergolong berbeda kontras dengan lembaga resmi seperti KPU atau kelompok-kelompok survei lainnya.
Jurdil 2019 menjadi salah satu kelompok yang dengan berani mempublikasikan bahwa dalam hitung riil, pasangan nomor urut 02 Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno unggul dari pasangan nomor urut 01 Joko Widodo (Jokowi) dan Ma’ruf Amin.
Di tengah simpang siurnya informasi, memang tak mudah untuk bisa membuktikan bahwa klaim dari Jurdil 2019 ini adalah yang paling sahih. Terlepas dari hal itu, hasil penghitungan dari Jurdil 2019 ini memang tergolong tak menggembirakan bagi kandidat petahana. Sehingga, bisa saja ada yang mengartikan bahwa ada yang diinginkan untuk menyebar dari situs Jurdil 2019.
Informasi Alternatif
Merujuk pada hal tersebut, idealnya segala bentuk pengawasan masyarakat yang ada di internet kepada proses Pemilu adalah hal yang perlu dilindungi. Pada titik ini, langkah untuk memblokir Jurdil 2019 menjadi sesuatu yang bisa diperdebatkan.
Dalam kondisi yang sangat ideal, situs seperti Jurdil 2019 dan banyak situs pengawal penghitungan suara lainnya dapat menjadi alternatif bagi informasi yang disebarkan melalui situs resmi KPU. Jika tidak ada sesuatu yang ditakuti oleh KPU dan pemerintah, idealnya perbedaan atau alternatif ini bukan sesuatu yang harus ditanggapi terlalu keras.
Informasi alternatif ini idealnya tidak lantas buru-buru dicap sebagai berita palsu lalu kemudian dilakukan pemblokiran atau penyensoran. Dalam konteks tersebut, ada bahaya kemunculan digital authoritarianism seperti yang diungkapkan oleh Adrian Shahbaz, Direktur Riset Teknologi dan Demokrasi pada Freedom House.
Jika melihat kondisi di belahan bumi lain, informasi alternatif seperti ini pernah dilakukan oleh National Citizens’ Movement for Free Elections (NAMFREL) di Filipina. Lembaga pemantau Pemilu ini mempelopori penghitungan yang kini disebut quick count untuk mengawasi dan menjadi alternatif informasi dari lembaga resmi yaitu Commission on Elections (Comelec).
NAMFREL kala itu menjadi pemberi informasi alternatif bagi pelaksanaan Pemilu Filipina dengan menyajikan proses penghitungan yang berbeda dengan Comelec. Pada akhirnya, NAMFREL meraih lebih banyak kepercayaan dari masyarakat karena Comelec dianggap melakukan kecurangan dalam Pemilu.
Terlepas dari izinnya, situs Jurdil 2019 dan yang serupa tetap penting untuk menjadi alternatif pengawas penghitungan suara. Share on XKisah ujung dari NAMFREL dan Comelec adalah ternyata memang benar, Comelec telah melakukan kecurangan. Fakta ini terungkap dari para petugas mereka sendiri yang bertugas melakukan tabulasi melalui komputer. Hal ini kemudian menjadi pemicu dari gerakan people power di negara tersebut yang menyingkirkan rezim Ferdinand Marcos yang melakukan kecurangan Pemilu.
Merujuk pada kondisi tersebut, Jurdil 2019 dan banyak situs lain bisa mengambil peran seperti NAMFREL. Jika KPU ternyata akhirnya terbukti bersikap seperti Comelec di Filipina, maka perlu ada informasi alternatif yang bisa menjadi pegangan.
Tentu, terburu-buru memberi cap Jurdil 2019 setara NAMFREL juga tidak bijak seiring dengan pertanyaan tentang netralitas lembaga ini. Meski demikian, pemblokiran total kepada Jurdil 2019 juga dapat menjadi preseden mengkhawatirkan bagi demokrasi yang menghargai perbedaan.
Pada akhirnya, baik pemerintah maupun institusi terkait Pemilu bisa bersikap lebih hati-hati dalam menyikapi situs seperti Jurdil 2019 ini. Salah mengambil langkah, bisa saja ada yang mengartikan bahwa ada ketakutan kepada informasi yang disebar situs semacam ini. (H33)