Surya Paloh dan partainya, Nasdem, disebut-sebut sebagai kawan politik Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang paling setia. Benarkah begitu?
PinterPolitik.com
“Are you loyal to yourself in advance? I said, tell me who you loyal to” – Rihanna, penyanyi R&B asal Barbados
Sebagai presiden, Jokowi memang selalu dikelilingi oleh banyak orang. Orang-orang tersebut bisa jadi menteri-menterinya, dewan-dewan penasihatnya, maupun keluarga dan kerabatnya.
Sang cucu Jan Ethes misalnya, sering kali mendampingi dirinya dalam beberapa kesempatan di hadapan publik. Dalam hal pemerintahan, sang presiden boleh saja banyak dibantu oleh menteri-menterinya, seperti Menteri BUMN Rini Soemarno, Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan, hingga Menkopolhukam Wiranto.
Namun, dalam hal politik, Jokowi disebut-sebut memiliki kedekatan tersendiri dengan beberapa politisi. Setidaknya, hal inilah yang dijelaskan oleh penulis dan jurnalis John McBeth dalam tulisannya di Asia Times.
Menurut McBeth, Paloh dan parpolnya, Nasdem, senantiasa kukuh dalam memberikan kesetiaannya terhadap Jokowi. Kesetiaan ini telah diberikannya sejak sebelum sang presiden menjabat dalam periode pertamanya.
Tepat hari ini, Presiden RI
Ir. H. Joko Widodo berulang tahun.Doa terbaik dari Partai NasDem untuk pemimpin rakyat Indonesia
Semoga selalu diberi kesehatan dalam mengemban amanah memimpin Indonesia menuju perubahan yang lebih baik#HBDJokowiKe58 pic.twitter.com/SMOoXkOaYV
— Partai NasDem (@NasDem) June 21, 2019
Sebagai partai pertama yang mendukung Jokowi selain PDIP, mungkin sudah sepantasnya Nasdem mendapatkan hadiah dari sang presiden. Pada periode pertamanya, Nasdem memperoleh tiga pos jabatan setingkat menteri, yaitu Jaksa Agung Muhammad Prasetyo, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, dan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita.
Sebagai salah satu partai yang setia, tidak heran apabila Nasdem diprediksi akan memperoleh tambahan jatah menteri pada periode kedua Jokowi nanti. Menurut McBeth, Surya Paloh dan Nasdem dihitung oleh Jokowi sebagai salah satu kawan politik terpenting bagi sang presiden.
Terlepas dari jatah menteri yang didesas-desuskan tersebut, bagaimanakah Paloh dan partainya menunjukkan kesetiannya pada Jokowi? Lalu, apakah mereka benar-benar setia terhadap sang presiden?
Kesetiaan Politik
Kita semua tidak jarang mensyaratkan orang atau hewan lain untuk memberikan kesetiaannya pada kita. Kesetiaan bukanlah kata yang asing dalam kehidupan sehari-hari kita, termasuk dalam politik.
Dalam sebuah tulisan yang berjudul “Loyalty,” John Kleinig menjelaskan bahwa kesetiaan merupakan sebuah watak praktis untuk bertahan dalam keterikatan asosiasional yang secara intrinsik dianggap bernilai. Dalam kesetiaan, turut disertai komitmen untuk mengamankan atau, setidaknya, tidak membahayakan kepentingan objek kesetiaan.
Menurut Kleinig, kesetiaan biasanya disertai dengan perasaan ikatan afeksi yang kuat. Bahkan beberapa pendapat mengatakan bahwa kesetiaan membuat seseorang ingin tetap dalam ikatan tersebut meskipun tidak menguntungkan.
Kemauan seseorang yang ingin berkorban tersebut senada dengan penjelasan Allison M. Dowell dalam tulisannya yang berjudul “The Case for Political Loyalty.” Bagi Dowell, kesetiaan merupakan hal yang perlu diberikan, diminta, dan dipilih yang bebas dari pamrih.
Lalu, apakah Paloh dan Nasdem memberikan kesetiaannya tanpa pamrih pada Jokowi?
Kesetiaan merupakan hal yang perlu diberikan, diminta, dan dipilih yang bebas dari pamrih. Share on XSebagai salah satu parpol pertama yang memberikan dukungan pada Jokowi, kesetiaan Nasdem boleh saja tidak dapat diragukan. Setidaknya, itulah yang terlihat di publik.
Dalam beberapa kesempatan, Paloh dan Nasdem sering menunjukkan kerelaan yang dimilikinya terhadap sang presiden. Dalam reshuffle kabinet Jokowi pada tahun 2015 silam misalnya, menyebabkan digantinya menteri asal Nasdem, Tedjo Edhy Purdijatno, yang sempat mengisi posisi Menkopolhukam.
Menanggapi hal tersebut, Paloh tidak mempermasalahkan apa yang dilakukan Jokowi pada saat itu. Paloh pun mempersilakan keputusan sang presiden dan menganggap hal tersebut untuk memenuhi kepentingan negara yang lebih besar.
Selain Tedjo, terdapat juga desas-desus pengurangan jatah menteri yang akan berdampak pada Nasdem. Hal ini dilakukan karena adanya upaya PAN dan Golkar yang mendukung pemerintahan Jokowi.
Hampir serupa, Ketum Nasdem tersebut menanggapi bukan dengan protes berlebihan di depan publik. Menurut Paloh, hal tersebut malah menguntungkan pemerintah karena dapat meningkatkan partisipasi dalam pemerintahan.
Dari sini, bisa dilihat bahwa Paloh dan Nasdem tampak mendukung Jokowi tanpa pamrih meskipun parpol tersebut tidak berada pada posisi yang dapat dibilang menguntungkan. Layaknya orang yang setia, keputusan sang presiden tetap didukung.
Atia Indonesia?
Namun, apa yang ditunjukkan oleh Paloh dan partainya belum tentu merupakan bentuk kesetiaannya terhadap Jokowi. Kesetiaan yang ditunjukkan tersebut bisa jadi berkaitan dengan kepentingan sang Ketum Nasdem.
Paloh, sebelum mendirikan ormas Nasional Demokrat, merupakan kader Golkar. Dalam partai tersebut, Paloh membangun karier politiknya dari bawah.
Namun, seperti yang dijelaskan oleh McBeth, Paloh memutuskan untuk keluar dari partai beringin tersebut dan mendirikan blok politiknya sendiri – ormas Nasional Demokrat berkembang menjadi parpol Nasdem.
Keputusannya untuk keluar dari Golkar tersebut didasarkan pada perbedaan ideologis antara dirinya dan partai beringin pada saat itu. Lagi-lagi, Paloh membangun narasi yang serupa. Ketum Nasdem tersebut mengklaim bahwa dirinya ingin mendukung idealisme meski tanpa memperoleh jabatan atau posisi yang strategis.
Terlepas dari narasi yang dibangunnya tersebut, Paloh bisa jadi memutuskan untuk berpindah kubu politik guna memenuhi kepentingan. Apa yang dilakukan bos Metro TV tersebut mirip dengan Atia dalam seri HBO berjudul Rome yang terinspirasi oleh kisah-kisah Romawi kuno.
Dalam kisah tersebut, Atia pada awalnya berada pada sisi Caesar akibat ikatan keluarga dan manfaat-manfaat yang diperolehnya. Namun, ketika kekuasaan dan kekayaan Pompey meningkat, Atia secara cepat menyusun rencana agar dapat masuk dalam tim Pompey.
Menurut Dowell, apa yang dilakukan oleh Atia merupakan kesetiaan politik palsu karena dirinya tidak setia pada Caesar maupun Pompey, melainkan pada egoisme dirinya sendiri. Akibatnya, kesetiaan yang dihasilkan hanyalah kesetiaan yang didasarkan pada kepentingan pribadi.
Seperti Atia, Paloh mungkin telah menyadari bahwa di penghujung masa jabatannya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang sebelumnya didukungnya sudah semakin berkurang pengaruhnya.
Selain itu, Kleinig dalam tulisannya pun menjelaskan bahwa kesetiaan juga memiliki dimensi lain selain ketiadaan pamrih. Menurutnya, kesetiaan juga didasari oleh motivasi-motivasi rasional.
Bisa jadi, pindahnya dukungan dirinya dari SBY ke Jokowi merupakan upaya Paloh untuk memenuhi kepentingannya. Sebulan setelah Mantan Wali Kota Solo tersebut dilantik menjadi presiden, beberapa usulan kesepakatan bisnis Paloh pun disinyalir telah diteken. Setahun berikutnya, kesepakatan bisnis tersebut pun dapat dilaksanakan dan diresmikan oleh Jokowi.
Mungkin, Paloh memang memiliki kepentingan tertentu pada tahun 2014. Namun, bagaimanakah dengan 2019 kini?
Kepentingan-kepentingan serupa dari Paloh mungkin memang belum terlihat seperti yang terindikasi pada tahun 2014-2015 silam. Namun, kesetiaan Nasdem terhadap Jokowi bisa jadi bukan tanpa kepentingan.
Bisa jadi, kesetiaan Paloh pada Jokowi dalam Pilpres 2019 lalu merupakan bentuk kesetiaan palsu yang hanya didasarkan pada kepentingan sang Ketum Nasdem. Mungkin, sang “kakanda” masih menginginkan perubahan yang menguntungkan.
Pada akhirnya, lirik penyanyi Rihanna di awal tulisan bisa dijawab oleh Paloh, mengingat sang Ketum Nasdem telah menunjukkan bentuk loyalitas yang tinggi. Menarik untuk ditunggu jawaban selanjutnya, apalagi terdapat isu kohabitasi Jokowi-Prabowo Subianto. (A43)