Komparasi era Nazi Jerman yang dijabarkan Romo Frans Magnis Suseno sebagai ahli kubu Bharada E di sidang kasus Ferdy Sambo agaknya perlu sedikit diperjelas. Itu dikarenakan, komparasi tersebut tampak justru bisa memberatkan Bharada E. Benarkah demikian?
Ahli filsafat moral Romo Franz Magnis Suseno sebagai saksi ahli kubu Bharada E dalam sidang kasus Ferdy Sambo menyinggung Nazi Jerman dalam pernyataannya. Akan tetapi, apa yang dikemukakan Romo Magnis kiranya justru dapat memberatkan Bharada E jika ditelisik lebih lanjut.
Ya, Romo Magnis menyinggung subjek antagonis di Perang Dunia II itu saat ditanya seputar hukuman lebih berat bagi orang yang memberi perintah atau yang menerima perintah untuk membunuh.
Menurutnya, hukuman berat pantas diberikan kepada Ferdy Sambo lantaran mantan Kadiv Propam Polri itu telah memerintahkan anak buahnya untuk menembak ajudan lainnya.
Awal mulanya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) bertanya apakah terdapat perbedaan pertanggungjawaban ketika dilihat dari kesalahan masing-masing terdakwa dalam kasus pembunuhan Brigadir J.
Sebagaimana keahlian Romo Magnis, salah seorang Jaksa melontarkan pertanyaan itu dari sisi telaah filsafat moral.
Romo Magnis kemudian mengungkapkan tetap ada diferensiasi pada orang yang memiliki kesadaran berbuat jahat dengan orang yang dalam situasi yang bingung.
Selanjutnya, JPU menanyakan perihal pidana paling berat untuk diberikan kepada orang yang memberi perintah atau orang yang diberikan perintah.
Tak ragu, Romo Magnis menjelaskan bahwa orang yang pidananya paling berat adalah orang yang memberikan perintah.
Kasus pembunuhan Brigadir J lantas dikaitkan oleh Romo Magnis dengan kejadian pada era Nazi Jerman di Perang Dunia II. Pada saat itu orang-orang kerap menerima perintah dan merasa terancam bila tidak melakukannya.
“Dalam pembicaraan mengenai yang terjadi di zaman Nazi, di Jerman. Di mana berulang kali orang melakukan perintah-perintah karena diperintahkan, mungkin dia juga terancam kalau tidak melaksanakan perintah,” begitu refleksi Romo Magnis di ruang sidang.
Sosok penulis buku Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral itu mengiyakan konfirmasi JPU yang menanyakan orang yang memberi kuasa dan perintah memiliki tanggung jawab besar atas perintahnya, meskipun perintah jahat itu tetap tidak boleh dilakukan secara filsafat moral.
Komparasi dengan Nazi Jerman yang diungkapkan Romo Magnis tampak cukup menarik. Itu dikarenakan, terdapat satu kisah menarik yang kiranya memiliki signifikansi dengan kasus pembunuhan Brigadir J, yakni sidang kejahatan Holocaust di Perang Dunia II dengan Adolf Eichmann yang berakhir di tiang gantung.
Namun, jika memang benar komparasinya adalah dengan kasus tersebut, boleh jadi Bharada E justru bisa diberatkan secara hukum. Mengapa demikian?
Merujuk Kisah Eichmann?
Kendati belum dapat dipastikan poin substansi yang dirujuk Romo Magnis, pasca Perang Dunia II terdapat sebuah sidang pertanggungjawaban terhadap perwira Nazi Jerman atas perannya di Holocaust bernama Adolf Eichmann. Dia sebelumnya berhasil ditangkap dan diadili di Israel.
Pada tanggal 11 April 1961, Eichmann menjalani sidang pertama di Yerusalem. Itu sekaligus menjadi sidang yang pertama kali disiarkan di televisi sepanjang sejarah.
Sebanyak 15 dakwaan mengarah pada Eichmann dalam persidangan bersejarah itu, termasuk kejahatan kemanusiaan dan kejahatan perang.
Tercatat, jutaan orang menyaksikan rangkaian persidangan yang juga diisi kesaksian emosional dari para korban dan kerabat Holocaust.
Menariknya, selama persidangan sosok prajurit Schutzstaffel Obersturmbannführer itu tampak begitu tenang dan konsisten mencitrakan diri sebagai sosok yang hanya mematuhi perintah atasannya dalam melakukan berbagai tindakannya di Holocaust.
Singkat cerita, meski mengaku tak bersalah, Eichmann tetap divonis bersalah dan dihukum gantung di Ramla, Israel pada 31 Mei 1962.
Selama persidangan perwira yang berpangkat letnan kolonel itu, seorang filsuf politik Jerman yang juga penyintas Holocaust Hannah Arendt yang turut mengikuti persidangan itu kemudian menelaah dan menganalisis setiap pernyataan Eichmann.
Arendt melakukan kompilasi analisis dan menuangkannya dalam sebuah laporan yang kemudian diterbitkan dengan judul Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil.
Arendt mengamati bahwa Eichmann tidak hanya mematuhi perintah, melainkan turut pula mematuhi “hukum”. Di titik tersebut, Eichmann tampak cukup “lihai” menjustifikasi perbuatannya dengan mengacu pada konsep etika dan prinsip kategori imperatif dari filsuf dan intelektual utama Abad Pertengahan Immanuel Kant.
Eichmann tidak merasa bersalah. Menurutnya, ia hanya menjalankan perintah, dan baginya itu adalah sebuah perbuatan bermoril.
Pernyataan Eichmann tersebut mengilhami Arendt mempopulerkan istilah banality of evil atau banalitas kejahatan. Itu adalah kondisi ketika kejahatan tidak lagi dipandang sebagai kejahatan alias dinilai “lumrah”.
Kembali kepada keterangan Romo Magnis dalam kasus Bharada E, kutipannya soal Nazi Jerman yang mungkin merujuk pada perspektif Arendt terhadap Eichmann kiranya justru bisa menjadi bumerang.
Perlu Diluruskan?
Pembahasan mengenai tafsir Nazi Jerman dalam sidang kasus Sambo belakangan cukup ramai dibicarakan di media sosial.
Kendati begitu, tampaknya perlu diluruskan bahwa komparasi dengan kasus pasca Perang Dunia II itu bisa saja membuka ruang tafsir yang kontraproduktif. Tentu jika berbicara “keberpihakan” terhadap Bharada E yang tengah melakoni peran sebagai justice collaborator.
Jika ditelaah lebih dalam, ada dua pertanyaan penting yang harus diajukan. Pertama, apakah situasi Eichmann sama dengan Bharada E? Ketika menerima perintah dari Sambo, apakah Bharada E mengalami banalitas kejahatan atau hanya takut melawan perintah?
Pasalnya, jika melansir sejumlah pemberitaan, Bharada E sebelumnya diimingi imbalan uang dan draf Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang sudah terisi.
Pertanyaan krusial kedua, apakah ada momen Bharada E merasa aman karena dijanjikan perlindungan oleh Sambo?
Jika dua pertanyaan itu tidak dijawab dan diluruskan, Bharada E dapat dilihat sebagai “Eichmann kedua”. Ihwal ini yang membuat kesaksian Romo Magnis rentan terjebak dalam fallacy yang disebut sebagai false equivalence. Itu adalah kekeliruan bernalar yang terjadi ketika kita keliru dalam melakukan komparasi.
Jika diselaraskan dengan Eichmann, Bharada E bukan tidak mungkin akan tetap dianggap bersalah dan hukuman berat juga berpotensi didapatnya dalam skenario pembunuhan Brigadir J.
Kemudian, lebih menariknya lagi, dalam kasus Sambo kesaksian ahli yang meringankan namun justru tampak memberatkan eksis saat Guru Besar Hukum Pidana Universitas Andalas Elwi Danil turut dihadirkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 27 Desember kemarin lusa.
Alih-alih meringankan, kesaksian Elwi berdasarkan keilmuannya di hukum pidana justru terkesan menyudutkan dua tersangka pembunuhan Brigadir J tersebut.
Satu yang paling mencolok adalah saat Elwi sepakat dengan hukuman mati sebagai ganjaran maksimal dalam tindak pidana berat seperti pembunuhan. Tak hanya itu, dirinya juga setuju jika penegak hukum pantas mendapat hukuman lebih berat jika melakukan pidana.
Tetapi, mengenai hal itu, kesaksian ahli memang tidak serta merta akan menguntungkan pihak yang menghadirkannya. Perihal ini sendiri selaras dengan pendapat pakar hukum pidana Hipnu Nugroho yang menyebut ahli bersaksi berdasarkan objektivitas keilmuwannya, bukan meringankan atau memberatkan.
Oleh karena itu, apa yang disampaikan Romo Magnis di sidang Sambo agaknya perlu dicermati secara komprehensif, tidak hanya dari sisi analogi dengan “Nazi Jerman” tetapi juga bagaimana hal itu berdampak pada pertimbangan hukumnya kelak, baik terhadap Sambo maupun Bharada E. (J61)