Beberapa kepala daerah terbukti menjadi tersangka kasus korupsi dan masih bisa melenggang mengikuti Pilkada. Masyarakat masih bisa percaya?
PinterPolitik.com
[dropcap]S[/dropcap]eiring ditangkapnya Bupati Jambi, Zumi Zola, karena Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK, kepala daerah lain seakan menunggu waktunya masing-masing. Bupati Jombang, Nono Suharli Wihandoko (NSW) tak berapa lama ditangkap oleh KPK karena dugaan melakukan korupsi perizinan dan penyelewengan jabatan di Kabupaten Jombang, Jawa Timur.
Menariknya, NSW dikabarkan pula mengikuti Pilkada 2018 mendatang. Walau sudah memikul status sebagai tersangka, jalannya masih ‘aman’ hingga putusannya tiba. Menurut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, memang tak melarang calon kepala daerah berstatus tersangka mengikuti Pilkada.
Calon kepala daerah baru bermasalah jika memikul status terdakwa atau terpidana dan menerima putusan pengadilan. Dengan demikian, walau secara etika mengganjal, jalan NSW menuju Pilkada setidaknya masih aman sampai ia terbukti bersalah dan mendapat sanksi hukum dari pengadilan.
Selain NSW, masih banyak pula calon kepala daerah yang juga mengalami kasus serupa yaitu mendapatkan status tersangka, saat detik-detik Pilkada.
Lantas, bagaimana masyarakat melihatnya? Apakah masyarakat masih mempercayainya?
Berjaya, Walau jadi Tersangka
Sebelum terjerat OTT KPK, NSW selain dikenal sebagai Bupati Jombang, dikenal pula sebagai pengusaha dan petani tebu. Ia juga pernah menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD Jombang periode 2008 – 2013 partai Golkar.
Di tahun 2016, karirnya moncer sebagai Ketua DPD Golkar Jatim periode 2016 – 2021. Nyono kelihatannya juga masih berambisi untuk terus menduduki kursi Jombang. Didampingi Subaidi Muchtar, Nyono kembali mendaftar sebagai calon bupati Jombang tahun ini. Tak tanggung-tanggung, ada lima koalisi partai, yakni Golkar, PKB, PKS, PAN, dan Nasdem.
Selain NSW, calon kepala daerah yang terjerat status tersangka lainnya adalah Basuki Tjahaja Poernama (Ahok). Pada Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu, ia tersandung kasus penistaan agama dan mengalungi status tersangka.
Waktu itu Ahok dan Djarot diusung oleh PDIP, Golkar, Hanura, dan Nasdem. Walau mengalungi status tersangka, Ahok pun masih bisa melakukan kampanye Pilkada sembari menjalani persidangan yang panjang. Selanjutnya, Ahok ternyata harus rela terperosok ke dalam penjara dan resmi kalah dari lawan politiknya, Anies dan Sandiaga.
Nasib Ahok tersebut, jelas terekam dan diikuti oleh berbagai media mainstream nasional. Padahal selain dirinya, masih banyak pula calon kepala daerah yang punya nasib serupa Ahok maupun NSW.
Di tahun 2011, kendati ditetapkan sebagai tersangka Ahmad Marzuki juga maju di Pilkada Jepara bersama Dian Kristiandi. Kedua pasangan tersebut saat itu diusung oleh PDIP dan PPP. Di tahun yang sama, di daerah Buton, Sulawesi Tenggara, Samsu Umar Samiun juga terganjal kasus hukum dan tetap melaju ke Pilkada Buton.
Begitu pula di Sulawesi tahun 2015, Burhanuddin Baharuddin, Bupati Talakar, Sulawesi Selatan dijerat sebagai tersangka dan maju di Pilkada bersama Natsir Ibrahim, mereka diusung oleh PDIP Golkar, Hanura, PAN. Dan PPP.
Bergeser ke Gorontalo di tahun 2017, Gubernur Gorontalo, Rusli Habibi juga terjerat kasus pencemaran nama baik Komjen Budi Waseso dan masih tetap mengkuti Pilkada. Ia maju bersama calon wakil gubernur petahana Idris Rahim dan dapat dukungan penuh dari Partai Demokrat.
Bila diperhatikan, beberapa calon kepala daerah yang terjerat menjadi tersangka, diusung oleh beragam partai. Hal ini menandakan bila tiap partai bisa membawa kader-kader atau calon kepala daerah yang ‘bermasalah’ dalam hukum.
Tak hanya kasus korupsi saja – walau itu yang mendominasi, tetapi juga masalah hukum lainnya, seperti misalnya kasus pencemaran nama baik yang mengganjal Rusli Habibi dengan Budi Waseso, hal ini mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap calon kepala daerah.
Hal ini mengembangkan pula sebuah pertanyaan, apakah para calon kepala daerah tersebut bisa dipilih kembali oleh masyarakat?
Masyarakat Percaya Partai?
Dalam beberapa contoh yang disuguhkan, para calon kepala daerah yang tersandung kasus tersangka, rata-rata menemui dua nasib, yakni menjadi terdakwa dan terbukti bersalah hingga mau tak mau harus mundur dari pencalonan atau kalah dalam Pilkada. Bahkan ada pula yang menemui keduanya, sudah kalah, menjadi terdakwa pula sepert Ahok.
Tetapi, di luar contoh yang sudah disuguhkan di atas, ada pula beberapa calon kepala daerah berstatus tersangka, yang menang dan dilantik. Mereka adalah Marben Dira Tome, Bupati terpilih Sabu Raijua, NTT, Marianus Sae, Bupati terpilih Ngada, NTT, dan Bupati terpilih Maros, Sulawesi Selatan Hatta Rahman.
Secara prosedural, para calon kepala daerah dan kepala daerah yang terpilih dengan status tersangka, tak melanggar peraturan dan sudah menaati ketetapan secara prosedural. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 memang tidak melarang tersangka untuk dilantik, sebab negara harus menganut asas praduga tak bersalah.
Dari segi etika, hal itu bisa dipandang tak elok bahkan bemasalah. Bagaimana seorang tersangka memimpin pemerintahan daerah? Apakah roda pemerintahan tidak terganggu? Tak tertutup kemungkinan pula bahwa pemerintahan yang dipimpin oleh para tersangka, terutama tersangka korupsi, kelak akan melahirkan pemerintahan dan kepemimpinan yang koruptif pula.
Marris dan Klesner dalam jurnal Vanderbilt, mengungkapkan adanya hubungan antara kepercayaan sosial dengan tindakan koruptif. Tindakan koruptif ini dimasukkan dalam konteks pemerintahan, di mana kepercayaan masyarakat (sosial) akan merespon bagaimana sebuah pemerintahan atau kepemimpinan koruptif berjalan.
Dengan begitu, kepercayaan masyarakat, seperti yang disebutkan oleh Marris dan Klesner, akan menurun terhadap pemerintahan dan calon kepala daerah yang mengalungi status tersangka, apalagi yang tersangkut masalah korupsi.
Ini pula yang diamini oleh Lembaga Survey Indonesia (LSI) Denny JA yang menyebut bahwa kepercayaan masyarakat kepada politisi korup, kecil nilainya. Mayoritas masyarakat tak percaya politisi bebas korupsi dan bekerja untuk rakyat.
“Karena maraknya korupsi oleh para politisi, yang justru mengklaim anti korupsi. Dulu Demokrat dan PKS mengklaim anti korupsi kini mantan petinggi partainya terlibat korupsi. Ini menjadi antitesis oleh slogan mereka pada awalnya, “ jelas peneliti LSI, Ardian Sopa.
Lantas bagaimana dengan calon kepala daerah dengan status tersangka yang masih saja dipilih oleh rakyat bahkan dilantik kembali?
Di beberapa wilayah, politik dinasti menjadi salah satu alasannya. Di wilayah NTT, di mana sudah disebut sebagai contoh beberapa calon kepala daerah berstatus tersangka dipilih kembali oleh rakyat, memang lekat dengan politik dinasti alias pemerintahan turun-temurun. Masyarakat memilih kembali calon kepala daerah sebab keterbatasan alternatif calon pemimpin.
Ketiadaan calon alternatif di NTT ini, secara khusus pernah dikritik oleh Tim Pembela Demokrasi Indonesia, Petrus Selentinus. Secara spesifik, Petrus menunjuk keberadaan PDIP di belakang para calon kepala daerah yang dicalonkan turun temurun.
Lebih jauh, Petrus Selentius berkata bahwa kriteria yang terkait dengan relasi ‘dinasti politik dan dinasti korupsi’ harus diperhatikan dan dihindari. “Kriteria moral terpenting bagi NTT adalah calon tidak boleh memiliki ikatan dengan dinasti politik dan dinasti korupsi,” tandas Petrus.
Di sisi lain, partai politik menjadi satu-satunya organisasi yang ‘memudahkan’ seseorang mendapatkan kekuasaan legislatif dan eksekutif. Melalu partai politik, jalan mengajukan daftar calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Partai politik bisa mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden, hingga bupati, walikota, dan wakilnya.
Namun sistem yang ada tak memungkiri pula menyebabkan biaya pencalonan yang tinggi. Mencalonkan diri sebagai kepala daerah, mau tak mau harus memerlukan banyak biaya, untuk kampanye, hingga biaya saksi. Dari mana partai dan calon kepala daerah mendapatkan biaya? Tak menutup kemungkinan berasal dari pemanfaatan jabatan yang didudukinya.
Jika benar, maka anomaly partai politik dalam Pilkada benar adanya. Parpol yang dibentuk dengan cita-cita pengabdian dan kepentingan rakyat, malah berakhir mendorong konstituennya atau elitnya melakukan korupsi atau melanggar etika prosedural politik.
Jika sudah begini, tak ada salahnya mengingat kembali kata-kata Ludwig Von Misses, seorang ekonom dari Austria. Ia berkata, “there is more dangerous menace to civilization than a government of incompetent, corrupt, or vile men,” yang memiliki arti, “tak ada yang lebih membahayakan peradaban dibandingkan dengan pemerintahan yang tak becus karena korupsi atau pemimpin yang bengis.”
Apakah partai politik Indonesia demikian adanya? Berikan pendapatmu. (Berbagai sumber/A27)