HomeNalar PolitikKerja Senyap Tiongkok Tata Dunia?

Kerja Senyap Tiongkok Tata Dunia?

Tiongkok dinilai tengah membangun tatanan dunia baru melalui Belt and Road Initiative (BRI) atau One Belt One Road (OBOR) miliknya. Apa dampak politiknya terhadap Indonesia?


PinterPolitik.com

“And a new world order is about to begin” – Public Enemy, grup hip-hop asal Amerika Serikat

Sebagian masyarakat Indonesia menilai bahwa pengaruh Tiongkok yang terus bertumbuh di negeri ini dapat membawa dampak buruk. Keluhan ini terungkap dalam diskursus Pilpres 2019 lalu – ketika banyak pihak mempertanyakan ancaman-ancaman yang bisa saja datang dari negeri Tirai Bambu tersebut.

Secara spesifik, terdapat skema Belt and Road Initiative (BRI) atau One Belt One Road (OBOR) yang dinilai dapat memperbesar beban utang pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).

Uniknya, melalui skema OBOR tersebut, Tiongkok dinilai tengah membangun tatanan dunia yang baru. Setidaknya, hal itulah yang diungkapkan oleh Benjamin Zawacki dalam tulisannya di Asia Times.

Zawacki menilai bahwa Tiongkok tengah membangun tatanan dunia yang didasarkan pada norma-norma yang dimiliki oleh Tiongkok. Dengan begitu, tatanan dunia akan menjadi lebih iliberal dan represif.

Namun, bagaimana caranya Tiongkok dapat membangun tatanan dunia tersebut? Lalu, apa dampaknya terhadap Indonesia?

Rezim Internasional

Upaya yang dilakukan oleh Tiongkok tersebut bisa jadi merupakan upaya untuk membangun tatanan dunia baru melalui rezim internasional yang baru. Dalam sejarahnya, rezim internasional turut menciptakan tatanan yang menguntungkan bagi negara tertentu.

Stephan Haggard dan Beth A. Simmons dalam tulisannya yang berjudul Theories of International Regimes menjelaskan bahwa – dengan mengutip definisi milik Stephen Krasner – rezim internasional merupakan seperangkat prinsip, norma, aturan, dan prosedur pengambilan keputusan, baik secara eksplisit maupun implisit, di antara aktor-aktor internasional yang memiliki kesamaan ekspetasi dalam hubungan internasional.

Dalam pelaksanaannya, rezim internasional kerap didukung dengan kehadiran organisasi internasional. Salah satu rezim internasional yang pernah terbentuk adalah sistem Bretton Woods yang terdiri atas Bank Dunia, International Monetary Fund (IMF), dan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) – sekarang menjadi World Trade Organization (WTO).

Pembentukan rezim Bretton Woods bermula dari keinginan Amerika Serikat (AS) untuk memperbaiki sistem moneter internasional yang rapuh di tengah-tengah Perang Dunia II. Pada awalnya, rezim ini bertujuan untuk memperkuat sistem finansial di antara negara-negara Sekutu – berkaca dari kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam pembangunan ulang pasca-Perang Dunia I.

Selain Bretton Woods, AS juga membuat rencana program yang bertujuan untuk memberikan dana bantuan bagi negara-negara Eropa guna melakukan pembangunan kembali pasca-Perang Dunia II. Program ini disebut sebagai Marshall Plan – secara resmi disebut sebagai European Recovery Program (ERP).

Rezim moneter dan bantuan luar negeri AS tersebut dinilai menjadi cara bagi negara Paman Sam untuk memperluas pengaruh mata uang dolar miliknya. Sistem Bretton Woods misalnya, menempatkan mata uang tersebut pada posisi sentral dalam sistem pertukaran uang.

Selain itu, rezim moneter internasional tersebut secara politis dianggap kerap menciptakan keuntungan tersendiri bagi AS dan negara-negara kawannya. Carla Norloff dari University of Toronto dalam tulisannya yang berjudul Dollar Hegemony menjelaskan bahwa sistem tersebut menciptakan kekuatan struktural tersendiri bagi AS.

Melalui institusi-institusi dalam sistem tersebut, AS menciptakan rezim ekonomi liberal, di mana aturan-aturan pasar bebas diadopsi oleh banyak negara. Konsep kekuatan milik Susan Strange ini dapat dipahami sebagai kemampuan yang dimiliki oleh suatu negara untuk memengaruhi struktur interaksi melalui aturan-aturan yang dapat memodifikasi opsi-opsi yang dimiliki oleh aktor-aktor lain.

Kekuatan struktural ini memiliki hubungan yang erat dengan tatanan global. Norloff dalam beberapa tulisan lainnya menjelaskan bahwa kekuatan ini kombinasi antara efek pasar bebas ala AS dan kekuatan militernya membuat tatanan global yang terpusat di AS menjadi stabil.

Kekuatan struktural membuat suatu negara mampu memengaruhi struktur interaksi melalui aturan-aturan yang dapat memodifikasi opsi-opsi yang dimiliki oleh aktor-aktor lain. Share on X

Lalu, apa dampak dari tatanan dunia AS ini terhadap Indonesia?

Besarnya pengaruh tatanan dunia ini dapat dilihat dari kasus Pertamina di Indonesia pada tahun 1970an di bawah kepresidenan Soeharto. Pada tahun-tahun tersebut, bisnis Pertamina tumbuh pesat – mampu berbisnis di berbagai industri non-migas, seperti asuransi dan hotel.

Namun, menurut Éric Toussaint dalam tulisannya yang berjudul The World Bank and the IMF in Indonesia, pemerintah Indonesia didorong oleh Presiden Bank Dunia Robert McNamara untuk melemahkan Pertamina karena dianggap mempersulit perkembangan bisnis minyak AS di Indonesia. Presiden Soeharto akhirnya setuju dengan tambahan pinjaman dari Bank Dunia sebagai gantinya.

Lantas, jika rezim internasional yang dibangun AS dapat memengaruhi pemerintah Indonesia, bagaimana dengan OBOR Tiongkok?

Tatanan Dunia Baru Tiongkok?

Tiongkok dinilai tengah berusaha membangun rezim baru yang berbeda dengan milik AS. Untuk mewujudkan tatanan dunia yang berbeda, negara Tirai Bambu tersebut dianggap tengah melakukan beberapa upaya tertentu.

Salah satu upaya yang kini dilakukan oleh Tiongkok adalah OBOR. Inisiatif infrastruktur itu disebut-sebut mirip dengan Marshall Plan milik AS. Apa yang dilakukan AS pada abad ke-20 juga mulai terlihat mirip dengan gerak-gerik Tiongkok.

Salah satunya adalah dengan mendirikan institusi finansial yang memiliki fungsi untuk memberikan pinjaman bagi pembangunan infrastruktur, yakni Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB). Bank multilateral ini disebut-sebut dibentuk sebagai tandingan bagi Bank Dunia dan IMF.

Melalui OBOR dan AIIB tersebut, Tiongkok bisa jadi tengah berupaya untuk membesarkan pengaruhnya terhadap negara-negara lain. Josh Rogin dalam artikel opininya di The Washington Post menjelaskan bahwa salah satu fitur utama dari OBOR adalah minimnya transparansi yang dimilikinya.

Rogin menilai bahwa fitur tersebut dapat menciptakan kondisi bagi negara-negara penerima utang tidak memiliki informasi yang lengkap. Dengan ketimpangan informasi tersebut, Tiongkok dengan mudah dapat membebani negara-negara yang lebih miskin dengan utang-utang yang berat.

Memangnya bisa terjebak?

Posted by Pinter Politik on Wednesday, March 13, 2019

Pendapat Rogin tersebut mengingatkan kita dengan konsep diplomasi jebakan utang (debt-trap diplomacy) yang disebut-sebut tengah dilakukan oleh Tiongkok. Banyak pihak menilai bahwa jebakan ini telah menangkap beberapa negara lemah di Asia dan Afrika, seperti Sri Langka.

Melalui perangkap tersebut, bisa jadi Tiongkok tengah membangun tatanan dunia sendiri yang terpusat pada pengaruhnya. Pasalnya, negara-negara tersebut menjadi terikat melalui skema-skema pinjaman tersebut.

Selain itu, pemerintah Tiongkok dinilai mendukung cara-cara illiberal yang dilakukan oleh negara-negara lain. Polemik Rohingya di Myanmar misalnya, dinilai oleh Zawacki memiliki kaitan dengan kebijakan OBOR Tiongkok.

Pasalnya, setelah kelompok Rohingya diusir dari Rakhine, Tiongkok mengumumkan proyek infrastruktur OBOR barunya di Myanmar. Zawacki menilai bahwa upaya tersebut berhubungan dengan upaya membangun konektivitas yang menguntungkan bagi Tiongkok secara geopolitik.

Pertanyaannya, apakah tatanan dunia baru tersebut benar-benar dapat terwujud? Lalu, bagaimanakah dampaknya terhadap Indonesia?

Jika dibandingkan dengan dominansi dolar dan tatanan dunia AS yang bersinar pada akhir abad ke-20, Norllof menilai bahwa Tiongkok belum tentu dapat membangun pengaruh serupa. Simon Shen dalam tulisannya di The Diplomat telah mencoba membandingkan pengaruh dua kerangka bantuan dan pinjaman yang dimiliki oleh Tiongkok dan AS.

Meski OBOR Tiongkok dinilai oleh Zawacki dapat menyebarkan nilai-nilai iliberal, Shen menilai kerangka tersebut tidak memiliki fokus ideologis yang jelas jika dibandingkan dengan tatanan dunia AS yang menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi liberal.

Shen menilai bahwa OBOR dan AIIB hanyalah instrumen Tiongkok untuk melucuti pengaruh AS. Pasalnya, AIIB juga merangkul negara-negara Eropa yang notabene memiliki kedekatan ideologis dan politik dengan AS.

Walaupun OBOR dan AIIB belum dapat dipastikan akan berujung pada tatanan dunia baru, tidak bisa dipungkiri bahwa Tiongkok akan tetap memperluas pengaruhnya. Jika mengacu pada tulisan Zawacki, beberapa upaya yang dilakukan Tiongkok terjadi di beberapa komponen, yakni tenaga kerja asing, penyebaran budaya, serta kehadiran militer dan paramiliter.

Zawacki menyebutkan bahwa Tiongkok telah mendirikan pangkalan-pangkalan militer dan paramiliter untuk mengamankan proyek-proyek OBOR-nya. Boleh jadi, upaya tersebut juga bertujuan untuk memperluas pengaruh ekonominya. Menurut Norloff, kapabilitas militer juga menjadi salah satu faktor pendukung untuk menunjukkan status negara tersebut guna mengumpulkan pembayaran utang dari negara-negara peminjam.

Selain militer, Zawacki menilai bahwa Tiongkok tengah menyebarkan nilai-nilainya melalui tenaga-tenaga kerja asing yang tersalurkan melalui proyek-proyek infrastrukturnya. Selain tenaga kerja asing, negara panda tersebut juga mendirikan lembaga budaya dan pendidikan Confucius Institute di negara-negara penerima.

Dari upaya-upaya tersebut, bisa jadi Tiongkok berupaya untuk mengunci pengaruhnya atas negara-negara lain meski belum pasti dapat berujung pada tatanan dunia yang baru. Bagi Indonesia, pengaruh Tiongkok tentu tiba di Indonesia. Namun, besar tidaknya pengaruh tersebut kembali lagi pada upaya Jokowi untuk menghalaunya, seperti mengimbangkan pengaruh negara tersebut dengan AS.

Yang jelas, Tiongkok tetap akan memperkuat pengaruhnya dengan kekuatan yang dimilikinya. Meski belum dapat dipastikan tatanan baru akan terwujud, bisa saja Tiongkok membangun pengaruh secara perlahan – memunculkan tatanan tersebut, seperti lirik grup rap Public Enemy di awal tulisan. (A43)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Baca juga :  Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Perbedaan pendapat dalam politik luar negeri tampaknya sedang terjadi antara Prabowo dan diplomat-diplomat Kemlu. Mengapa demikian?