HomeHeadlineKereta Cepat Jokowi Dibiarkan Mangkrak?

Kereta Cepat Jokowi Dibiarkan Mangkrak?

Kereta cepat Jakarta-Bandung yang digadang jadi salah satu proyek mercusuar pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tampak kian rumit penyelesaiannya. Lantas, mengapa itu bisa terjadi? Benarkah proyek tersebut dibiarkan mangkrak?


PinterPolitik.com

Enam tahun telah berlalu sejak Presiden Joko Widodo (Jokowi) meresmikan proyek pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung. Pembangunan infrastruktur transportasi anyar yang sebenarnya ditargetkan selesai pada tahun 2019 lalu, masih belum jelas kepastiannya kapan akan rampung.

PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) sebagai pelaksana, merupakan perusahaan patungan antara konsorsium Indonesia, yakni PT Pilar Sinergi BUMN dan konsorsium perusahaan kereta api Tiongkok melalui Beijing Yawan HSR Co.Ltd dengan skema business to business (B2B).

Sayangnya, KCIC sejak awal hingga detik ini masih dihadapkan pada masalah pembebasan lahan yang tak kunjung selesai. Ihwal yang kemudian menghambat pendanaan Tiongkok dan merembet pada membengkaknya biaya pembangunan.

Proyek kereta cepat ini mulanya bernilai US$6,07 miliar atau sekitar Rp86,5 triliun. Akan tetapi, estimasi pembengkakan dana maksimal yang kemudian dikalkulasi mencapai US$8 miliar atau setara Rp114,24 triliun.

Dinamika berlanjut saat pemerintah menyebut terpaksa harus menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp4,3 triliun untuk menopang pembengkakan biaya sejauh ini.

Padahal, pada 15 September 2015 silam, Presiden Jokowi berjanji untuk tidak menyentuh dana keuangan tahunan negara demi proyek kereta cepat.

image 9

Well, pembahasan mengenai kereta cepat belakangan ini kembali mengemuka sekaligus semakin menimbulkan tanda tanya serta spekulasi. Salah satunya datang dari pengamat transportasi Darmaningtyas yang mengatakan bahwa pembangunan kereta cepat saat ini seperti serba-salah.

Hal itu dikarenakan apabila terus dilanjutkan, negara tentu akan menanggung kelebihan biaya. Sementara jika mundur pun cukup mustahil untuk dilakukan karena konstruksi fisik sudah telanjur dikerjakan.

Kendati demikian, menurut Ketua Institut Studi Transportasi itu, langkah paling logis yang bisa ditempuh adalah dengan tetap melanjutkan pembangunan proyek, dengan sebuah catatan penting, yakni semaksimal mungkin menekan beban yang ditanggung negara.

Dinamika pembangunan kereta cepat tentu menimbulkan pertanyaan sederhana. Mengapa proyek kereta cepat Jakarta-Bandung bisa begitu rumit, baik dari segi pendanaan hingga implementasinya?

Di Ambang Jebakan Tiongkok?

Diskursus kereta cepat Jakarta-Bandung menarik perhatian Asisten Profesor Ilmu Politik di North Carolina State University Jessica C. Liao.

Dalam publikasinya yang berjudul Easy Money and Political Opportunism: How China and Japan’s High-Speed Rail Competition in Indonesia drives financially risky projects, Liao menganalisis bahwa terdapat semacam oportunisme politik Presiden Jokowi di balik pembangunan proyek ambisius tersebut.

Tiongkok yang mengungguli Jepang dalam aspek kemudahan pencairan dana, membuat pemerintah Indonesia kemudian memilih negeri Tirai Bambu dan proyek kereta cepat langsung dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.

Sementara itu, Hafiz Amin Zamzam dalam tulisannya yang berjudul The Political Economy of Jakarta-Bandung High-Speed Rail Project in 2015-2016 menyebutkan keputusan dipilihnya Tiongkok daripada Jepang sebenarnya bukanlah karena alasan bisnis seperti yang diungkapkan, melainkan memiliki dimensi politik tersendiri.

image 10

Menariknya, Hafiz menemukan bahwa pemerintah Indonesia melalui Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) saat itu, Rini Soemarno, telah menandatangi tiga dari tujuh Memorandum of Understanding (MoU) antara Tiongkok dengan Indonesia di Beijing pada tahun 2015.

Baca juga :  Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Pasalnya, salah satu dari tiga MoU yang ditandatangani adalah proyek Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung. Dengan kata lain, apa yang disepakati Indonesia via Rini, semacam menjadi kontrak pengikat tersendiri.

Bersamaan dengan itu, secara matematis Tiongkok menawarkan pinjaman US$50 miliar dengan bunga 2 persen atau lebih tinggi dibandingkan Jepang (0,1 persen). Namun, Tiongkok memberikan jangka waktu pengembalian dua dekade lebih panjang dibanding negeri Samurai, yaitu 50 tahun.

Dengan molornya pengerjaan plus melambungnya pembiayaan kereta cepat, diharapkan Indonesia tidak masuk ke dalam jebakan hutang (debt trap) Tiongkok yang telah dialami sejumlah negara dengan konsekuensi kurang menyenangkan.

Karena jika itu terjadi, maka alasan mengapa penyelesaian kereta cepat yang tampak begitu rumit kemungkinan mengarah pada bagian dari skenario “jebakan” yang kerap dikatakan menjadi strategi dan bentuk soft power ekonomi-politik Tiongkok.

Susan Strange dalam buku States and Markets menjelaskan konsep structural power untuk menjelaskan eksistensi kekuatan aktor negara dominan untuk membentuk pola interaksi dengan negara lain yang lebih lemah.

Dalam beberapa literatur, structural power dapat menggambarkan muara penerapan aturan main Tiongkok atas pinjamannya (power) kepada negara lain yang jatuh tempo sehingga disebut sebagai sebuah jebakan hutang.

Bahaya debt trap sendiri pernah diperingatkan oleh Kepala Badan Intelijen Inggris MI6 Richard Moore pada November 2021 lalu. Tak hanya sebuah peringatan kosong, apa yang dikemukakan Moore agaknya berasal dari case nyata kala pengelolaan Pelabuhan Hambantota di Sri Lanka dan Bandara Internasional Entebbe di Uganda berpindah tangan kepada Xi Jinping.

Selain kemungkinan mengarah pada skenario debt trap, alasan mengapa proyek kereta cepat seolah jauh dari apa yang diharapkan agaknya disebabkan oleh politik perkeretaapian Indonesia yang dinilai kurang serius.

Ihwal itu misalnya dikemukakan oleh Becky P.Y. Loo dan Claude Comtois dalam buku berjudul Sustainable Railway Future: Issues and Challenges.

Menurut dua profesor bidang transportasi dan perkotaan itu, konsep sistem transportasi berbasis rel di Indonesia seolah “terabaikan” karena kondisi geografisnya yang lebih membutuhkan perbaikan kualitas dan kuantitas di aspek transportasi laut antar pulau.

Pengabaian itu misalnya dapat tercermin dari riwayat historis pasca G30S, ketika sepanjang dasawarsa 1970 sampai 1980-an banyak lintas cabang kereta api yang terbengkalai dan menjadi beban perusahaan.

Pada akhirnya, banyak jalur yang ditutup karena menjadi beban perusahaan kereta api yang saat itu bernama Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA).

Tak hanya itu, pada tahun 2018 lalu,  proyek kereta api menjadi yang paling banyak dicoret dari daftar Program Strategis Nasional (PSN). Menurut Komite Percepatan Penyelesaian Infrastruktur Prioritas (KPPIP), tujuh cetak biru kereta api tidak dapat memenuhi estimasi waktu proyek.

Terdapat pula presumsi yang menyebut pembangunan kereta api hanya memaksimalkan warisan Hindia Belanda, terutama di Pulau Jawa dan Sumatera. Ini misalnya tercermin dari batalnya pengerjaan kereta api di Pulau Kalimantan akibat ditinggal investor asal Rusia, serta tertundanya proyek kereta api Makassar-Parepare akibat persoalan klasik pembebasan lahan.

Baca juga :  Megawati and The Queen’s Gambit

Lalu, di samping dua kemungkinan di atas, terdapat satu alasan lainnya yang kiranya cukup menarik untuk ditelisik. Apakah itu?

image 8

Dibiarkan Mangkrak?

Dalam Underestimating Costs in Public Works Projects: Error or Lie?, Bent Flyvbjerg mengatakan mega-project – seperti kereta cepat – sering kali hanya berperan sebagai panggung kontemporer yang fungsinya sebagai “kampanye” di tataran politik internasional.

Hal itu dikarenakan para politisi dan birokrat kerap fokus pada upaya mendapat dukungan politik semata, sementara komitmen dan pelaksanaan pembangunannya itu sendiri kerap diabaikan.

Di saat yang sama, terhambatnya proyek infrastruktur maupun transportasi sebuah negara sesungguhnya dapat pula disebabkan oleh pembiaran. Kecenderungan itu dianalisis oleh Martin J. Williams dalam The Political Economy of Unfinished Development Projects yang menempatkan Ghana sebagai studi kasus.

Selain pembiaran mangkrak demi rasuah, terdapat pula aspek klientelisme, yakni saat keterhambatan proyek bertransformasi menjadi strategi politik optimal bagi inkumben agar terpilih di negara barat Afrika itu.

Stigma negatif yang muncul terhadap proyek yang mandek, juga disebut dapat menjadi alat bagi kepentingan tertentu.

Dalam dimensi tersebut, stigma kurang baik terhadap sebuah proyek, khususnya transportasi publik, sempat menjadi pembahasan menarik di Amerika Serikat (AS).

Pada dekade 50-an ekspansi jaringan rel kereta antar negara bagian berbenturan dengan pembangunan jalan bebas hambatan. Itu bahkan menjadi perdebatan sengit di Kongres yang kemudian berujung kemenangan bagi kubu jalan raya plus industri otomotif.

Selain itu, terdapat pula lobi ekonomi-politik di AS dari kalangan industri otomotif yang terkenal dengan General Motors streetcar conspiracy. Ihwal yang kiranya dapat menjadi rujukan untuk melihat pada proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.

Dalam konteks ini, industri otomotif dan jalan bebas hambatan agaknya akan terkena dampak jika proyek kereta cepat berjalan mulus. Jika memuaskan, bukan tidak mungkin perpanjangan rute kereta cepat akan didukung masyarakat luas dan akan menimbulkan konsekuensi dengan industri.

Sayangnya, di Indonesia, penggunaan kendaraan pribadi tampak sudah menjadi ketergantungan. Artinya, industri otomotif tidak perlu repot melobi atau memberikan tekanan kepada negara untuk kepentingannya sebagaimana refleksi dari dominance theory of corporate power.

Stan Luger dalam Corporate Power, American Democracy, and the Automobile Industry menjelaskan teori itu untuk menggambarkan kecondongan negara terhadap industri otomotif karena ketergantungan pemerintah pada sektor pekerjaan, pertumbuhan, dan pendapatan negara yang disediakannya.

“Pembuat kebijakan tidak harus ditekan untuk menanggapi permintaan industri karena pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik dapat bergantung pada industri otomotif yang sehat,” – Stan Luger, Profesor dan Ketua Departemen Ilmu Politik dan Hubungan Internasional University of Northern Colorado

Di titik ini, pembiaran proyek kereta cepat yang rumit seperti yang dikemukakan Williams tampaknya memiliki relevansi dalam derajat tertentu.

Dengan peliknya penyelesaian, proyek kereta cepat Jakarta-Bandung kemungkinan hanya merupakan ide setengah hati yang bisa saja pada akhirnya “dibiarkan” mendapat sentimen negatif publik.

Akan tetapi, penjabaran di atas masih sebatas penafsiran semata. Tentu segenap warga +62 tidak menginginkan satu proyek nasional pun terbengkalai dan justru membebani negara di kemudian hari. (J61)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?