Site icon PinterPolitik.com

Kerancuan Jabatan Megawati di BRIN

Kerancuan Jabatan Megawati di BRIN

Dewan Pengarah BRIN Megawati Soekarnoputri (Foto: Makassar Terkini)

Terpilihnya Megawati menjadi Ketua Dewan Pengarah BRIN menuai kritik dari berbagai kalangan. Tugas Megawati sendiri dianggap tidak relevan dengan kerja riset. Lantas, mengapa Megawati terpilih menjadi Ketua Dewan Pengarah BRIN? Apakah ada maksud tertentu dari pemerintah di balik jabatan Megawati dan pembentukan BRIN?


PinterPolitik.com

Pada hari Rabu lalu, Laksana Tri Handoko resmi dilantik oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai Kepala Badan Riset Nasional (BRIN). Terpilihnya Laksana tidak lepas dari peleburan Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) ke dalam Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

Laksana memastikan bahwa BRIN akan memiliki Dewan Pengarah. Posisi ini sendiri akan dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri.

Sebagai Dewan Pengarah, Megawati memiliki tugas agar pengelolaan lembaga riset tak lepas dari ideologi Pancasila. Disebutkan bahwa terbentuknya BRIN merupakan mimpi Megawati sejak Jokowi mencalonkan diri di Pilpres 2014.

Terpilihnya Megawati dilatarbelakangi posisinya sebagai ex officio Dewan Pengarah di Badan Ideologi dan Pembinaan Pancasila (BPIP). Megawati pun mengemban dua posisi itu di saat yang bersamaan.

Dikatakan berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2009 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas Iptek) dan Peraturan Presiden (Perpres) mengenai BRIN yang belum dipublikasi, Ketua Dewan Pengarah BRIN akan dijabat oleh Ketua Dewan Pengarah BPIP.

Ketua DPP PDIP Ahmad Basarah mengatakan terpilihnya Megawati sebagai Dewan Pengarah bukanlah pilihan politis. Basarah menyebutkan hal ini sesuai yang diamanatkan oleh UU Sisnas Iptek bahwa BRIN berkoordinasi dengan BPIP.

Namun, dalam naskah UU Nomor 11 Tahun 2019, tak tertera perintah mengenai koordinasi BRIN dan BPIP. Hal ini juga tidak disebutkan dalam Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2019 tentang BRIN. Selain itu, belum ada penjelasan terbuka kepada publik mengapa Perpres pengesahan pembentukan BRIN belum diundangkan oleh Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).

Baca Juga: Mas Nadiem Kuat Bekingan?

Terkait Pancasila, pengamat politik Rocky Gerung mengatakan soal riset berbeda dengan persoalan ideologi. Rocky menambahkan urusan metodologi tidak ada hubungannya dengan ideologi. Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi PKS, Mulyanto, mengatakan bahwa tidak adanya legalitas Ketua Dewan Pengarah BPIP otomatis dijabat Ketua Dewan Pengarah BPIP.

Dari berbagai polemik atas jabatan baru Megawati sebagai Kepala Dewan Pengawas BRIN, patut menjadi pertanyaan. Mengapa Megawati dipilih untuk mengisi posisi tersebut? Apakah ada kepentingan di balik jabatannya di BRIN?

BRIN Dipolitisasi?

BRIN sudah dibentuk pada tahun 2019 oleh Jokowi. Dari latar belakangnya, BRIN dibentuk Jokowi untuk menjawab permasalahan lemahnya pengelolaan hasil riset di Indonesia.

Namun, terpilihnya Megawati sebagai Ketua Dewan Pengarah memunculkan berbagai spekulasi melihat besar peluangnya BRIN di politisasi. BRIN sendiri merupakan usulan PDIP yang menjadi cita-cita Megawati.

Pada pemaparan Megawati Januari lalu tentang visi misi PDIP yang diberi nama ‘Pembangunan Nasional Berdiri di Atas Kaki Sendiri,’ dijelaskan bentukan BRIN yang ia inginkan.

Dari pemaparan tersebut, Megawati menjelaskan bahwa BRIN harus berlandaskan Pancasila sehingga memunculkan landasan keputusan program pembangunan. Hal ini tentu menjelaskan koordinasi BPIP dan BRIN, walaupun kedua lembaga tersebut tidak berhubungan.

Valerie Pattyn dan Gilles Pittors melalui tulisannya yang berjudul Who are the Political Parties’ Ideas Factories? menjelaskan bahwa lembaga penelitian penting untuk memberi saran atas kebijakan. Pattyn dan Pittors menjelaskan lembaga penelitian di negara seperti Amerika Serikat, Kanada dan Jepang terbebas dari ideologi dan kepentingan politik tertentu sehingga mempengaruhi kualitas analisa dan produk riset itu sendiri.

Berangkat dari tulisan Parryn dan Pittors, Pancasila dapat menjadi disrupsi kerja BRIN karena segala keputusan dan pengelola riset harus berbasis pada nilai Pancasila, atau lebih tepatnya interpretasi pengelola BRIN, seperti Megawati terhadap Pancasila. BRIN dikhawatirkan hanya menjadi program pemerintah semata yang memang identik dengan penetrasi nilai Pancasila.

Selain itu, ada kekhawatiran BRIN digunakan untuk program ekonomi semata, terlihat adanya upaya membawa kerja BRIN untuk menggenjot ekonomi. Hal ini tentu tidak sejalan filosofi pembentukan BRIN yang diawali dengan kegelisahan Jokowi atas perkembangan riset di Indonesia.

Hal ini dapat dijelaskan melalui tulisan Abdil Mudhoffir dalam tulisannya Politicisation of Indonesia’s state research body shatters technocrat dram. Mengutip pemikiran antropologi James Ferguson, dikatakan suatu institusi yang dibentuk untuk tujuan mulia, dapat dipengaruhi kinerjanya oleh hubungan kekuasaan.

Baca Juga: Dibenturkan, Nadiem Tetap Tak Terbendung?

Setelah dibentuk, tugas pertama yang diberikan oleh pemerintah kepada BRIN adalah upaya menggenjot ekonomi dan investasi. Padahal di saat yang bersamaan banyak permasalahan yang tidak kalah penting untuk diteliti, seperti permasalahan alutsista dan pandemi.

Laksono mengatakan bahwa BRIN akan bersinergi dengan Kementerian Investasi di bawah komando Bahlil Lahadalia. BRIN sendiri diberikan target untuk mendapatkan investasi di sektor iptek. Hal ini bisa saja sejalan dengan program pemerintah yang ingin mengembangkan iptek, seperti pembangunan Bukit Algoritma yang hangat dibicarakan beberapa waktu lalu.

BRIN yang terbuka untuk dipolitisasi dapat menjadi alat pemerintah untuk menjustifikasi program-programnya yang menggunakan tenaga teknokrat dan hasil riset BRIN. Ini tidak sejalan dengan bentuk ideal suatu lembaga riset yang seharusnya memberikan saran terhadap kebijakan pemerintah.

BRIN kian menjadi ambigu karena terpilihnya Ketua Umum PDIP Megawati sebagai Ketua Dewan Pengarah. Ini menjadi hal yang rancu mengingat Megawati sendiri tidak memiliki latar belakang seorang akademisi, namun mengemban tugas untuk mengawasi lembaga riset.

Dengan kerancuan tersebut, apakah ada pihak yang berkontribusi dalam perolehan jabatan Megawati di BRIN?

Kesepakatan Respirokal?

Walaupun bukan seorang akademisi, Megawati yang memperoleh posisi strategis di lembaga riset menjadi hal yang menarik untuk dianalisis. Dilihat dari catatan akademiknya, Megawati bahkan tidak menyelesaikan studi sarjananya dua kali.

Selain persoan itu, ada variabel momentum yang menarik untuk diperhatikan. Pasalnya, di tengah isu reshuffle beberapa waktu yang lalu, Nadiem Makarim tiba-tiba mengunggah foto bersama Megawati. Tidak sedikit yang menyebut Nadiem tengah mencari suaka politik saat itu.

Dan kebetulan atau tidak, Nadiem terpilih memimpin Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Riset dan Teknologi (Mendikbud-Ristek) yang BRIN termuat di dalamnya. Sebelumnya jabatan Kepala BRIN merangkap Menristek.

Nah, sedikit berspekulasi, mungkin ada semacam barter politik. Nadiem akan dibantu Megawati agar tidak terdepak, lalu Nadiem tidak keberatan Megawati menjadi Dewan Pengarah BRIN.

Katakanlah asumsi tersebut benar, maka itu dapat dijelaskan melalui tulisan Rolf Dobelli dalm bukunya The Art of Thinking Clearly. Dalam bab “Don’t Accept Free Drink”, Dobelli menjelaskan bahwa pada dasarnya manusia memiliki sifat resciprocity atau efek timbal balik.

Efek timbal balik ini  sendiri merupakan sifat natural sebagai strategi bertahan hidup. Ketika seseorang dibantu, ia akan merasa memiliki hutang budi atau setidaknya perasaan tidak enak untuk membalas. Ini juga dikenal dengan frasa “tidak ada makan siang gratis”.

Berangkat dari tulisan Dobelli, mungkin saja ada hubungan timbal balik di antara Megawati dan Nadiem. Sebelumnya, Nadiem terancam reshuffle karena banyak yang menilai kinerjanya tidak terlalu membuahkan pencapaian. Di tengah isu reshuffle, Nadiem menemui Megawati yang terlihat melalui postingan Instagramnya.

Melalui pertemuan ini, mungkin saja Nadiem meminta Megawati untuk membantu mengamankan posisinya. Usai badai isu reshuffle, posisi Nadiem aman dan ia dilantik kembali sebagai Mendikbud-Ristek.

Baca Juga: Siasat Nadiem “Rayu” Megawati?

Dari pertemuan itu, bisa jadi ada kesepakatan timbal balik diantara keduanya. Mungkin Megawati yang meminta atau Nadiem yang berinisiatif menawarkan jabatan kepada Megawati di BRIN sebagai Ketua Dewan Pengarah. Hal ini juga di dukung oleh fakta bahwasanya kerja BRIN yang akan banyak berkoordinasi dengan Mendikbud-Ristek. Namun kembali lagi, ini hanyalah asumsi semata.

Pada kesimpulannya, terpilihnya Megawati sebagai Ketua Dewan Pengarah BRIN menjadi hal yang rancu, mengingat tugas Megawati yang tidak berhubungan dengan kerja riset dan latar belakangnya yang bukan merupakan seorang akademisi.

Melihat situasi ini, perkembangan lembaga riset di Indonesia sepertinya masih harus menempuh perjalanan yang panjang untuk menuju lembaga yang ideal dan efektif. (R66)


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version