Rakyat tak lagi memilih berdasarkan akal sehat, melainkan karena digiring untuk memilih presiden oleh kepala daerah setempat. Hal ini bisa menghambat pertumbuhan demokrasi di Indonesia.
PinterPolitik.com
[dropcap]S[/dropcap]etelah menunggu pengumuman mengenai siapa saja orang-orang yang akan menjadi tim sukses Jokowi-Ma’ruf Amin, rasa penasaran publik terjawab sudah ketika sembilan Sekertaris Jenderal partai koalisi pendukung pasangan itu menyerahkan daftar nama anggota Tim Kampanye Nasional (TKN) ke KPU untuk Pilpres 2019 mendatangkan.
Menariknya, dalam dokumen resmi TKN yang ditanda-tangani langsung oleh Jokowi dan Ma’ruf Amin itu terdapat beberapa nama menteri. Tertulis pula bahwa seluruh kepala daerah dan wakil kepala daerah yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Kerja berperan sebagai pengarah teritorial untuk keperluan kampanye.
Menanggapi hal itu, Ketua Divisi Advokasi dan Bantuan Hukum Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean meminta pejabat negara, menteri, atau pejabat BUMN yang ingin menjadi tim sukses calon presiden untuk mengundurkan diri dari jabatan. Hal itu wajib dilakukan untuk menjaga netralitas Aparatur Sipil Negara.
sblm jd cawapresnya @prabowo , @sandiuno pernah mengundurkan diri sbg ketua tim pemenangan pemilu @Gerindra krn ad aturan yg melarang kepala daerah jd tim pemenangan. aturan itu yg buat pemerintah @jokowi , skrng kok kubu @jokowi yg melibatkan banyak kepala daerah..? #bedegong
— #PRAYforLOMBOK *Dukamu dukaku juga (@deandry) August 20, 2018
Berbeda dengan tanggapan dengan Ferdinand, Sekjen Partai Nasdem, Johny G. Plate mengatakan bahwa keterlibatan kepala daerah dalam kepengurusan TKN Jokowi bukanlah untuk mengkampanyekan Jokowi dan Ma’ruf Amin di daerah, melainkan agar Pemilu di daerah berlangsung dengan baik, aman dan sukses.
Namun, sampai detik ini, baik Jokowi dan Ma’ruf Amin maupun koalisi pendukungnya enggan memberitahu siapa nama-nama kepala daerah yang bergabung dalam kepengurusan tim tersebut. Dalam dokumen resmi pun tidak tercantum siapa saja kepala daerah yang dimaksud, hanya dijelaskan bahwa seluruh kepala daerah Koalisi Indonesia Kerja menjadi pengarah territorial dalam TKN Jokowi-Ma’ruf.
Pertanyaannya, benarkah keterlibatan kepala daerah dalam TKN bertujuan untuk membuat Pilpres di daerah menjadi kondusif? Atau justru keterlibatan itu merupakan strategi Jokowi untuk mengamankan suara di daerah pada Pilres 2019 mendatang?
Suara Daerah, Feodalisme dan Endorsement
Pada Pilpres 2014 lalu Jokowi tak sepenuhnya menang di semua daerah. Tercatat bahwa dirinya mengalami kekalahan telak di beberapa daerah berpenduduk besar, seperti di Aceh, Sumatera Barat, Riau hingga Sumatera Selatan. Kekalahan Jokowi dalam perolehan suara di empat provinsi Pulau Sumatera tersebut tentu menjadi PR tersendiri bagi sang petahana agar tak lagi mengalami hal serupa di tahun depan.
Sebagai seorang politisi, Jokowi sudah pasti memiliki strategi untuk menaklukan daerah-daerah yang tak dikuasainya tadi agar mau memilihnya untuk menjadi presiden pada periode berikutnya. Maka, ketika sudah resmi menjadi Presiden, Jokowi mau tak mau masih harus berjuang untuk merebut hati rakyat di daerah tersebut demi memenangkan kontestasi Pemilihan Presiden.
Beberapa analisis menyebut keterlibatan kepala daerah dalam TKN menjadi strategi Jokowi dalam mengamankan suara pemilih di daerah, bukan sekedar untuk mengamankan proses Pilpres agar berlangsung kondusif.
Keterlibatan kepala daerah dalam kontestasi Pilpres dianggap merupakan langkah lanjutan Jokowi dan PDIP setelah mencoba untuk menguasai daerah lewat Pilkada Serentak 2018.
Itulah mengapa pada Pilkada tahun ini PDIP sangat bernafsu untuk menguasi wilayah-wilayah yang tak memenangkannya pada Pilpres 2014, seperti di Aceh, Riau, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Maluku Utara, hingga NTB. Hasil kontestasi Pilkada Serentak beberapa waktu lalu juga menentukan menang atau tidaknya Jokowi pada Pilpres nanti.
Sekalipun tidak meraih hasil gemilang saat itu, Jokowi patut optimis dapat memenangkan Pilpres karena dukungan terhadapnya juga datang dari para kepala daerah, utamanya di daerah Jawa. Ridwan Kamil, sebagai pemenang Pilgub Jawa Barat sampai dengan Khofifah sebagai Gubernur terpilih Jawa Timur menyatakan dukungannya terhadap Jokowi pada Pilpres tahun depan, sekalipun keduanya tidak didukung oleh PDIP.
Fenomena itu jadi bukti bahwa calon kepala daerah yang dicalonkan oleh partai politik tidak semata-mata maju untuk membawa aspirasi rakyat dan membangun daerah yang akan dipimpinnya, melainkan juga merupakan figur yang disiapkan untuk memenangkan sesuatu yang lebih besar: Pilpres.
Strategi seperti ini pernah dipakai oleh Donald Trump di Amerika Serikat (AS) pada kontestasi Pilpres 2016 lalu. Strategi ini juga dikenal sebagai political endorsement. Saat itu, para senator dan gubernur dari negara-negara bagian coba mempromosikan presiden pilihannya kepada warganya. Strategi ini terbukti efektif karena pemilih di negara bagian menganggap presiden pilihan senator dan gubernur adalah pilihan tepat untuk kepemimpinan nasional.
Strategi political endorsement ini juga terbukti efektif di Indonesia karena karakteristik masyarakat Indonesia yang masih berciri feodal. Menurut ahli sosiologi Dr. Kastorius Sinaga, masyarakat Indonesia menganggap bahwa kekuasaan merupakan hak istimewa atau anugerah yang datang dari Tuhan, ketimbang amanat dari rakyat. Karena itu, sebagian besar masyarakat di desa menganggap bahwa suara pemimpin di daerahnya adalah suara Tuhan yang harus diikuti.
Kita pun tahu bahwa akses informasi di desa sangatlah terbatas. Maka dari itu, akan sulit bagi warga khususnya di desa untuk mengetahui secara jelas profil para capres dan cawapres pada Pilpres.
Artinya, masyarakat daerah akan lebih mudah dipengaruhi oleh pemimpin di daerahnya untuk memilih calon yang didukung oleh kepala daerah karena suara kepala daerah dianggap mewakili keresahan seluruh masyarakat setempat. Konteks yang sedikit berbeda mungkin akan terjadi di wilayah perkotaan yang mayoritas masyarakatnya lebih melek teknologi informasi.
Seperti itulah cara Jokowi menguasai suara dari daerah. Dengan menggunakan political endorsement di mana para pemimpin di tingkat daerah yang loyal terhadap Jokowi dan partai pengusung dari Koalisi Indonesia Kerja berperan untuk mempromosikan Jokowi kepada masyarakat sampai tingkat desa. Pertanyaannya, apakah strategi ini tepat digunakan dalam masyarakat utamanya yang telah melek teknologi?
Elegi Netralitas Kepala Daerah
Seluruh pemaparan di atas membuktikan bahwa argumen Johny G. Plate tentang keterlibatan kepala daerah dalam TKN telah terbantahkan. Kepala daerah memang sengaja disiapkan untuk mengamankan suara dari desa agar Jokowi menang pada Pilpres mendatang.
Keterlibatan pemimpin daerah ini pun akhirnya menuai kritik. Peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramdanil menilai keterlibatan kepala daerah dalam TKN rentan menciptakan penyalahgunaan kekuasaan, terutama dari kubu petahana yang memiliki jejaring struktur pemerintahan berkesinambungan dari daerah sampai pusat.
Selain memegang para kepala daerah yang loyal dengan pemerintahan pusat, Jokowi memang diuntungkan dengan posisinya sebagai presiden petahana karena pemerintah bisa menggunakan seluruh perangkat negara untuk memenangkan sang presiden pada Pilpres 2019 nanti.
tim pemenangan Jokowi-Ma'ruf akan melibatkan tokoh masyarakat, anggota DPR dan para kepala daerah. #2019tetapJOIN #jokowi #marufamin
— #2019TetapJOIN (Jokowi-Ma'ruf Amin) (@tetapJOIN2019) August 20, 2018
Netralitas kepala daerah akhirnya patut dipertanyakan. Sekalipun kepala daerah adalah sebuah jabatan publik, rasanya tetap tidak etis ketika kepala daerah justru menunjukkan keberpihakannya kepada salah satu kandidat. Apalagi warga di daerah akan lebih mudah terpengaruh ketika pemimpin mereka punya kecenderungan mendukung salah satu calon presiden.
Jika kita sepakat bahwa Indonesia adalah negara demokrasi, seharusnya watak feodalistik dalam kontestasi Pemilu perlahan-lahan harus dihilangkan. Artinya, segala strategi untuk memenangkan Pemilu lewat pendekatan feodalisme harus dilawan karena telah menciderai akal sehat dan nilai-nilai demokrasi.
Pada titik ini, penggunaan kepala daerah membuat rakyat tak lagi memilih berdasarkan akal sehat, melainkan karena digiring untuk memilih tokoh tertentu. Hal ini bisa menghambat pertumbuhan demokrasi di Indonesia dan tentu saja kurang menguntungkan bagi kubu oposisi yang secara jejaring kekuasaan kalah dari pemerintahan berkuasa.
Tentu menarik untuk ditunggu apakah strategi endorsement politik memanfaatkan masih kuatnya feodalisme ini akan membawa dampak yang menguntungkan bagi kubu Jokowi. Jika hal ini pada akhirnya gagal, maka boleh jadi kampanye #2019gantipresiden punya pendekatan politik yang lebih baik. Bukan begitu? (D38)