Dengarkan artikel berikut
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?
Dalam hampir 20 tahun terakhir, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) kerap disebut sebagai salah satu partai politik (parpol) berbasis Islam paling sukses di Indonesia.
Bagaimana tidak, parpol yang baru berdiri setelah era reformasi ini selalu berhasil menempati posisi sepuluh besar Pemilu Legislatif (Pileg), sejak tahun 2004 hingga 2024, padahal mereka selalu berhadapan dengan partai berbasis Islam yang sama besarnya dan lebih senior, seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Namun, meskipun memiliki sejarah elektoral yang cukup baik, partai yang kini dipimpin oleh Presiden Ahmad Syaikhu dan Ahmad Heryawan ini (Pelaksana Harian), tampak berada dalam kondisi yang cukup mengkhawatirkan.
Pertama, dalam Pemilu Presiden 2024 (Pilpres 2024) calon presiden dan wakil presiden usungan PKS yakni Anies Baswedan gagal menang. Kedua, PKS kembali merugi dalam Pemilihan Kepala Daerah 2024 (Pilkada 2024), karena kehilangan kesempatan menang di wilayah yang jadi lumbung suaranya, seperti Jakarta, Jawa Barat, dan khususnya Kota Depok. Ketiga, PKS masih belum terlihat mendapat tempat “spesial” di pemerintahan Prabowo.
Kondisi politik seperti ini tentu layak jadi topik pertimbangan internal PKS, karena jika mereka tidak melakukan suatu perubahan strategi politik yang signifikan, bisa saja partai berlogo dua bulan sabit ini semakin terpuruk dalam Pemilu 2029 nanti.
Menarik kemudian untuk kita pertanyakan, kira-kira akan seperti apa dinamika politik PKS dalam menanggapi persoalan ini?
Ada Potensi Pergantian Struktur Kepemimpinan?
Indikasi melemahnya kekuatan PKS tidak hanya ditunjukkan melalui hasil elektoral Pemilu dan Pilkada, tetapi juga terdapat beberapa hal lain, contohnya seperti “migrasi” 28 dewan pakar yang mundur pada Bulan Agustus 2024 karena PKS dinilai “melenceng”. Lalu, juga perginya sejumlah tokoh besar masa-masa awal PKS seperti Anis Matta dan Fahri Hamzah.
Jika ditambah dengan minimnya pencapaian PKS di Pilpres dan Pilkada, tidak mengherankan jika masalah ini memicu intrik internal sekaligus membuat pendukungnya pergi. Apalagi, menurut pengamat politik Burhanudin Muhtadi, pendukung berbasis agama di Indonesia mudah berpindah dukungan karena partai-partai Islam sering menerapkan praktik “kanibalisme” pendukung.
Menariknya, jika PKS tidak cepat-cepat menanggulangi permasalahan ini, partai tersebut sesungguhnya bisa saja berada dalam malabahaya pengambilalihan kekuasaan, hal ini karena di dalam politik terdapat sebuah teori yang disebut power vacuum theory (teori kekosongan kekuasaan). Teori ini menjelaskan bahwa ketika otoritas suatu organisasi melemah atau runtuh, akan muncul fenomena kekosongan kekuasaan. Kekosongan in lantas menjadi daya tarik dan kesempatan bagi aktor-aktor lain, baik dari dalam maupun luar, untuk mengambil alih kendali.
Tendensi terjadinya pengambilalihan kekuasaan pun akan semakin kuat ketika organisasi tersebut memiliki dukungan yang semakin melemah, dan jujur, kondisi demikian sesungguhnya mulai terjadi di PKS.
Pada Pilkada 2024 Jakarta, survei Litbang Kompas menunjukkan banyak pendukung PKS justru memilih pasangan Pramono-Rano, yang didukung oleh Anies Baswedan. Ironisnya, PKS sebenarnya meraih suara terbanyak di Jakarta saat Pileg 2024. Kondisi ini menunjukkan bahwa keputusan PKS untuk tidak mendukung Anies di Jakarta tampaknya tidak disukai oleh para pendukungnya sendiri.
Jika dugaan ini benar, peluang bagi siapapun untuk mendorong pergantian kepemimpinan di PKS saat ini cukup besar. Mereka hanya perlu memanfaatkan ketidakpuasan para kader dan pendukung untuk mendukung upaya mengganti pucuk pimpinan partai.
Pertanyaan lanjutannya kemudian adalah, kira-kira siapa yang paling diuntungkan jika terjadi sebuah gerakan?
Akankah Ada Pergerakan?
Jika membicarakan tentang tokoh-tokoh yang punya pengaruh kuat di PKS, terdapat beberapa nama yang layak kita ingat.
Meskipun kini telah mendirikan Partai Gelora, mantan petinggi PKS seperti Fahri Hamzah dan Anis Matta masih menarik perhatian. Keduanya dikenal memiliki basis pendukung yang loyal, termasuk di kalangan kader PKS. Namun, dengan posisi mereka saat ini di Partai Gelora, membangun pengaruh langsung di PKS tentu menjadi tantangan besar. Meski begitu, keberadaan mereka tetap relevan dalam dinamika politik, terutama karena banyak pendukung mereka yang masih menjalin hubungan emosional dengan PKS.
Nama Anies Baswedan juga tak kalah menarik untuk dibahas. Mantan Gubernur DKI Jakarta ini sering kali dikaitkan dengan PKS, bahkan sampai disalahpahami sebagai kader partai tersebut. Popularitas Anies di kalangan pendukung PKS begitu besar sehingga beberapa di antaranya lebih loyal kepada figur Anies dibandingkan mengikuti arahan langsung dari petinggi partai. Jika tren ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin dalam beberapa tahun mendatang akan muncul dorongan dari kader PKS untuk menjadikan Anies sebagai Presiden PKS.
Namun demikian, gagasan ini tentu masih bersifat spekulatif. Hingga saat ini, Anies lebih dikenal sebagai tokoh independen yang pandai merangkul berbagai kelompok, termasuk PKS, untuk mendukung agenda politiknya.
Namun, pada akhirnya perlu diingat bahwa ini semua hanyalah asumsi belaka. Yang jelas, sebagai partai yang harus terus melakukan perbaikan, kondisi politik saat ini bagi PKS layak untuk jadi bahan perundingan, dan fenomena power vacuum theory layak jadi patokan yang perlu dihindari oleh PKS, atau partai manapun yang kini sedang menghadapi tantangan internal. (D74)