Dalam debat calon presiden (capres) pada Minggu (7/1) kemarin, Prabowo Subianto menjelaskan pentingnya ekonomi dalam negeri dalam kepemimpinan Indonesia di Global South. Namun, Anies Baswedan mengkritik penjelasan tersebut.
“From Compton to Congress, set-trippin’ all around” – Kendrick Lamar, “Hood Politics” (2015)
Pada tahun 2015, penyanyi rap (rapper) ternama asal Compton, California, Amerika Serikat (AS), Kendrick Lamar, merilis sebuah album dengan judul To Pimp a Butterfly. Dalam album itu, ada track ke-10 yang berjudul “Hood Politics”.
Dari judul track-nya saja, sudah jelas bahwa Kendrick akan menyinggung politik dalam lirik-liriknya. Salah satu fokus utamanya adalah politik di lingkungan tempat tinggalnya yang mana merupakan pemukiman kumuh komunitas Afrika-Amerika – sering kali disebut sebagai hood – di Compton.
Dalam hood, bisa dibilang aturan hukum tidak bisa benar-benar ditegakkan sepenuhnya. Ada kalanya individu atau kelompok yang kuatlah yang berkuasa.
Biasanya, individu atau kelompok yang kuat ini adalah pihak yang mengatur jalannya bisnis di wilayah yang mereka kuasai – khususnya bisnis narkoba dan senjata. Untuk memperebutkan wilayah dan sumber, merekapun akan berperang satu sama lain.
Situasi demikianlah yang digambarkan oleh Kendrick dalam “Hood Politics”. Ujung-ujungnya, baik di Compton maupun di politik nasional, pihak yang kuatlah yang akan berkuasa.
Secara tidak langsung, cara berpikir inilah yang digunakan oleh calon presiden (capres) nomor urut dua, Prabowo Subianto, dalam debat capres kedua yang digelar pada Minggu (7/1) kemarin di Senayan, Jakarta.
Perspektif inilah yang digunakan oleh Prabowo saat menjelaskan peran Indonesia dalam kerja sama Selatan-Selatan. Agar bisa menjadi panutan di Global South (negara-negara berkembang di belahan bumi selatan), Indonesia harus kuat secara militer dan ekonomi dalam negeri.
Pernyataan Prabowo ini sontak dikritik oleh capres nomor urut satu, Anies Baswedan. Menurut Anies, Indonesia harusnya tidak hanya menyampaikan agendanya sendiri, melainkan juga perlu menyamakan persepsi dengan negara-negara Global South.
Namun, apakah yang dijelaskan oleh Anies benar? Mengapa Prabowo memiliki perspektif demikian?
Prabowo vs Anies: Sebuah Third Great Debate?
Bila kembali membahas mengenai situasi hood politics yang dijelaskan oleh Kendrick, bisa dibilang ketertiban dan keteraturan yang diciptakan hukum tidak bisa hadir sepenuhnya di lingkungan hood.
Maka dari itu, menjadi masuk akal apabila keamanan (security) tidak bisa menjamin siapapun yang tinggal di hood. Masing-masing individu atau kelompok pada akhirnya menjadi insecure atas keberadaan mereka.
Perasaan insecure ini akan mundul karena individu atau kelompok lainnya bisa saja mengancam keamanan mereka agar mendapatkan sumber terbatas yang diperebutkan bersama.
Lantas, bagaimana caranya mereka bisa mengatasi perasaan insecure mereka? Jawabannya adalah mekanisme self-help, yakni menolong diri sendiri. Pada akhirnya, masing-masing individu atau kelompok di lingkungan hood akan mencari sumber sendiri – baik dalam segi keamanan maupun dalam segi ekonomi.
Sekarang, mari aplikasikan situasi yang sama dalam politik antarnegara. Masing-masing negara juga merasa insecure karena setiap negara memiliki kekuatan dan kepentingan yang berbeda-beda.
Situasi absennya keteraturan dan ketertiban yang dijamin oleh otoritas tertinggi – seperti negara – inilah yang disebut dalam studi Hubungan Internasional sebagai international anarchy (anarki). Kemungkinan terjadinya upaya saling ancam-pun semakin besar dengan absennya otoritas tertinggi tersebut.
Maka, menjadi masuk akal apabila setiap negara akan berusaha mengamankan diri mereka sendiri. Cara mengamankannya-pun termasuk dengan cara memperkuat kekuatan (power) negara-negara tersebut.
Pandangan seperti inilah yang akhirnya mendasari argumen-argumen Prabowo dalam debat capres kedua kemarin bahwa Indonesia perlu memperbesar kekuatannya, termasuk kekuatan ekonomi.
“Baru kita akan disegani dan didengar oleh semua negara, terutama negara-negara Selatan,” jelas Prabowo saat mendapatkan pertanyaan mengenai peran Indonesia di kerja sama Selatan-Selatan pada Minggu (7/1) kemarin.
Dalam studi HI, perspektif yang digunakan oleh Prabowo bisa digolongkan menjadi perspektif neorealis. Neorealisme melihat setiap negara tidak memiliki kapabilitas yang berbeda-beda meskipun memiliki kebutuhan dan kepentingan yang sama – sehingga negara akan tetap merasa terancam.
Alhasil, negara-negara akan saling berusaha memaksimalkan kekuatan mereka. Salah satunya adalah kapabilitas ekonomi yang juga menjadi salah satu komponen kekuatan negara – mengacu ke neorealis Kenneth Waltz dalam bukunya Theory of International Politics.
Sementara, perspektif yang digunakan Anies – dengan gagasannya untuk menyamakan kepentingan di antara negara-negara Selatan – bisa digolongkan ke dalam perspektif neoliberal. Neoliberalisme menekankan pada adanya institusi – seperti norma, aturan, dan organisasi internasional – untuk meminimalisir dampak anarki internasional.
Kemudian, apakah salah satu dari mereka salah? Tentu, tidak ada yang salah. Namun, kedua perspektif ini bisa dibedah untuk menjelaskan situasi global saat ini. Lantas, bagaimana situasi global saat ini?
Matinya Multilateralisme, Anies Gagal Paham?
Apa yang dijelaskan Anies dalam debat capres kedua kemarin sebenarnya merupakan mimpi yang ideal – di mana di dalamnya negara-negara saling bertemu membicarakan kepentingan mereka yang sama untuk menciptakan kerja sama dan perdamaian.
Namun, realitas politik antarnegara tidaklah seindah mimpi tersebut – apalagi dengan situasi global terkini yang semakin ke sini semakin dipenuhi oleh konflik antarnegara di sejumlah kawasan. Belum lagi, terdapat juga ketegangan geopolitik di kawasan-kawasan penting – seperti Asia Timur dan Asia Tenggara yang kini menjadi salah satu hotspot geopolitik.
Situasi politik global yang semakin tidak bisa diprediksi ini bisa terjadi karena berakhirnya unipolaritas AS di kancah politik internasional. Situasi politik global yang memanas ini bisa dijelaskan dengan teori pergeseran kekuatan (power transition theory) dari A.F.K. Organski.
Organski menjelaskkan bahwa kemungkinan perang akan semakin besar apabila perbedaan (gap) kekuatan antara negara penantang dan negara hegemon semakin kecil. Dalam hal ini, Republik Rakyat Tiongkok (RRT) bisa dibilang semakin memiliki kekuatan yang suatu saat nanti menantang posisi adikuasa AS.
Alhasil, Tiongkok-pun tampil sebagai apa yang dibilang oleh John Mearsheimer sebagai hegemon kawasan di Asia. Ancaman perubahan tatanan dunia akhirnya semakin besar bagi negara-negara Asia, termasuk Indonesia yang memiliki letak geografis yang dekat dengan Asia Timur – di mana Tiongkok berada.
Menjadi masuk akal apabila situasi di Laut China Selatan (LCS) semakin sulit mencair. Upaya Indonesia untuk mendorong sentralitas ASEAN juga semakin menghadapi tantangan dengan besarnya pengaruh Tiongkok di Asia Tenggara.
Anies sendiri menjadi salah satu capres yang menekankan pada pentingnya peran ASEAN dalam debat capres kedua kemarin. Inipun berdasarkan pada nilai-nilai multilateralisme dan institusionalisme ala neoliberal.
Namun, dengan meningkatnya aksi-aksi unilateral negara-negara besar seperti AS, bukan tidak mungkin, ketidakpastian dalam anarki internasional turut membesar. Inilah mengapa perasaan insecure di antara negara-negara saat ini juga membesar.
Negara-negara Asia Tenggara juga semakin mempebesar kapabilitas pertahanan mereka – termasuk Indonesia di bawah Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo. Militarisasi menjadi salah satu gejala perasaan insecure akibat anarki internasional.
Bisa dibilang, situasi geopolitik yang semakin memanas – bak kota asal Kendrick, Compton – menjadi salah satu penyebab mengapa Indonesia membutuhkan penguatan atas komponen-komponen kekuatan yang dimilikinya, baik ekonomi maupun keamann.
Pertanyaan yang kemudian harus dijawab dari argumen-argumen di debat capres kedua kemarin pada akhirnya adalah bagaimana caranya Indonesia bisa menjadi semacam ‘bos geng’ yang kuat bagi negara-negara Asia Tenggara – dan juga bagi negara-negara Selatan. Mungkin, inilah “hood politics” ala Kendrick Lamar yang harus dihadapi oleh presiden Indonesia selanjutnya. (A43)