Site icon PinterPolitik.com

Kendaraan Listrik, Akal-Akalan Siapa?

teken aturan baru jokowi ingin kendaraan dinas diganti mobil listrik 220914055723

Wakil Presiden Ma'ruf Amin mengisi daya mobil listrik di Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) The Apurva Kempinski Bali, Bandung. (Antara Foto/Fikri Yusuf)

Melalui Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2022, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menginstruksikan pemerintah pusat dan daerah untuk menggunakan kendaraan listrik berbasis baterai sebagai kendaraan dinas. Terdapat sejumlah nama mencuat sebagai aktor yang disebut-sebut diuntungkan. Benarkah demikian?


PinterPolitik.com

Penggunaan kendaraan listrik mulai menjadi tren di dunia. Utamanya, optimisme kendaraan listrik lebih ditujukan untuk menurunkan gas emisi dan menekan penggunaan bahan bakar minyak di dunia. Terlebih, saat ini kondisi kerusakan lingkungan dinilai semakin menjadi-jadi dan mengkhawatirkan.

Kendaraan listrik juga dapat memberikan kesan kehidupan yang lebih modern atas kemajuan teknologi. Kendaraan berbasis baterai itu lantas diyakini dapat memberi citra negara yang modern.

Sehubungan dengan asumsi itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) baru saja memerintahkan penggunaan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai teruntuk para jajarannya, baik di pemerintahan pusat dan daerah.

Instruksi itu diatur dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 Tahun 2022 tentang Penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Listrik (Battery Electric Vehicle) Sebagai Kendaraan Dinas Operasional dan/atau Kendaraan Perorangan Dinas Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Pada saat yang sama, Luhut Binsar Panjaitan selaku Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) diminta Jokowi untuk mengomandoi pemakaian kendaraan listrik di lingkungan pemerintahan. Selain itu, Jokowi juga memberikan instruksi kepada jajaran menteri dan pejabat untuk membantu proses percepatan instruksi tersebut.

Desas-desus terkait adanya “udang di balik batu” terhadap kebijakan ini bermunculan. Mulai dari siapa pemilik perusahaan yang menyuplai listrik di Perusahaan Listrik Negara (PLN) hingga asumsi-asumsi lainnya.

Sebelum merujuk lebih dalam ke ranah politik, apakah sebenarnya pemerintah siap untuk gunakan kendaraan listrik? Serta, apakah instruksi Presiden Jokowi sudah layak dianggap rasional?

Siapkah Pemerintah?

Tanpa melihat motif politik yang mendasari latar belakang diberlakukannya kebijakan penggunaan kendaraan listrik, penilaian terkait kesiapan pemerintah dalam menyiapkan infrastruktur yang dibutuhkan untuk gunakan kendaraan itu perlu menjadi perhatian.

Pasalnya, suatu kebijakan bukan hanya lahir dari tingkat urgensinya saja, tetapi juga kesiapan dan rasionalisasinya. Bahkan sesuatu yang tampaknya terlihat rasional terkadang bisa jadi justru menuntun ke arah yang salah dan merujuk kepada kesesatan dalam berpikir.

Sepenggal teori rational choice yang diungkapkan oleh James S. Coleman menyatakan bahwa individu tidak selalu bertindak atau berperilaku rasional. Meskipun diawali dengan tujuan atau maksud aktor, terdapat dua pemaksa tindakan antara lain keterbatasan sumber daya dan tindakan aktor individu.

Kritik atas penggunaan kendaraan listrik sendiri menyatakan juga bermunculan di sosial media. Pada linimasa Twitter, salah satu akun pernah mengkritik penggunaan kendaraan listrik yang rawan jika terkena banjir.

Bukan karena tidak waterproof, melainkan karena tidak adanya ruang pembakaran yang membuat traksi roda ke jalan tidak maksimal sehingga dapat menyebabkan mobil mogok. Hal itu dinyatakan oleh Training Director Safety Defensive Consultant Indonesia (SDCI), Sony Susmana.

Mobil listrik juga disarankan untuk tidak melintasi banjir lebih dari ketinggian setengah ban. Hal ini memungkinan air memasuki ke bagian-bagian berbahaya di balik kap mesin yang terbuka lebar.

Nantinya, mobil akan mogok, namun listrik akan tetap menyala sehingga dapat merusak sistem yang lain. Jika terdapat kerusakan pada mobil, biaya penggantian bisa membuat pemilik merogoh kocek yang tidak sedikit.

Menimbang alasan rasionalitas dari tipologi kebencanaan, Indonesia seringkali mengalami banjir sehingga tidak direkomendasikan untuk menggunakan mobil listrik. Terlebih, biaya reparasi yang begitu tinggi akan membuat anggaran bisa saja menjadi bengkak di kemudian hari.

Selain itu, keterbatasan sumber daya masih menjadi penghambat penggunaan kendaraan listrik di Indonesia. Jumlah Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) dinilai masih terbatas.

Di sisi lain, Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira berpendapat harga mobil listrik masih relatif mahal. Menurutnya jika kebijakan penggunaan kendaraan listrik didukung dengan maksimal, maka investasi ekosistem mobil listrik akan meningkat sehingga dapat menurunkan harga di pasar.

Ketika berbicara investasi, kemungkinan besar memerlukan sebuah stimulus dimana salah satu prasyaratnya adalah dengan meningkatkan ‘pemain’ industri kendaraan listrik di dalam negeri.

Lantas, siapa sajakah yang mungkin menjadi ‘pemain’ di balik industri kendaraan listrik dan diuntungkan dari kebijakan tersebut?

Siapa Diuntungkan?

Sebelum mengungkapkan beberapa kemungkinan, penggunaan kendaraan listrik pada ranah instansi pemerintahan pusat dan daerah dilakukan melalui skema pembelian, sewa, maupun konversi yang mengacu pada pengadaan barang dan jasa pemerintah sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan gambaran umumnya, pengadaan barang dan jasa merupakan ranah yang paling potensial bagi terjadinya penyelewengan. Hal ini bisa dilihat dari data korupsi terbanyak yaitu pada ranah pengadaan barang dan jasa.

Sebuah investigasi menyebutkan Roni Dwi Susanto, Mantan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) merasa gusar lantaran terus didesak oleh dua oknum yang mendorongnya untuk segera memunculkan kendaraan listriknya di laman electronic katalog (E-Katalog). Bahkan pernyataannya divalidasi oleh seorang pejabat tinggi LKPP yang merupakan saudara dekatnya.

Sebuah investigasi menyebut dua oknum terdekat Presiden Jokowi yang dimaksud disebut-sebut adalah Menko Marves Luhut dan Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko.

Roni bukan tidak ingin melampirkan kendaraan tersebut, melainkan ingin memastikan terkait kebutuhan pengadaan dan kesiapan infrastruktur agar nantinya tidak ada program yang mangkrak (misalnya tidak ada komponen charger dan sebagainya).

Dia disebut memerlukan kepastian agar dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan peraturan LKPP dan aturan lainnya yang berlaku. Aturan tersebut mensyaratkan seluruh produk yang ada di E-Katalog telah terverifikasi.

Verifikasi dilakukan mulai dari sisi harga hingga infrastruktur. Sebab, dalam aturan ini, LKPP akan menjadi salah satu pihak yang turut bertanggung jawab jika suatu hari ditemukan masalah pada produk-produk di E-Katalog.

Modus mencari keuntungan yang terselubung memang seringkali kita temui. Praktik ini sesuai kepada teori rent seeking. Praktik ini mungkin sudah terlihat familiar akibat banyaknya kasus ‘rent seeking’ di kawasan Asia.

Menurut buku berjudul The Rise and Decline of Nations: Economic Growth, Stagflation, and Social Rigidities yang ditulis oleh Mancur Olson, pelaku ‘rent seeking’ dapat berasal dari kalangan birokrat, pemilik modal, politisi dan bahkan bisa saja masyarakat itu sendiri yang melakukan monopoli keuntungan serta memanfaatkan kekuasaan yang mereka miliki.

Dengan demikian, apakah investigasi tersebut dapat mengamini sebuah idiom “ada udang di balik batu” pada kebijakan peralihan kendaraan listrik?

Moeldoko dan Luhut Terjerat Isu?

Setelah Roni keluar dari LKPP, proses penayangan kendaraan listrik dinilai berjalan mulus sejak September tahun lalu dalam laporan investigasi tersebut.

Produk tersebut dikatakan masuk dengan mudahnya tanpa melalui proses verifikasi. Salah satu perusahaan yang terdaftar dalam E-katalog yaitu PT Mobil Anak Bangsa (MAB) milik Moeldoko dimana anak keduanya menjabat sebagai direksi di perusahaan tersebut.

Berdasarkan investigasi itu, ditemukan penjualan sebanyak delapan tipe bus listrik seharga 3-5 miliar rupiah per unit. Menariknya, hal itu dikonfirmasi oleh Moeldoko.

Produk berupa bus listrik berukuran sedang seharga sekitar Rp 4,6 miliar telah dibeli oleh Departemen Perhubungan Pemerintah Provinsi Semarang dan Universitas Indonesia (UI).

Namun, Moeldoko tidak membenarkan bahwa dirinya pernah mendesak Roni untuk segera memasukkan produknya ke E-Katalog, melainkan pemerintah daerah itu sendiri yang memang membutuhkan produknya.

Sementara itu, Luhut juga tidak membenarkan kabar dirinya mendesak Roni. Dia mengatakan bahwa dirinya hanya mengikuti rapat dengan pembahasan mengenai upaya untuk memaksimalkan produk lokal untuk dapat dimasukkan ke E-Katalog.

Adapun Luhut memberi klarifikasi bahwa dirinya hanya memiliki 9,999 persen kepemilikan saham PT. TBS Energi Utama Tbk (TOBA) dan merupakan pemegang saham pasif sehingga tidak terlibat dalam pengambilan keputusan, kebijakan, atau operasional.

Dengan polemik itu, terdapat probabilitas bahwa kebijakan Inpres Nomor 7 Tahun 2022 diindikasikan memiliki motif tertentu.

Akan tetapi, untuk mengatakan investigasi yang “menyudutkan” Luhut dan Moeldoko itu tentu membutuhkan pembuktian yang jelas. Tentu diharapkan, tidak ada kepentingan apapun yang melandasi kebijakan pemakaian kendaraan listrik pemerintah. (Z81)

Exit mobile version