Narasi mendorong Jokowi maju untuk yang ketiga kalinya telah terdengar sejak November 2019. Setelah sebelumnya ada deklarasi untuk pasangan Jokowi-Prabowo, sekarang ada dukungan agar Jokowi maju sebagai wakil Prabowo di Pilpres 2024. Kenapa narasi ini tetap keluar secara berkala?
“I think it’s a trial balloon to see what happens, and I’m not impressed with it.” — Jim McDermott, politisi Amerika Serikat
Joko Widodo (Jokowi) begitu fenomenal. Kemunculannya di Pilkada DKI Jakarta 2012 membawa harapan baru di tengah publik. Tidak berhenti memenangkan DKI, mantan Wali Kota Solo ini terpilih sebagai RI-1 di Pilpres 2014. A New Hope tulis majalah Time waktu itu. Jokowi disebut sebagai Barack Obama-nya Indonesia. Pemimpin merakyat yang tidak datang dari kalangan elite atau militer.
Kendati telah memasuki periode keduanya saat ini, dukungan masyarakat terhadap Jokowi terus menggelora. Setidaknya, ini terlihat jelas dari dorongan agar Jokowi kembali maju di Pilpres 2024. Terlepas dari benar atau tidaknya, wacana ini menunjukkan terdapat pihak yang menggantungkan harapannya pada Jokowi. Setidaknya, sejak November 2019, wacana meminta Jokowi maju kembali telah terdengar di tengah publik.
Sampai saat ini, wacana tersebut terus keluar secara berkala, bahkan sempat ada deklarasi Jokowi-Prabowo pada Oktober dan Desember 2021. Dan, kini, setelah wacana itu ramai ditolak dan dikritik, muncul wacana alternatif untuk menempatkan Jokowi sebagai wakil Prabowo Subianto.
“Kami dari Sekretariat Bersama (Sekber) Prabowo-Jokowi mendorong Bapak Prabowo Subianto, calon presiden dan Bapak Joko Widodo, calon wakil presiden,” ungkap G. Gisel, Ketua Koordinator Sekber Prabowo-Jokowi pada 15 Januari.
Dari serangkaian fenomena ini, muncul satu pertanyaan sederhana, mengapa wacana mendorong Jokowi maju muncul secara berkala? Bahkan, setelah ditolak oleh Jokowi sendiri, mengapa wacana ini tetap muncul?
Perang Udara dan Perang Teritorial
Untuk menjawabnya, kita dapat melihat strategi penyerangan Jerman Nazi di Perang Dunia II. Sebelum menurunkan tank dan prajurit infanterinya, Adolf Hitler selalu mengerahkan terlebih dahulu pasukan udara khusus yang disebut Luftwaffe. Disebutkan, total produksi pesawat Luftwaffe mencapai 119.871 unit dengan sekitar 3.400.000 personel.
Dengan jumlah sebanyak itu, serangan udara Jerman Nazi begitu menakutkan. Bom-bom yang diturunkan layaknya hujan deras dengan ledakan tiada henti. Setelah menghancurkan, atau setidaknya melemahkan pertahanan musuh, tank-tank Jerman Nazi yang cepat dan pasukan infanteri kemudian melakukan finalisasi penguasaan wilayah.
Yang menarik adalah, mengutip George Dimitriu dalam tulisannya Clausewitz and the Politics of War: Contemporary Theory, strategi penyerangan seperti itu juga telah diadopsi dalam strategi politik modern. Sama dengan militer, pasukan politik juga dibagi dua, yakni pasukan udara dan pasukan infanteri.
Pasukan udara adalah tim siber, yakni mereka yang menciptakan narasi di tengah media. Pada konteks tertentu, pasukan udara disebut juga sebagai buzzer atau pendengung. Sama seperti Luftwaffe, pasukan siber tidak bertugas untuk melakukan finalisasi, melainkan melakukan penetrasi awal. Tugas mereka adalah membuka jalan bagi pasukan infanteri, yakni menyusupi narasi politik ke ingatan publik. Banyak politisi menyebutnya sebagai perang udara.
Setelah serangan udara berhasil dilakukan, serangan kemudian berlanjut ke perang teritorial. Pasukan infanteri, yakni politisi-politisi lapangan melakukan berbagai strategi, seperti konsolidasi, blusukan, hingga melakukan pendekatan-pendekatan praktis ke target sasaran.
Nah, pada kasus terus munculnya wacana Jokowi maju di Pilpres 2024, ini adalah perang udara. Pihak-pihak yang berkepentingan tengah mengerahkan Luftwaffe mereka. Sama seperti Jerman Nazi yang menurunkan Luftwaffe secara berkala, wacana memajukan Jokowi juga dilakukan secara demikian.
Secara khusus, strategi ini disebut dengan trial balloon, yakni wacana yang sengaja dilepas untuk melihat dan memetakan reaksi publik. Tidak hanya diperuntukkan kepada publik, politisi juga kerap menggunakan taktik ini untuk melakukan diplomasi terbuka. Suatu isu sengaja dilempar untuk melihat reaksi politisi atau partai lain — apakah mereka tertarik atau tidak. Jika tertarik, lobi-lobi belakang layar kemudian akan dilakukan.
Well, seperti pernyataan Jim McDermott di awal tulisan, ini adalah trial balloon dan kita tidak perlu terkejut menanggapinya. Namun, yang menjadi pertanyaan serius adalah, meskipun wacana ini telah ditolak Jokowi berkali-kali, serta masyarakat luas juga menolaknya, mengapa trial balloon ini tetap dilakukan?
Kerangkeng Vetokrasi?
Secara cepat, banyak pihak akan menyebut bahwa ini adalah kehendak oligarki. Terdapat konglomerasi bisnis yang tampaknya nyaman dengan pemerintahan Jokowi, sehingga mendorongnya untuk maju. Asumsi semacam ini tidak salah, tetapi kurang tepat.
Seperti yang ditegaskan dalam artikel PinterPolitik sebelumnya, Musuh Kita Bukan Oligarki?, masalahnya tidak terletak pada oligarki, melainkan vetokrasi. Sedikit mengulang, vetokrasi atau vetocracy adalah sistem tata kelola pemerintahan yang tidak berfungsi karena tidak ada satu entitas politik yang dapat memperoleh kekuasaan yang cukup untuk membuat keputusan dan mengambil alih tanggung jawab yang efektif.
Mereka para vetokrat, adalah kelompok kepentingan yang terorganisir dengan baik dan kaya, serta dapat memblokir inisiatif kebijakan yang tidak mereka sukai. Poin penekanannya adalah hak veto. Vetokrat adalah elite politik dan/atau ekonomi yang memiliki hak veto dalam menentukan jalannya pemerintahan.
Nah, poin vetokrasi ini yang menjadi variabel pembeda utama. Pasalnya, menurut peneliti politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, isu presiden tiga periode sudah ada sejak era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Artinya, ini bukan isu baru, melainkan “mainan” lama.
Kemudian, dengan fakta oligarki ada di setiap pemerintahan, variabel pembeda utama adalah muncul tidaknya para vetokrat. Dengan tidak ramainya wacana tiga periode di pemerintahan SBY, mungkin dapat disimpulkan vetokrat tidak berdiri di belakang wacana itu.
Namun, sekarang, dengan terus bergulirnya wacana ini secara berkala, tampaknya ada vetokrat yang mendukung. Mereka, siapa pun itu, adalah elite politik dan/atau ekonomi yang mungkin merasa diuntungkan di bawah pemerintahan Jokowi.
Duet Prabowo-Jokowi Bukan Solusi?
Terkait kesimpulan ini, tentu ada yang membantah. Direktur Eksekutif Indo Barometer M. Qodari, misalnya, akan merujuk pada argumentasi bahwa duet Jokowi-Prabowo atau Prabowo-Jokowi diusung karena bertolak dari polarisasi ekstrem pada Pilpres 2019. Karena kedua tokoh tersebut mewakili kedua kutub masyarakat, maka menyatukan keduanya dinilai sebagai solusi untuk menghilangkan polarisasi.
Secara cepat, argumentasi tersebut dapat disimpulkan sangat masuk akal. Namun, ada satu poin penting yang tidak diungkap, yakni polarisasi bukanlah buah dari Jokowi dan Prabowo, melainkan buah dari strategi kampanye partai dan/atau koalisi.
Cara membuktikannya sederhana, yakni kemenangan Anies Baswedan di Pilkada DKI Jakarta 2017. Dengan derasnya isu identitas saat itu, dan terbukti membawa kemenangan bagi Anies, sangat masuk akal untuk menduga bahwa strategi serupa ingin diadopsi pada Pilpres 2019. Sekali lagi, ini adalah buah strategi politik.
Sedikit konteks, penelitian terkait penggunaan politik identitas di kedua pemilu tersebut telah banyak dilakukan. Misalnya artikel The Effect of Islam, Millennials, and Educated Voters to Anies-Sandi Victory of 2nd Round DKI Jakarta Governor Election in 2017 dan Identity Politics’ Issue in Indonesia Presidential Election 2019.
Dengan kata lain, untuk mencegah polarisasi seperti di Pilpres 2019, bukan dengan cara menggabungkan Jokowi dengan Prabowo, melainkan tidak mengulangi kembali strategi politik identitas yang memecah belah.
Well, sebagai penutup, mungkin dapat disimpulkan bahwa terus keluarnya wacana Jokowi maju di Pilpres 2024 adalah buah dari dukungan pihak-pihak tertentu. Terlepas dari Jokowi setuju atau tidak, mereka sepertinya ingin terus melakukan serangan udara atau infiltrasi narasi ke ingatan publik. Kita lihat saja apakah serangan udara ini berbuah penguasaan teritori atau tidak. (R53)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.