Nama purnawirawan TNI selalu ada dalam setiap survei elektabilitas calon presiden (capres). Bagaimana kacamata politik memaknai fenomena ini?
Musim politik Indonesia semakin dekat, Pemilihan Presiden 2024 (Pilpres 2024) hanya tersisa kurang dari waktu dua tahun lagi.
Menyambut pesta demokrasi terbesar itu, sejumlah nama-nama yang diperkirakan akan bertanding di 2024 nanti pun mulai terlihat konkret. Beberapa yang diduga kuat pasti akan muncul di Pilpres 2024 adalah Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, dan Puan Maharani.
Namun, selain nama-nama bakal calon presiden (capres) berlatar belakang sipil tadi, ada juga nama-nama capres dari latar belakang militer yang punya elektabilitas kuat, contohnya seperti Prabowo Subianto, Andika Perkasa, dan yang menarik, belakangan muncul juga nama Moeldoko, yang saat ini menjabat sebagai Kepala Staf Kepresidenan (KSP).
Yap, beberapa waktu lalu nama Moeldoko memang sempat mencuat, utamanya setelah ada sekelompok relawan yang mendeklarasikan dirinya sebagai capres, dan juga survey elektabilitas oleh Political Statistic (Polstat) pada awal Desember ini yang menemukan nama Moeldoko “menyodok” bursa capres. Kalau dilihat-lihat, hal ini sungguh menarik karena selama ini Moeldoko tidak pernah diperbincangkan sebagai calon untuk Pilpres 2024.
Bagaimanapun juga, tidak bisa kita pungkiri bahwa dalam hampir setiap perbincangan tentang capres, nama-nama yang punya keterkaitan dengan militer, khususnya Angkatan Darat (AD) pasti selalu ada. Tidak hanya itu, dalam kasus yang lebih luas, kita juga perlu sadari bahwa setelah pertama kali pemilihan presiden digelar secara langsung semenjak tahun 2004, tidak pernah ada Pilpres yang tidak diikuti oleh seorang purnawirawan TNI.
Kalau kita coba menalarkan hal ini dari pandangan rakyat, secara sekilas, mungkin bisa kita artikan ini adalah bukti bahwa orang Indonesia butuh seorang pemimpin yang kuat. Seorang mantan militer barangkali dilihat sebagai leader yang cocok untuk berjuang di tengah sengitnya persaingan geopolitik dunia.
Tapi, bagaimana dari perspektif militer sendiri? Kenapa banyak purnawirawan, khususnya dari AD, yang terlibat dalam politik Indonesia dan bahkan menjadi capres?
Politik adalah DNA Militer?
Keterlibatan kalangan militer dalam politik sudah jadi perhatian pengamat politik dan sosial untuk waktu yang cukup lama. Tapi, tahukah kalian? Dalam studi militer-sipil, negara-negara berkembang, atau yang sering disebut “negara dunia ketiga” mendapatkan perhatian khusus. Mengapa? Well, ini karena sebagian besar negara berkembang baru lahir setelah akhir Perang Dunia II.
Mungkin ada yang bertanya-tanya, apa hubungan antara keterlibatan sekelompok orang berlatar belakang militer dalam politik dengan Perang Dunia II? Jawabannya cukup sederhana, hal ini karena militer, khususnya AD, memiliki peran yang begitu besar dalam proses kemerdekaan negara-negara berkembang yang begitu ngetren setelah cengkeraman bangsa Eropa melemah akibat Perang Dunia.
AD bisa berperan begitu penting karena pasukan darat bertugas mengambil kendali daerah-daerah yang penting, seperti pusat kota, dari penjajah. Irisan tugas ini dengan masyarakat pun begitu kuat karena pasukan darat berperan langsung dalam menjaga agar pemukiman warga tetap aman dari ancaman pendudukan bila penjajah memutuskan melakukan serangan balasan.
Karena faktor sejarah tersebut, AD memiliki investasi sosial yang begitu mendalam di sebuah negara bekas kolonialisme, semua itu kemudian terakumulasi dan berkembang menjadi sebuah fenomena yang disebut sebagai militer pretorian. Amos Perlmutter dalam tulisannya The Praetorian State and the Praetorian Army, menyebut militer pretorian sebagai militer yang melihat keterlibatan dalam politik sebagai implementasi dari sifat kepejuangan.
Kata “pretorian” sendiri terinspirasi dari unit militer di Kekaisaran Romawi yang mempunyai tugas paling besar yaitu berperan layaknya bodyguard dari seorang kaisar. Namun kalau kita lihat sejarahnya, praetorian guard atau penjaga pretorian sering kali bertindak lebih dari sekadar menjaga kaisarnya, tetapi juga melengserkan kaisar yang dianggap tidak pantas memimpin Roma, sekaligus mendorong seseorang menjadi kaisar jika ia dilihat patut menjadi orang paling mulia di Kekaisaran Romawi.
Nah, di dalam negara bekas kolonialisme, sifat kepejuangan dalam AD bisa dikatakan rentan terekspos nilai-nilai pretorian karena dari awal pun para personil militer AD sudah diberi tugas politik, yakni menjamin negara yang diperjuangkannya bisa terlepas dari belenggu penjajah. Oleh karena itu, bisa dikatakan keterlibatan politik bagi seorang AD mungkin juga dilihat sebagai tanggung jawab keperjuangan bangsa.
Pengamat militer Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi bahkan menyebut “semangat politik” sudah menjadi DNA bagi militer Indonesia. Karena dari catatan historis saja nilai politik dan militer sudah begitu merekat, maka tentu wajar bila seorang purnawirawan TNI mengartikan komitmennya pada politik sebagai suatu perjuangan. Yap, di satu sisi semangat revolusi sepertinya memang membekas di negeri yang masih “muda” ini.
Di sisi lain, memang, Indonesia sebagai negara yang pernah mengenyam otoritarianisme di bawah seorang jenderal TNI memiliki sentimen khusus terhadap pemimpin berlatar militer. Ini kemudian semakin disorot setelah Joko Widodo (Jokowi) mengalahkan Prabowo, seorang purnawirawan TNI, dalam Pilpres 2019.
Tapi jujur, kalau kita lihat keadaannya sekarang, kepemimpinan seorang mantan militer dalam pemerintahan tidak pernah berkurang, ini dibuktikan dengan banyaknya purnawirawan yang memegang jabatan penting dalam kabinet Jokowi di periode kedua. Artinya, entah itu mau diakui atau tidak, peran kalangan militer dalam politik masih sangat dipraktikkan, dan mungkin, memang sangat dibutuhkan.
Lantas, bagaimana dengan Pilpres 2024 nanti? Bagaimana prospek keterpilihan seorang purnawirawan TNI di ajang demokrasi terbesar Indonesia yang hanya tinggal sebentar lagi?
2024 Capres Militer Pasti Menang?
Selain memiliki aspek sejarah yang dapat menjadi keunggulan, seorang capres dari latar belakang militer di zaman ini juga sepertinya memiliki hal positif lain yang dapat membuatnya menang di 2024. Hal itu adalah apa yang disebut “roh zaman”.
Mengutip gagasan Georg W. F. Hegel tentang zeitgeist atau roh zaman, banyak pihak menilai sosok militer adalah kepemimpinan yang sesuai dengan roh zaman di sekitaran tahun 2024. Alasannya tentu bisa kita refleksikan ke keadaan dunia sekarang, di mana saat ini ketidakpastian geopolitik internasional begitu kentara, permainan politik para negara besar semakin mendorong kita untuk mempersiapkan pertahanan dan ketahanan diri.
Di samping itu, kita juga tidak boleh kesampingkan pandemi Covid-19 yang memberi pelajaran pada seluruh negara di dunia bahwa “tangan besi” diperlukan untuk menjaga agar pandemi bisa terkontrol.
Konsep zeitgeist ini sebenarnya juga terjadi di Indonesia di era-era kepemimpinan sebelumnya. Soekarno misalnya, dianggap menjadi representasi paling cocok untuk memimpin Indonesia di sekitaran tahun 1945 karena menjadi zeitgeist dari era itu, di mana masyarakat butuh orator yang bisa membakar semangat juang. Kemudian, setelah puluhan tahun terbenam, bangkitnya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai presiden dari kalangan militer yang mencoba menjawab tantangan internasional yang semakin membara, khususnya terkait hubungan Indonesia dengan Australia dan polemik Laut China Selatan (LCS).
Nah, setelah dua periode berturut-turut memiliki presiden dari kalangan sipil, sepertinya kuat dugaannya bahwa siklus politik pada 2024 nanti akan jatuh kembali pada pemimpin yang kuat dengan citra kemiliteran. Jika ini memang benar, maka untuk saat ini sepertinya Prabowo dan Andika menjadi dua sosok yang perlu kita perhatikan. Bedanya hanyalah Prabowo sudah lama menjadi pejabat partai politik, sementara Andika baru dirumorkan akan dilirik PDIP. Tapi tidak akan ada yang tahu, bisa saja di tahun depan dorongan agar Andika menjadi capres akan menguat.
Pada akhirnya, mungkin perlu kita sepakati bersama bahwa tidak ada salahnya jika kita kembali memiliki pemimpin yang berasal dari latar belakang militer, jika seorang pemimpin kuat memang dibutuhkan untuk survivabilitas negara di masa mendatang, maka terjadilah. Asal tentunya supremasi sipil tetap dijaga dan hal yang traumatis seperti dwifungsi militer tidak dikembalikan.
Well, siapapun pemimpin yang nanti kita pilih, kita perlu memilihnya berdasarkan kemampuannya menjawab kebutuhan zaman. (D74)