HomeNalar PolitikKenapa Putin Tidak Bunuh Zelensky?

Kenapa Putin Tidak Bunuh Zelensky?

Setelah sebulan lebih melancarkan serangan ke Ukraina, mudah menyimpulkan bahwa dibukanya meja perundingan merupakan indikasi Rusia mulai kehabisan logistik. Pertanyaannya, mengapa Vladimir Putin tidak membunuh Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky sejak hari pertama? Bukankah kematian Zelensky akan membuat Rusia dengan cepat memenangkan pertempuran?


PinterPolitik.com

“The amateurs discuss tactics: the professionals discuss logistics.” – Napoleon Bonaparte

Dalam bukunya yang terkenal The Art of War, Sun Tzu mewanti-wanti dua hal yang paling penting dalam sebuah perang, yakni perencanaan dan logistik. Kita tentu akrab dengan nasihat Sun Tzu berikut, “jika mengenali diri dan musuh, maka 100 pertempuran akan menghasilkan 100 kemenangan.”

Nah, nasihat tersebut berpangkal pada dua hal penting tadi. Untuk memenangkan setiap pertempuran, mutlak dibutuhkan strategi yang matang dan logistik yang mencukupi. Jika tidak demikian, perang hanya akan berakhir pada kekalahan menyedihkan. 

Ada pula nasihat penting Sun Tzu yang cukup jarang dikutip, yakni, “jadikanlah perang sebagai opsi terakhir.” Jika suatu konflik dapat diselesaikan melalui meja perundingan, maka serangan bersenjata tidak perlu dilakukan. 

Nasihat ini bukan berpangkal pada kebaikan hati, melainkan Sun Tzu sangat menyadari betapa besarnya biaya perang. Jika tidak diperhitungkan dengan matang, perang dapat menguras kas negara, menciptakan gejolak sosial, hingga meningkatkan potensi kudeta.

Apa yang dikemukakan Sun Tzu pada tahun 500 SM itu sangat pas kita refleksikan untuk melihat serangan Rusia ke Ukraina. Disebutkan, operasi militer yang diluncurkan sejak 24 Februari ini menghabiskan biaya £15 miliar (sekitar Rp280 triliun) per harinya. Ini belum termasuk kerugian akibat sanksi ekonomi dari Amerika Serikat (AS) dan negara-negara  sekutunya.

Per 29 Maret, operasi militer Rusia sudah berlangsung selama 34 hari — sudah sebulan lebih. Jika dihitung kasar, Rusia sudah mengeluarkan £510 miliar (sekitar Rp9.600 triliun). Bayangkan betapa besarnya biaya ini. Jumlahnya bahkan hampir setengah dari produk domestik bruto (PDB) Rusia pada 2020 yang mencapai US$ 1,48 triliun (sekitar Rp20.920 triliun).

Besarnya biaya yang dikeluarkan kemudian menjadi argumentasi kuat mengapa Rusia saat ini bersiap mengakhiri serangan dengan embel-embel perundingan. 

Kembali pada Sun Tzu, sadar atas besarnya biaya perang, ahli strategi asal Tiongkok itu sangat mewanti-wanti agar perang dapat diselesaikan secepat mungkin. Ini yang membuatnya merekomendasikan dua taktik. Pertama, lakukan spionase dan kamuflase agar serangan tidak diantisipasi optimal oleh musuh. Kedua, menyeranglah seperti petir yang menggelegar agar musuh dengan cepat dilumpuhkan. 

Baca juga :  Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Di sini letak keanehannya. Dengan status Vladimir Putin sebagai mantan agen KGB, mengapa nasihat-nasihat mendasar Sun Tzu tidak dijalankan? Jika Putin ingin mengakhiri pertempuran dengan cepat, mengapa Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky tidak ditargetkan sejak awal? Bukankah kematian Zelensky adalah simbol kemenangan?

zelensky capek ke biden ed.

Dapat Jadi Backlash?

Membunuh atau menangkap pemimpin musuh adalah salah satu strategi perang yang paling tua. Ini misalnya dapat ditemukan pada strategi nomor 18 dalam Thirty-Six Stratagems, yakni 36 strategi Tiongkok kuno yang digunakan dalam politik, perang, dan interaksi sipil. Strategi nomor 18 berbunyi, “Defeat the enemy by capturing their chief” (擒賊擒王, Qín zéi qín wáng). 

Mengutip Stephen T. Hosmer dalam tulisannya Operations Against Enemy Leaders, kesadaran atas pemimpin adalah target serangan utama, membuat setiap pemimpin dalam konflik mencurahkan perhatian dan sumber daya yang melimpah untuk melindungi dirinya. Mereka menyiapkan berbagai langkah pencegahan, seperti sering berpindah dan memiliki tempat persembunyian rahasia. 

Namun, seperti yang kita lihat, Zelensky tidak melakukan langkah pencegahan semacam itu. Ia bahkan tampil dalam berbagai forum, dan berulang kali mengatakan, “saya tidak bersembunyi.” Ketika diisukan meninggalkan Ukraina beberapa waktu yang lalu, Zelensky juga langsung membuat video bantahan. 

Nah, kembali pada pertanyaan awal, bukankah itu menunjukkan Zelensky adalah target serangan yang mudah? Lantas, kenapa Putin masih membiarkan Zelensky hidup? Apalagi, sebagai sosok yang lama berkecimpung di dunia hiburan, Zelensky memiliki kemampuan pembangunan narasi dan citra yang baik untuk membuat dunia mengutuk Putin dan Rusia.

Untuk menjawabnya, kita dapat melihat pembacaan lanjutan dari strategi nomor 18. Memang benar disebutkan bahwa membunuh atau menangkap pemimpin musuh akan berbuah kemenangan. Namun, strategi itu akan berhasil apabila loyalitas dan rasa hormat pasukan musuh rendah terhadap pemimpinnya.

Jika pasukan musuh memiliki rasa keterikatan, loyalitas, dan rasa hormat yang tinggi, strategi ini justru dapat menjadi backlash karena memantik perlawanan yang lebih besar dengan motivasi balas dendam. 

Nah, kuat dugaan kekhawatiran itu yang menjadi perhitungan Putin. Saat ini, dengan berbagai gesturnya, dapat dikatakan Zelensky telah menjadi simbol perlawanan Ukraina melawan Rusia. Zelensky adalah martir nasional.

Jika Putin memutuskan untuk membunuhnya, Zelensky akan dikenang sebagai pemimpin yang mati untuk melindungi rakyat Ukraina dari Rusia. Kematian Zelensky akan semakin memperburuk citra Rusia, dan rekonsiliasi Rusia-Ukraina akan semakin sulit untuk dilakukan.

Baca juga :  Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Kembali pada poin awal, jika konflik terus berkepanjangan, besarnya biaya operasi militer akan membawa Rusia ke jurang kehancuran ekonomi dan ketidakpastian pasar.

as yang ciptakan putin

Maju Kena, Mundur Kena

Dalam literatur terkini, strategi nomor 18 yang dapat menjadi backlash terlihat banyak diadopsi dalam berbagai analisis atas serangan kepada kelompok teroris. Jenna Jordan dalam tulisannya Attacking the Leader, Missing the Mark: Why Terrorist Groups Survive Decapitation Strikes, misalnya, menjelaskan bahwa kematian pimpinan suatu kelompok teroris tidak serta merta berujung pada kehancuran kelompok teroris tersebut.

Menurut Jordan, ada dua faktor yang menentukan hancur tidaknya kelompok teroris jika pemimpinnya ditangkap atau tewas. Pertama adalah birokrasi. Seperti organisasi pada umumnya, kelompok teroris dapat memiliki struktur birokrasi yang lengkap, bahkan kompleks.

Struktur ini memiliki unsur pimpinan, administrasi, keuangan, hingga cabang-cabang di daerah berbeda yang memiliki pembagian tugasnya masing-masing, namun beraktivitas sesuai dengan arahan dan aturan pimpinannya. Kejelasan struktur, aturan, serta rutinitas inilah yang membuat kelompok teroris dapat bertahan dan secara cepat mengganti struktur kepemimpinannya yang hilang. 

Kedua adalah dukungan publik terhadap kelompok tersebut. Dukungan ini menjadi penting karena bantuan masyarakat memudahkan kelompok teroris dalam melakukan rekrutmen, mengumpulkan dana, hingga membantunya bersembunyi dari pemerintah. Dukungan ini pada akhirnya juga akan memudahkan kelompok teroris untuk melakukan reorganisasi setelah diserang.

Pada konflik Rusia-Ukraina, konteks tulisan Jenna Jordan tentu saja berbeda, namun kita dapat menarik dua faktor yang telah dijelaskannya. Pertama, Ukraina adalah negara yang tentunya memiliki struktur organisasi dan birokrasi yang lengkap dan kompleks. Jika Zelensky dibunuh, pergantian pemimpin akan segera dilakukan.

Kedua, saat ini Ukraina mendapatkan dukungan dari masyarakat dunia. Tidak hanya mendapat dukungan moril, bahkan sejak sebelum serangan, AS dan negara-negara sekutunya juga telah memberikan berbagai bantuan. 

Kembali pada poin sebelumnya, kuatnya citra dan dukungan terhadap Zelensky akan semakin mempersulit rekonsiliasi yang tengah diusahakan. 

Sebagai penutup, mungkin dapat disimpulkan, situasi Putin saat ini persis seperti judul salah satu film Warkop DKI, Maju Kena Mundur Kena. Jika membunuh Zelensky, akan ada backlash yang berpotensi kuat semakin merugikan Rusia. Namun, jika dibiarkan hidup, Zelensky memainkan keahliannya untuk semakin menenggelamkan citra Putin dan Rusia. (R53) 

spot_imgspot_img

#Trending Article

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Beberapa konglomerat menyiratkan “ketakutan” soal akan seperti apa pemerintahan Prabowo bersikap terhadap mereka.

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...