Telah lama terlihat PSI menunjukkan diri begitu garang mengkritik Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Plt. Ketua Umum PSI Giring Ganesha bahkan mengaku tidak rela jika Anies menjadi presiden di 2024. Mengapa PSI selalu menyerang Anies?
Siapa yang tidak tahu lagu Laskar Pelangi? Siapa pula yang tidak tahu penyanyinya, Giring Ganesha? Jika dulunya Giring selalu teratribusi pada grup ban Nidji, sekarang Giring dikenal sebagai petinggi PSI, Partai Solidaritas Indonesia.
Bukan tanpa alasan, saat ini Giring bahkan menjabat sebagai pelaksana tugas (Plt) Ketua Umum PSI. Ia mengisi pos kosong Grace Natalie yang tengah melanjutkan kuliah master di Lee Kuan Yew School of Public Policy National University of Singapore (NUS).
Penunjukan Giring sebagai pengganti Grace juga menjadi perbincangan tersendiri. Kira-kira pertanyaannya, bagaimana bisa sosok yang mengaku stres karena tidak lolos Senayan justru diminta memimpin partai politik dengan kader di seluruh provinsi?
Selepas menjadi Plt. Ketum PSI, perbincangan seputar Giring juga terus bermunculan. Bayangkan saja, dengan menyebut pernah memimpin grup ban, Giring dengan percaya diri mendeklarasikan diri sebagai calon presiden. Deklarasi yang rasa-rasanya butuh banyak pertimbangan dan modal politik. Di atas kertas, Giring jelas tidak memiliki kesempatan.
Baca Juga: Anies Lebih Jago dari Giring?
Terbaru, Giring kembali mendapat sorotan hangat atas pernyataannya terhadap Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. “Jangan sampai Indonesia jatuh ke tangan pembohong. Jangan sampai Indonesia jatuh ke tangan Anies Baswedan,” ungkapnya pada 21 September.
Menurutnya, Anies adalah sosok pembohong yang hanya berpura-pura peduli kepada masyarakat. Simpulan tersebut ditarik dari penolakan Anies membatalkan Formula E di tengah kesulitan masyarakat menghadapi pandemi Covid-19.
Well, terlepas dari serangan Giring ke Anies, telah lama memang terlihat gestur PSI memosisikan dirinya diametral terhadap Anies. Mereka seolah memiliki template kata tidak terhadap setiap tindak laku Anies.
Seperti yang menjadi pertanyaan publik, mengapa PSI memusatkan dirinya sebagai oposisi Anies? Jika targetnya lolos ke Senayan di 2024, kenapa PSI tidak mengangkat isu lokal atau mengkritisi kebijakan pemerintah pusat?
Tunggangi Jakarta?
Terkait pertanyaan tersebut, berbagai pihak, khususnya politisi PSI akan mengatakan, itu memang tugas partai karena memiliki kursi di DPRD DKI Jakarta. Sayangnya, kita perlu meragukan dengan serius jawaban semacam itu. Pasalnya, dengan fakta PSI juga mendapat kursi di DPRD Bali, kenapa tidak terdengar suara garang terhadap Gubernur Bali Wayan Koster?
Atas keganjilan ini, kita patut menduga PSI tengah menunggangi Jakarta sebagai strategi politik. Ini sangat masuk akal menimbang status Jakarta sebagai ibu kota negara dan merupakan magnet atensi publik.
Heike Mayer dan David Kaufmann dalam tulisan mereka The Political Economy of Capital Cities, mengatakan ibu kota memainkan peran penting dalam membentuk identitas politik, ekonomi, sosial dan budaya suatu negara. Sebagai pusat pemerintahan dan pengambil kebijakan, representasi ibu kota tak hanya bersifat simbolis tapi juga dalam konteks ekonomi dan perannya sebagai jaringan urban nasional.
Selain itu, menurut Ross Tapsell dalam bukunya Media Power in Indonesia, berkumpulnya hampir semua kantor pusat media di Jakarta, secara tak langsung menyebabkan pemberitaan media-media akan berkiblat pada “kepentingan Jakarta” yang pada akhirnya membuat isu regional Jakarta seolah-olah menjadi isu nasional.
Model bisnis digitalisasi dan multi-platform yang mulai dianut oleh para konglomerasi media juga berkontribusi terhadap sentralisasinya isu-isu nasional pada Jakarta. Sehingga pada akhirnya siapa pun yang menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta akan menjadi sorotan nasional.
Baca Juga: “Badut Politik” dan Manuver Giring eks-Nidji
Konteks ini yang sekiranya tengah dimanfaatkan oleh PSI. Singkatnya, alih-alih menghabiskan banyak biaya untuk mem-branding diri di 34 provinsi, jauh lebih murah dan efisien dengan berfokus di ibu kota. Selain itu, Anies yang menjabat Gubernur DKI Jakarta juga menjadi magnet pemberitaan sejak Pilgub DKI 2017. Suara-suara lantang PSI terhadap Anies tidak hanya menjadi isu regional Jakarta, melainkan menjadi konsumsi nasional.
Jika benar demikian, tidak berlebihan menyebut PSI merupakan partai Jakarta-sentris. Ada pula sindiran warganet yang menulis kepanjangan PSI adalah Partai Solidaritas Ibu Kota.
Well, PSI tampaknya memang sengaja memusatkan diri pada Jakarta. Ini adalah langkah instan dan efektif untuk didengar secara nasional.
Akan tetapi, kendati strategi tersebut sukses membuat PSI mendapat kursi di DPRD DKI, bukankah strategi itu gagal membuatnya lolos ke Senayan? Pada Pileg 2019, PSI hanya memeroleh 2.650.361 suara atau hanya 1,89 persen. Lantas, apakah PSI perlu mengevaluasi strateginya?
Salah Strategi?
Selain fakta PSI hanya memeroleh kurang dari 2 persen suara pada Pileg 2019, ada tiga lagi alasan mengapa partai ini perlu mengevaluasi strategi Jakarta-sentris-nya.
Pertama, menurut laporan Bank Dunia yang berjudul Beyond Unicorn: Memanfaatkan Teknologi Digital untuk Inklusi di Indonesia, disebutkan hampir setengah (49 persen) dari populasi orang dewasa di Indonesia masih belum memiliki akses ke teknologi digital.
Kesenjangan konektivitas internet antara daerah perkotaan dan pedesaan terlihat belum menyempit. Di perkotaan, 62 persen orang dewasa telah terhubung ke internet. Sementara di pedesaan, angkanya hanya menyentuh 36 persen.
Sekarang coba bayangkan, strategi PSI yang bertumpu pada Jakarta pada dasarnya mengandalkan sebaran informasi melalui media, atau kita sebut saja komunikasi digital. Jika targetnya adalah lolos di Senayan atau menyentuh setiap lini masyarakat, bukankah faktor disparitas akses digital menjadi hambatan strategi Jakarta-sentris?
Kedua, menurut Nyimas Latifah dalam tulisannya Peran Marketing dalam Dunia Politik, ada empat tipe pemilih di Indonesia, yakni pemilih rasional, pemilih kritis, pemilih tradisional, dan pemilih skeptis. Dari keempatnya, pemilih tradisional merupakan pemilih mayoritas di Indonesia.
Kelompok pemilih ini lebih mengutamakan kedekatan sosial budaya, nilai, asal-usul, paham dan agama sebagai indikator untuk calon pemimpin dan partai politik. Biasanya mereka memiliki tingkat pendidikan yang rendah, sehingga lebih mudah dimobilisasi.
Selain karena kesenjangan akses digital, konteks tersebut menjelaskan mengapa popularitas di media massa dan media sosial kerap berbanding terbalik dengan hasil pemilu. Ini misalnya terlihat pada kasus Faldo Maldini.
Mantan politisi PAN yang menjadi Juru Bicara Prabowo-Sandi di Pilpres 2019 ini, jelas merupakan sosok yang begitu populer. Namun secara mengejutkan, ia justru gagal masuk ke Senayan pada Pileg 2019.
Dengan kata lain, PSI tidak dapat hanya mengandalkan popularitas di media sebagai patokan mengatakan dirinya dikenal oleh masyarakat luas. Seperti kasus Faldo, popularitas di media bukanlah jaminan mendapatkan simpati dan dukungan masyarakat.
Ketiga, PSI perlu memikirkan serius isu-isu yang dibawanya selama ini. Sebagai partai baru, memang PSI perlu mendapat apresiasi karena mencoba membawa nilai-nilai progresif. Ini pula yang membuat mereka dapat menang di Eropa pada Pileg 2019.
Baca Juga: Menguak Strategi PKS Amankan Anies
Namun, seperti pada poin kedua, nilai-nilai progresif universal seperti HAM dan demokrasi tampaknya belum begitu efektif untuk menggaet pemilih di Indonesia. PSI perlu mengangkat isu-isu lokal, isu yang memiliki kedekatan psikologis, historis, sosial dan budaya dengan masyarakat setempat.
Mengacu pada tiga alasan tersebut, PSI jelas telah menerapkan strategi yang keliru apabila ingin lolos ke Senayan. Pengamat politik Universitas Padjadjaran, Kunto Adi Wibowo, juga menegaskan hal serupa.
Menurutnya, PSI yang kerap menyerang Anies merupakan usaha untuk meningkatkan elektabilitas partai dengan memanfaatkan suara haters Anies. Pertanyaannya, seberapa banyak suara haters Anies tersebut? Kemudian, apakah otomatis suara haters Anies semuanya masuk ke kantong PSI?
Namun, apabila menggunakan sudut pandang yang berbeda, bagaimana jika PSI memang tidak mengincar Senayan? Pasalnya, PSI jelas bukan merupakan partai dengan modal besar seperti PDIP, Nasdem, Golkar, ataupun Gerindra. Sadar atas keterbatasan modal yang ada, PSI kemungkinan hanya mengincar kursi DPRD kota-kota besar, khususnya DKI Jakarta.
Simpulan ini bertolak dari survei Jakarta Research Center (JRC) yang menyebutkan PDIP dan PSI akan menguasai DKI pada Pileg 2024 nanti.
Well, apa pun yang menjadi strategi PSI, kita lihat saja apakah Giring mampu memimpin PSI ke Senayan pada 2024 nanti. (R53)