Para kandidat potensial calon presiden (capres) 2024 seperti Anies Baswedan, Sandiaga Uno, Ridwan Kamil (RK), Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo terlihat “narsis” di media sosial (medsos). Namun, jika dilihat-lihat, Prabowo memiliki gaya “narsis” yang sangat berbeda dibandingkan kandidat lainnya. Lantas, kenapa Prabowo tidak seatraktif kandidat lainnya di medsos?
PinterPolitik.com
“Being different gives the world color.” – Nelsan Ellis
Saat ini, perkembangan kebutuhan internet tak hanya dirasakan oleh kalangan anak muda saja, tetapi kebutuhan internet juga dimanfaatkan oleh banyak kalangan. Terlebih, kecanggihan teknologi saat ini memberikan kemudahan, terutama dalam menyampaikan informasi sekaligus komunikasi, sehingga media sosial (medsos) seperti Instagrammenjadi barang wajib dimanfaatkan oleh para kandidat potensial di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 seperti Anies Baswedan, Sandiaga Uno, Ridwan Kamil (RK), Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto untuk menarik suara-suara rakyat.
Berdasarkan rilis We Are Social, per Januari 2023, Instagram adalah medsos dengan pengguna terbesar peringkat kedua di Indonesia, yaitu sebesar 86,5%. Posisi pertama diduduki oleh WhatsAppsebesar 92,1%. Maka dari itu, sungguh tak heran jika para kandidat 20244 memanfaatkan Instagram sebagai forum kampanye mereka.
Mengamatinya sejauh ini, terdapat empat kandidat yang begitu lihai menggunakan medsos seperti Instagram, yakni Anies, Sandi, RK, dan Ganjar. Hal ini dapat dilihat dari jumlah pengikut dari masing-masing akun Instagram mereka.
Posisi pertama diduduki oleh Ridwan Kamil (RK) dengan 19,9 juta pengikut, selanjutnya disusul oleh Sandiaga Uno dengan 9 juta pengikut, Anies Baswedan 5,8 juta pengikut, dan Ganjar Pranowo 5,4 juta pengikut.
Data tersebut berkorelasi dengan pernyataan Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Center for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes di tahun 2021. Arya menilai bahwa keempat kandidat tersebut secara serius memiliki efek politik yang sangat besar di media sosial.
Berbeda dengan keempatnya, jika mengatami Prabowo, sang Menteri Pertahanan (Menhan) terlihat memiliki gaya “narsis” yang berbeda. Tidak seperti RK, Sandi, Anies, dan Ganjar yang lebih atraktif, Prabowo terlihat jauh lebih tenang (calm). Prabowo terlihat lebih menunjukkan dirinya sebagai seorang militer, berwibawa, dan tidak menunggang isu sensasional.
Lantas, mengapa Prabowo menggunakan gaya “narsis” yang berbeda dibandingkan kandidat lainnya di media sosial? Bukankah dengan lebih atraktif Prabowo akan menuai suara yang lebih besar?
Prabowo Lebih Hati-hati?
Media sosial adalah platform di mana seseorang bisa mengeskpresikan diri secara bebas. Dalam hal ini mereka memiliki cara yang berbeda-beda dalam mengekspresikan dirinya. Tak terkecuali kandidat capres yang ingin melaksanakan kampanye.
Maria Petrova, Ananya Sen, dan Pinar Yildirimmelalui artikel jurnalnya yang berjudul Social Media and Political Contributions : The Impact of New Technology on Political Competition, menyatakan media sosial menjadi teknologi pemasaran yang paling berguna, terutama bagi politisi yang ingin mencalonkan diri sebagai calon presiden, calon legislatif, ataupun pemimpin daerah. Oleh karena itu, media sosial sangat memberikan kontribusi kampanye bagi calon pejabat politik.
Namun, tentunya diperlukan pemahaman dan pendekatan yang baik agar media sosial bisa tepat sasaran dan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh politikus.
Suardi dalam tulisannya Antara Media Sosial Dalam Komunikasi Politik menyampaikan bahwa penggunaan media sosial yang “serampangan”atau ceroboh dapat merugikan pengguna media sosial itu sendiri.
Oleh karena itu, dalam konteks Prabowo, sebagai tokoh militer yang mengajukan diri sebagai kandidat capres 2024, tentu memiliki gaya yang berbeda dalam mengekspresikan dirinya melalui medsos. Mungkin dapat dikatakan bahwa Prabowo ingin memanfaatkan media sosial dengan penuh hati-hati.
Selanjutnya, merujuk pada tulisan Richard Wike di Pew Research Center yang berjudul Social Media Seen as Mostly Good for Democracy Across Many Nations, But U.S. is a Major Outliner, menilai masyarakat melihat media sosial sebagai komponen politik yang konstruktif sekaligus destruktif.
Sehingga, prinsip kehati-hatian yang dilakukan oleh Prabowo, tidak lain adalah ingin menjaga image-nya sebagai tokoh militer dan statusnya sebagai sosok negarawan. Apabila Prabowo sedikit ceroboh, bisa saja Prabowo kehilangan image-nya sekaligus menurunkan elektabilitasnya.
Lalu, bagaimana prinsip kehati-hatian Prabowo bisa mempengaruhi komunikasi politik ?
Santai, Tapi Memanuver
Michael Rush dan Phillip Althoff dalam buku Political Sociology: Introduction, menyampaikan komunikasi politik adalah proses penyampaian pesan dari jabatan politik kepada audiens, dan adanya respons dari audiens yang berupa umpan balik (feedback).
Rush dan Althoff juga menambahkan, komunikasi politik terdiri dari sumber berupa pesan atau informasi yang disampaikan, proses penyampaian informasi, penerima informasi (audiens), dan umpan balik dari informasi yang diterima.
Dalam artikel PinterPolitik yang berjudul Prabowo Blunder Dekati Deddy Corbuzier?, telah dijelaskan bahwa gaya atau gimik yang dimainkan Prabowo di medsos adalah “gimik tanpa gimik”.
Khairul Fahmi dalam tulisannya The 2024 presidential election landscape taking shape: “Mirror mirror on the wall, who’s the fairest of them all?”, menyebut Prabowo menggunakan “gimik tanpa gimik”. Prabowo yang tidak atraktif atau terlihat tidak menggunakan gimik politik justru merupakan gimiknya.
Prabowo menciptakan persepsi bahwa dirinya fokus pada tugas memimpin Kementerian Pertahanan (Kemhan). Sejauh ini, menurut Fahmi, gaya itu menciptakan persepsi positif. Masyarakat menilai Prabowo sebagai sosok profesional yang fokus menjalankan tugas dan menunjukkan hasil kerja.
Terlebih, media massa seolah menjadi corong suara Prabowo dalam menunjukkan diplomasi pertahanan dan kesepakatan-kesepakatan alutsista dengan negara lain.
Sebagai penutup, sekiranya dapat disimpulkan satu hal. Alasan di balik Prabowo tidak seatraktif kandidat lainnya di medsos merupakan strategi komunikasi politik. Ini menciptakan kesan berbeda dan berwibawa. (R86)