Site icon PinterPolitik.com

Kenapa Prabowo-Gibran Butuh Influencer?

kenapa prabowo gibran butuh influencer

Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto (kanan) berfoto bersama Azka Corbuzier (kiri) – putra Deddy Corbuzier. (Foto: Instagram/@azkacorbuzier)

Dari banyaknya nama yang mengisi Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, terdapat sejumlah nama yang dikenal sebagai influencers. Mengapa influencers tetap penting meski terdengar klise?


PinterPolitik.com

“I know that things got a little bit tense at the debate, but it’s a competition” – O, Sex Education (2019-2023)

Season terbaru dari salah satu serial andalan Netflix, Sex Education (2019-2023), telah dirilis sejak September 2023 lalu. Layaknya serial komedi remaja ala Netflix lainnya, season keempat ini menyajikan intrik-intrik kehidupan anak-anak muda di bangku sekolah SMA dan kuliah.

Namun, intrik kehidupan remaja juga tidak lepas dari konflik. Konflik yang disajikan oleh season inipun juga mengandung dimensi politik di dalamnya.

Konflik politis ini terjadi antara karakter utama, Otis Milburn, dan O – yang mana telah lebih dahulu menjadi konsultan seks di sekolah baru Otis, Cavendish College. Otis yang merasa sudah dikenal sebagai konsultan seks di sekolah lamanya, Moordale Secondary School, akhirnya menemukan pesaing.

Otis dan O akhirnya membawa konflik ini ke warga Cavendish dengan membuat sebuah polling. Polling ini akhirnya berlangsung ketat – hingga mengadakan debat publik/

Namun, debat publik ini bukanlah satu-satunya penentu ke mana suara warga Cavendish akan berlabuh, melainkan banyak faktor lain juga ikut menentukan. Salah satunya adalah video-video yang ikut mengisi diskursus di media sosial (medsos).

Salah satunya adalah video O muda yang mengejek temannya sendiri, Ruby Matthews, agar bisa diterima oleh teman-temannya yang lain. Alhasil, warga Cavendish langsung tidak menyukai O.

Mungkin, inilah mengapa para bakal calon presiden (bacapres) dan bakal calon wakil presiden (bacawapres) tetap mengandalkan influencers. Apapun yang terjadi di ruang digital ternyata bisa mempengaruhi dinamika politik elektoral.

Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, misalnya, memiliki Komando Pemilih Muda di Tim Kampanye Nasional (TKN) mereka. Beberapa nama influencers seperti Reza Arap Oktavian, Arief Muhammad, dan Willie Salim turut mengisi TKN Prabowo-Gibran.

Mungkin, bagi sebagian orang, influencers terkesan strategi remeh. Namun, keberadaan mereka bisa jadi sangat penting. Mengapa influencers penting bagi pasangan Prabowo-Gibran?

Adu Gagasan Adalah Kunci?

Dalam pemilihan umum (pemilu) – termasuk pemilihan presiden (pilpres), narasi yang tersebar dalam diskursus elektoral merupakan hal penting. Kesesuaian pesan kampanye menjadi penentu elektablitas pasangan calon (paslon).

Setidaknya, begitulah penjelasan yang dijabarkan oleh William L. Benoit dalam tulisannya yang berjudul Topic of Presidential Campaign Discourse and Election Outcome. Mengacu ke teori fungsional, preferensi kebijakan menjadi penentu utama.

Di Amerika Serikat (AS), misalnya, perdebatan utama yang terjadi dalam hal pemilu adalah ideologi dan pilihan kebijakan. Ini terlihat dari bagaimana narasi yang diperdebatkan pada Pilpres AS 2008 silam. 

Pada Pilpres AS 2008, kandidat dari Partai Demokrat, Barack Obama, berhadapan dengan kandidat Partai Republik, John McCain. Salah satu isu yang jadi perdebatan besar saat itu adalah jaminan kesehatan untuk masyarakat.

Bila McCain berfokus pada mekanisme pasar untuk kesehatan masyarakat, Obama menyajikan preferensi kebijakan yang berbeda. Obama menyajikan program jaminan kesehatan universal yang juga melibatkan asuransi swasta.

Dari narasi yang dibahas dalam pilpres AS tersebut, jika mengacu ke teori fungsional, pertimbangan yang digunakan oleh pemilih secara rasional adalah analisis biaya-manfaat (cost-benefit analysis). Bila pertimbangan biaya-manfaat menjadi pertimbangan utama bagi pemilih, menjadi masuk akal apabila adu gagasan antar-kandidat dapat terjadi. 

Ini tidak terjadi hanya pada Pilpres AS 2008. Mengacu ke studi yang dilakukan Benoit, publik pun tidak terlalu memasukkan faktor skandal perselingkuhan Bill Clinton sebagai faktor evaluasi presiden. Sebanyak 60 persen penduduk AS pada tahun 2001, banyak yang menilai isu personal itu tidak mempengaruhi performa Clinton sebagai presiden.

Lantas, bagaimana dengan pilpres di Indonesia? Mengapa ini berkaitan dengan pelibatan influencers dalam upaya-upaya kampanye?

Prabowo-Gibran Tetap Butuh Influencers

Namun, di luar gagasan ideologis dan kebijakan, pemilu di Indonesia juga meliputi persona. Karakter seseorang juga mempengaruhi preferensi pemilih.

Di publik, biasanya terdapat dua dikotomi dari sifat publik. Terdapat dunia politis (political). Namun, terdapat juga dunia personal.

Bila bicara dunia political, isu-isu publiklah yang akhirnya dibicarakan. Namun, bila berbicara isu personal, hal-hal yang dibahas adalah kehidupan sehari-hari – seperti bagaimana memenuhi kebutuhan makan sehari-hari seorang individu.

Setidaknya, pemisahan inilah yang dijelaskan oleh Staffan Kumlin dalam tulisannya yang berjudul The Personal and the Political. Bagi sisi personal, the political menjadi sesuatu yang sangat jauh dan tidak bisa diakses secara langsung.

Maka dari itu, sering kali muncul pertanyaan, “bagaimana caranya isu rumit dalam dimensi politik bisa mencapai dimensi personal?” Pasalnya, keterhubungan di antara keduanya sering kali jarang terbangun.

Boleh jadi, karena ini, akhirnya para penganbil kebijakan dan politisi memperlukan saluran tengah yang akhirnya bisa menghubungkan dunia politis dengan dunia personal. Bukan tidak mungkin, para influencers yang turut mengisi kehidupan sehari-hari publik menjadi jembatan yang menjanjikan.

Selain itu, melibatkan para influencers bisa menjadi saluran bagi para politisi untuk berbicara dengan bahasa the personal. Pasalnya, para politisi ini juga memiliki sisi personal mereka sendiri-sendiri.

Ini juga berkaitan dengan bagaimana pemilu di Indonesia yang masih mengedepankan karakter di samping ideologi dan preferensi kebijakan. Ini juga yang akhirnya dijelaskan oleh Diego Fossati, Burhanuddin Muhtadi, dan Eve Warburton dalam tulisan mereka yang berjudul Follow the Leader: Personalities, Policy and Partisanship in Indonesia.

Pada akhirnya, para influencers inilah yang akhirnya menjadi jembatan antara the political dan the personal bagi Prabowo dan Gibran. Menarik untuk diamati bagaimana jembatan ini bisa menjemput para personal yang tidak political ini – khususnya mereka yang ada di generasi Milenial dan Generasi Z. (A43)


Exit mobile version