Populisme selalu menjadi aib politik yang berulang kali digunakan oleh para politisi dalam pemilihan umum (pemilu). Kenapa hal ini tidak bisa kita hindari?
Pemilihan Presiden 2024 (Pilpres 2024) sudah di depan mata. Obrolan-obrolan di pinggir jalan pun saat ini sudah ramai dengan gunjang gunjing calon presiden (capres) mana yang akan menjadi pemimpin kita. Yess, mulai dari para remaja sampai pedagang asongan, mereka turut berpatisipasi dalam diskursus demokrasi yang begitu seru.
Namun, meskipun Pilpres 2024 terlihat akan menampilkan beberapa pemain baru, tidak sedikit orang-orang yang justru pesimis pilpres nanti akan membawa perubahan yang signifikan. Terlebih lagi, terkait bagaimana para capres akan berkampanye untuk memenangkan kompetisi politik tersebut.
Sebagai contoh, kalau kita melihat kolom komentar di beberapa postingan akun Instagram @pinterpolitik, kita akan menemukan cukup banyak orang yang berkomentar “nyinyir”, menyindir calon yang satu akan kembali berkampanye menggunakan politik identitas, atau calon yang satu lagi akan berkampanye menggunakan narasi “wong cilik”, yang dianggap sudah basi.
Well, singkatnya, orang-orang tersebut mengkhawatirkan Pilpres 2024 nanti akan kembali penuh dengan nuansa populisme, yakni sebuah pendekatan politik yang dengan sengaja menyebut membawa kepentingan rakyat, dan seringkali dilawankan dengan kepentingan kelompok-kelompok elite.
Meskipun secara prinsip seorang pemimpin demokrasi memang diharuskan membawa kepentingan rakyat, dalam praktiknya, kampanye ala populisme seringkali hanya dijadikan alat pancingan semata agar publik bersimpati pada politisi yang menggunakannya, dan akhirnya memilihnya saat masa pemilihan datang. Akan tetapi, ketika mereka menjabat, para politisi tersebut justru tidak menjalankan janji-janjinya.
Saking seringnya fenomena ini terjadi, muncul pula anggapan umum bahwa memang seperti itulah cara dunia politik bekerja. Siapa pun yang ingin masuk politik, maka mereka juga harus belajar bagaimana caranya membohongi publik, katanya.
Namun, kita pun sebenarnya perlu mempertanyakan, kenapa kampanye politik ala populisme selalu bermunculan di hampir setiap pemilu Indonesia?
Akibat Pemerintah yang Buruk?
Layaknya sebuah virus yang menjadi penyebab munculnya sejumlah penyakit pada tubuh manusia, sebuah permasalahan politik pun bisa dipastikan memiliki suatu akar masalah yang membuatnya begitu susah ditangani.
Terkait persoalan populisme, sebuah karya ilmiah berjudul Do Incompetent Politicians Breed Populist Voters?, dari Giacomo Ponzetto, ekonom Barcelona School of Economics, sekiranya bisa memberikan jawaban yang cukup menarik tentang bagaimana populisme bisa muncul.
Dari sejumlah riset yang dilakukannya, Ponzetto menyimpulkan bahwa alasan kuat kenapa suatu negara bisa memiliki calon pemimpin yang selalu berkampanye dengan gaya populisme ternyata adalah karena pemerintah di negara tersebut bisa diasumsikan memiliki kinerja yang buruk dan bahkan tidak efektif.
Mengapa bisa demikian? Well, jawabannya sederhana. Kalau suatu pemerintahan bisa berfungsi secara efektif, misalnya, tingkat kemiskinan warganya rendah, dan memiliki sistem birokrasi yang mumpuni, maka tentu warga di negara tersebut akan memiliki sedikit alasan untuk meminta perubahan.
Sebaliknya, bila suatu negara memiliki kesenjangan ekonomi yang begitu tinggi, dan marak dengan kasus korupsi, maka bisa dipastikan warga yang tinggal di negara tersebut akan sangat mengharapkan adanya perubahan. Akibatnya, sentimen anti-kemapanan dan anti-elitisme pun akan begitu besar.
Yang membuat ini lebih miris lagi, gerakan anti-kemapanan tersebut rentan dipelintir sehingga menjadi sangat berbahaya. Sebagai contoh, ia bisa dibelokkan ke narasi keagamaan bila kebetulan para kaum elite di negara tersebut adalah orang-orang yang berasal dari agama lain, atau bahkan etnis yang dianggap bukan pribumi.
Atau, bisa juga hanya sekadar jadi basis argumen bahwa penguasa saat ini tidak menjalani anjuran-anjuran agama.
Kalau soal ini, mungkin masyarakat kita sudah tahu sisi pahitnya ketika mengingat Pilpres 2019.
Nah, dampak seperti itulah yang kemudian menjadi benih-benih ide populisme para politisi. Di negara yang sedang terombang-ambing seperti itu, para pemilih akan begitu menghasratkan seseorang yang bisa menjadi perwakilan untuk bertarung melawan kelompok elite. Kalau sudah demikian, tentu keputusan yang rasional adalah dengan berusaha menjadi sosok yang diaspirasikan publik tersebut, bukan?
Oleh karena itu, terlepas dari apakah mereka benar-benar ingin mewakilkan rakyat atau tidak, citra seorang politisi yang bisa menjadi garda terdepan publik melawan elite dan oligark menjadi hal yang utama dalam setiap pemilu.
Dan kalau kita melihat keadaan negara kita saat ini, well, momentum populisme mungkin sedang tinggi-tingginya. Mulai dari kasus pembunuhan oleh Ferdy Sambo, penganiayaan oleh Mario Dandy, sampai viralnya video-video keluarga pejabat yang gemar flexing, semua ini telah menjadi akar kemarahan warga kita kepada para penguasa yang seharusnya mengutamakan melayani rakyat.
Selain itu, juga ada permasalahan ekonomi. Seperti yang sudah ramai dibicarakan media, nilai utang luar negeri negara kita saat ini memang begitu tinggi. Bila ditambah dengan narasi ancaman inflasi, tentu isu tersebut akan menjadi topik yang sangat menarik untuk disuarakan para politisi populisme ketika pemilu nanti.
Namun, pertanyaannya adalah, bila permasalahan-permasalahan negara tersebut begitu buruk, mengapa mereka tak pernah kunjung diselesaikan, meskipun rezim kepemimpinan sudah berganti? Apakah ini murni karena para pemimpin kurang mampu, atau ada hal lain yang pantas kita renungkan bersama?
Masalah Harus Selalu Ada?
Sekarang, mungkin kita masuk ke ruang lingkup spekulasi.
Salah satu pertanyaan yang paling sering ditanyakan orang saat berbicara tentang politik adalah, kenapa para politisi tampak sulit sekali menyelesaikan masalah? Terlepas dari ketidakmampuan mereka, ada satu pandangan menarik dari pengamat ekonomi politik Kolombia, Leopoldo Fergusson
Dalam tulisannya, The Need for Enemies, Fergusson menilai bahwa beberapa masalah krusial di suatu negara yang tidak kunjung selesai, seperti tingkat kemiskinan yang stagnan, serta tingginya tingkat korupsi, sebetulnya bukan karena mereka tidak bisa diselesaikan, tetapi justru karena para politisi membutuhkan masalah itu untuk tetap ada. Istilah sederhananya, untuk dijadikan sebagai “saham” dalam pemilihan selanjutnya.
Manajemen masalah seperti ini mungkin umumnya sering dipersepsikan terjadi dalam dunia intelijen dan keamanan. Sebagai contoh, sudah jadi rahasia umum bahwa sejumlah aparat keadilan, khususnya CIA, memiliki informan dan broker yang senantiasa memberi mereka informasi terkait dinamika yang terjadi dalam dunia kriminal. Orang-orang tersebut dibiarkan tetap beraktivitas agar bisa menjadi “gerbang” untuk penyelesaian kasus lain yang mungkin lebih besar.
Logika semacam itu tentu tidak hanya berlaku dalam dunia intelijen saja. Di dalam politik, kalau kita berkaca pada pengamatan Fergusson tadi, masalah-masalah negara pun sebenarnya bisa menjadi modal politik untuk berkampanye. Sederhananya, seperti kita sedang mengerjakan suatu karya ilmiah, tentu karya ilmiah kita tidak akan bisa dikerjakan bila kita tidak mengidentifikasi suatu masalah terlebih dahulu, bukan?
Oleh karena itu, tidak heran sebetulnya mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS), Henry Kissinger pernah mengatakan: “kendalikan minyak, maka kamu kuasai negara. Kendalikan makananan, maka kamu kuasai masyarakat.”
Mungkin, kata “kendalikan” yang dimaksud Kissinger bukanlah hanya tentang solusi, tetapi juga pengendalian masalah.
Meskipun hal ini tidak akan bisa kita pastikan, patut jadi perenungan kita bersama bahwa di negara yang tertimpa ribuan masalah ini, mungkin ada beberapa masalah yang memang sengaja dibiarkan agar roda politik bisa terus berputar. Selain karena alasan politik, tentu bisa kita asumsikan segalanya juga berhubungan dengan tarik ulur bisnis para elite.
Bila memang benar demikian, maka populisme sesungguhnya hanya “topeng teater” belaka. Karena dalam lingkup politik, suara kita hanyalah ibarat susu yang perlu diperah oleh para politisi agar mereka bisa menikmati kenikmatannya.
Namun, pada akhirnya tentu semua ini hanya asumsi belaka. Yang jelas, kalau kita memang ingin terlepas dari siklus mematikan politik populisme, maka kita pun harus menyelesaikan permasalahan-permasalahan negara yang ada. Tapi, kembali lagi, apakah mereka yang berkuasa mau masalah-masalah tersebut diselesaikan? (D74)