HomeNalar PolitikKenapa Politisi Selalu Berbohong?

Kenapa Politisi Selalu Berbohong?

Amerika Serikat (AS) di bawah kepemimpinan Joe Biden dikritik karena dianggap belum lakukan langkah signifikan menepati janji kampanyenya. Di Indonesia, pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga kerap melempar pernyataan yang tidak konsisten. Apakah kemunafikan telah menjadi hal yang lumrah di kalangan politisi?


PinterPolitik.com

Bagi kalian yang senang memperhatikan dinamika politik Amerika Serikat (AS), tentu kalian akan tahu pandangan politik di sana secara garis besar terbagi menjadi dua partai. Partai Republik mewakili kelompok konservatif, dan Partai Demokrat mewakili kelompok liberal.

Dalam sejarahnya, Presiden yang terpilih di AS hampir selalu silih berganti setiap Pemilihan Presiden (Pilpres). Mantan Presiden Donald Trump adalah dari Partai Republik dan Presiden AS yang sekarang, Joe Biden, berasal dari Partai Demokrat.

Setelah satu tahun berkuasa, kritik terhadap kepemimpinan Biden dan Partai Demokrat mulai bermunculan. Salah satunya yang paling menarik adalah video berjudul Liberal Hypocrisy is Fueling American Inequality dari kanal YouTube, New York Times.

Video tersebut pada dasarnya mengatakan, meskipun Partai Demokrat selalu mengkampanyekan aksi progresif seperti reformasi pajak, gerakan ramah lingkungan, dan perumahan yang terjangkau untuk semua lapisan masyarakat, faktanya sampai saat ini belum ada perubahan yang berarti selama mereka berkuasa. Bahkan, wilayah yang didominasi Partai Demokrat justru dinilai sebagai sumber kemunafikan pemerintahan Biden karena masalah yang terjadi di sana tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan untuk diatasi.

Fenomena ini kemudian disebut dengan istilah liberal hypocrisy atau kemunafikan liberal.

Baca Juga: The King of Lip Service, Apa Salahnya?

Di Indonesia sendiri, indikasi tidak konsistenan pernyataan politik bisa dilihat dari beberapa hal, contohnya adalah tentang kebebasan berpendapat. Pemerintah berkali-kali mengatakan mereka antikritik, bahkan menyebut dalam laporan Capaian Kinerja 2021 bahwa indeks kemerdekaan pers membaik, tetapi kenyataannya kita bisa lihat banyak lembaga survei yang menilai kualitas demokrasi Indonesia menurun dalam beberapa waktu terakhir.

Begitu juga dengan janji meredam tingkat deforestasi pada tahun 2030 yang ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada saat menghadiri pertemuan COP26. Tidak lama setelahnya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya Bakar justru membuat pernyataan yang berseberangan dan membuat sejumlah aktivis lingkungan kecewa.

Dari beberapa kenyataan di atas, kita bisa melihat bahwa tidak berbeda dengan AS, pemerintah Indonesia juga kerap inkonsisten dan “berbohong”.

Lantas, apakah ada politisi yang tidak berbohong?

Bohong Jika Tidak Berbohong

Mungkin dalam kehidupan sehari-hari, kita melihat kebohongan sebagai salah satu tindakan yang paling tercela. Umumnya orang beranggapan, siapapun yang berbohong, artinya orang tersebut telah mengkhianati kepercayaan kita. Namun, apakah asumsi seperti itu juga bisa kita gunakan dalam melihat suatu fenomena politik?

David Runciman dalam bukunya yang berjudul Political Hypocrisy:  The Mask of Power from Hobbes to Orwell and Beyond, mengatakan dengan jelas bahwa kemunafikan adalah sifat yang melekat dengan politik. Bahkan, ia melempar sebuah pertanyaan nakal: “hipokrat seperti apa yang akan Anda pilih untuk pemilihan selanjutnya?”

Baca juga :  The War of Java: Rambo vs Sambo?

Runciman mengatakan, meskipun pada dasarnya para politisi mungkin merasa berbohong itu adalah tindakan yang tidak menarik, bahkan mungkin menjijikan, tetapi jika ingin terus berkiprah dalam politik, mereka mau tidak mau harus berbohong. Runciman juga menambahkan, praktik kebohongan politik akan semakin menyebar dan tidak terhindari di suatu negara yang menganut sistem demokrasi.

Berangkat dari situ, Runciman menjelaskan, sebagian besar orang justru malah terjebak dalam perangkap kritik hipokrasi. Jika seseorang hanya terfokus pada menunjuk-nunjuk politisi mana yang telah melakukan kebohongan, maka sesungguhnya ia sendiri telah menjadi hipokrat karena ia tidak mau mengakui bahwa dirinya hidup dalam sistem yang memang melanggengkan kebohongan politik.

Baca Juga: Tidak Mungkin Jokowi Tidak Berbohong?

Dalam artikel berjudul Costello, Brown Inspire Political Theory, Runciman menyebutkan setidaknya kita bisa melihat motif kebohongan politik dengan lebih jelas melalui dua kategori politisi. Yang pertama adalah sincere liars atau pembohong yang tulus. Politisi  tipe ini adalah mereka yang mampu bermain-main dengan kebenaran, tetapi mereka tetap tampak terbuka, dalam arti bahwa mereka memiliki semacam kepribadian politik yang konsisten.

Sederhananya, politisi ini tidak bisa disebut bermuka dua karena mereka tetap menyatakan kebenaran, meskipun parsial. Dan mereka yakin mereka benar dengan menekankan unsur kebenaran yang hanya menguntungkan posisi mereka setiap kali diberi kesempatan untuk mengeluarkan retorika politik.

Kemudian yang kedua adalah truthful hypocrite. Mereka adalah politisi yang sering berusaha menampilkan suatu kebenaran, tetapi mereka sendiri kesusahan dalam berpegang pada idealismenya. Runciman mencotoh politisi tipe ini seperti mantan Wakil Presiden AS, Al Gore, yang seringkali berkampanye tentang pentingnya kesadaran lingkungan dan pemanasan global, tetapi diketahui masih menggunakan kendaraan yang mengeluarkan emisi tinggi.

Politisi truthful hypocrite sejalan dengan fenomena liberal hypocrisy yang dibahas di awal tulisan. Peter Schweizer dalam bukunya Do As I Say (Not As I Do), menyimpulkan mereka yang selalu berusaha menggunakan isu-isu progresif sesungguhnya menjebak dirinya sendiri karena ketika ada isu yang mereka koarkan mulai mengganggu kepentingan dan kelangsungan hidup pribadinya, hampir setiap saat, kata Schweizer, mereka akan meninggalkan idealisme kampanye politiknya.

Sementara itu, para sincere liars juga terrefleksikan melalui sejumlah kasus post-truth. Filsuf kelahiran Kolombia, Eduardo Mendieta dalam tulisannya Rorty and Post-Post-Truth mengatakan post-truth adalah keadaan di mana fakta-fakta obyektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik, oleh karena itu, sejumlah politisi modern lebih memilah sejumlah fakta saja yang sesuai dengan kampanyenya agar dapat menarik emosi dan kepercayaan pribadi masyarakat.

Baca juga :  Pramono dan Candu Dinasti Politik

Lalu, bagaimana kita harus menyikapi kebohongan politisi? Bukankah secara prinsip, berbohong itu salah?

Dunia Tidak Sesederhana Hitam Putih

Berkaca pada pemaparan sebelumnya dan realita politik saat ini, tampaknya sangat naif untuk kemudian mengatakan, bahkan memimpikan, suatu bentuk politik yang bisa dijalankan tanpa adanya kebohongan.

Filsuf ternama Niccolò Machiavelli dalam bukunya The Prince mengatakan, seorang politisi yang menginginkan kekuatan, memimpikan kekuasaan, dan mempertahankannya, harus berani berbuat tidak manusiawi. Dalam mewujudkannya, politisi tersebut harus mengesampingkan moral dan mulai berbohong. Apabila seorang raja bersikap jujur, ia tidak akan mendapatkan kerajaan.

Machiavelli juga mengatakan, seorang penguasa yang bijaksana tidak dapat, dan tidak seharusnya, menepati janjinya ketika situasi dan kondisi untuk melakukan hal tersebut justru dapat merugikannya. Begitu juga ketika alasan yang membuatnya berjanji sudah tidak lagi penting dan relevan untuk diwujudkan. Sederhananya, Machiavelli menyebutkan, seorang penguasa wajib berbohong dalam keadaan tertentu demi menjaga kepentingan negara.

Dia juga menyatakan bahwa meskipun penguasa tersebut tidak memiliki kualitas positif, seperti kejujuran, kepercayaan, simpati, kasih sayang, atau religius, penting baginya untuk terlihat demikian oleh masyarakatnya.

Pandangan Machiavelli tepat untuk kita gunakan dalam mencari jawaban atas hiruk-pikuk kebohongan politisi. Suka atau tidak, kebohongan adalah hal yang sangat alamiah terjadi dalam lingkungan politik. Bahkan, jika kita mengacu kembali pandangan Machiavelli, justru seorang pemimpin harus melakukan kebohongan demi menjaga kestabilan kerajaan atau negaranya.

Baca Juga: Noble Lie, Jokowi Pasti Berbohong?

Secara filosofis, kebohongan politik juga justru dijustifikasi jika kita melihat kembali buku filsuf ternama Yunani, Plato, yang berjudul Republic. Di dalamnya, Plato mengutip perkataan gurunya, Socrates, yang mengatakan alasan sesungguhnya dari mitos publik adalah untuk menjaga harmoni sosial. Mitos ini menghasilkan efek yang baik, membuat masyarakat lebih peduli terhadap negaranya dan satu sama lain. Ini adalah sebuah bentuk noble lie atau kebohongan mulia, sebuah kepalsuan yang muncul karena diperlukan.

Lantas, apa yang dapat kita lakukan sebagai masyarakat biasa?

Kembali mengutip Runciman, ini adalah zaman di mana kita sesungguhnya tidak perlu mencari sosok pemimpin ideal yang tidak pernah berbohong, karena ketidaktepatan janji politik pasti akan terjadi. Justru sebaliknya, kita harus mencoba membedakan antara kebohongan yang berbahaya, dan kebohongan yang justru dapat menciptakan keharmonisan sosial.

Pada akhirnya, tujuan tulisan ini adalah untuk berperan sebagai pegangan pandangan politik semata. Terlepas dari apakah pemerintah saat ini benar-benar melakukan kebohongan berdasarkan tujuan yang mulia atau justru hanya sebagai retorika dalam memproses kebijakan yang lebih tepat, kita harus sadar bahwa kemunafikan politik adalah hal yang benar-benar lumrah terjadi. (D74)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

Narasi kejayaan Nusantara bukan tidak mungkin jadi landasan Prabowo untuk bangun kebanggaan nasional dan perkuat posisi Indonesia di dunia.

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

Menyoal Kabinet Panoptikon ala Prabowo

Pemerintahan Prabowo disebut memiliki kabinet yang terlalu besar. Namun, Prabowo bisa jadi memiliki kunci kendali yakni konsep "panoptikon".

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

Ridwan Kamil dan “Alibaba Way”

Ridwan Kamil usulkan agar setiap mal di Jakarta diwajibkan menampilkan 30 persen produk lokal. Mungkinkah ini gagasan Alibaba Way?

Hype Besar Kabinet Prabowo

Masyarakat menaruh harapan besar pada kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

More Stories

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

Indonesia First: Doktrin Prabowo ala Mearsheimer? 

Sejumlah pihak berpandangan bahwa Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto akan lebih proteksionis. Seberapa besar kemungkinannya kecurigaan itu terjadi?