HomeNalar PolitikKenapa Politik Terlihat “Bodoh”?

Kenapa Politik Terlihat “Bodoh”?

Fenomena politik tentang kompaknya parpol non-parlemen ingin berkoalisi dan ikut Pilpres 2024, dinilai sebagai tindakan yang absurd. Hal ini dikarenakan keinginan tersebut dibatasi oleh aturan yang telah berlaku. Lantas, kenapa tindakan politisi dan parpol kerap terlihat kurang perhitungan? Apakah benar politik membuat kita terlihat “bodoh”?


PinterPolitik.com

Semakin dekat dengan Pemilu 2024, narasi politik silih berganti menghiasi pemberitaan. Salah satu narasi yang menyita perhatian publik adalah partai politik (parpol) non-parlemen yang ingin membentuk koalisi untuk hadapi Pemilu 2024 mendatang.

Terdapat tujuh parpol non-parlemen yang mengumumkan pembentukan koalisi. Meski masih menentukan nama resmi, namun koalisi ini disebut telah solid. Ketujuhnya adalah Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Keadilan dan Persatuan (PKP), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Garuda, dan Partai Berkarya.

Afriansyah Noor, Sekretaris Jenderal PBB, mengatakan terdapat dua nama koalisi yang tengah dipilih, yaitu Partai Parlemen Masa Depan atau Partai Parlemen Nusantara.

Di sisi lain, Ketua Umum Perindo Hary Tanoesoedibjo yang juga merupakan penggagas pertemuan tersebut, memberikan penjelasan bahwa terdapat tiga alasan dari pertemuan parpol non-parlemen ini untuk berkoalisi.

Pertama, pertemuan itu merupakan silaturahim, mengingat parpol tersebut adalah peserta Pemilu 2019. Kedua, dengan jumlah suara yang besar, ketujuh parpol tersebut memutuskan untuk menjadi satu koalisi pencapresan di 2024. Ketiga, Hary menyampaikan ada wacana bahwa koalisi tersebut akan mencoba untuk melakukan uji materiil mengenai ambang batas pencalonan presiden menjadi 0 persen.

Merujuk UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, untuk mencalonkan capres dan cawapres wajib mendapatkan ambang batas atau presidential threshold sebesar 20 persen kursi DPR atau perolehan suara hasil pemilu minimal 25 persen. Artinya, parpol non-parlemen tidak mempunyai kesempatan mencalonkan, meski mereka telah melakukan koalisi untuk mencalonkan capres dan cawapres.

Tentunya, tidak mungkin ketujuh parpol tersebut tidak mengetahui aturan mendasar pencalonan yang dimaksud dalam UU No.7 Tahun 2017. Lantas, mengapa narasi yang terlihat kurang perhitungan ini tetap disuarakan?

Baca juga: Nietzsche, Politik Zaman Now?

Politik Buat Kita “Bodoh”?

Perilaku politisi sulit untuk ditebak, bahkan secara rasional sekalipun. Mungkin argumentasi klasik yang diucapkan filsuf Jerman Immanuel Kant, yaitu sapere aude (beranilah menggunakan akal budi) tidak berlaku dalam melihat tindakan para politisi.

Seolah kecerdasan seseorang tidak dapat digunakan setelah masuk atau terlibat dalam politik. Kalkulasi rasional, mempertimbangkan kategorisasi akal, seperti sebab-akibat, kuantitas, kualitas, bahkan logika seolah sirna ditelan oleh absurdnya dunia politik.

Baca juga :  Menyoal Kabinet Panoptikon ala Prabowo

Ezra Klein dalam tulisannya How Politics Makes Us Stupid, menggunakan beberapa contoh menarik dari penelitian Dan Kahan, profesor dari Yale Law School, yang menunjukkan bahwa keterampilan matematika seseorang menjadi lebih buruk ketika masalah yang mereka hadapi memiliki unsur politik dan bertentangan dengan naluri politik mereka.

Kahan menunjukkan bahwa keberpihakan dalam politik memiliki cara untuk memperpendek kecerdasan. Dalam studinya, ditemukan bahwa orang-orang tidak menggunakan rasionalisasi untuk mendapatkan jawaban yang benar. Mereka baru melakukan rasionalisasi untuk mendapatkan jawaban yang diinginkan. Ada tendensi untuk mencocokkan kenyataan dengan keinginan mereka.

Dari fenomena yang ditemukan, Kahan mengistilahkan peristiwa ini sebagai teori identityprotective cognition.  Sebuah kondisi di mana keharusan psikologis dipilih untuk mempertimbangkan sebuah tindakan. Hal ini akibat cara seseorang untuk menghindari disonansi dan keterasingan dari perjuangan nilai-nilai politik yang diyakini.

Secara psikologis, seseorang individu  akan menolak fakta yang akan mengancam ide-ide yang diyakininya. Karena politik adalah dunia di mana perjuangan ide menjadi faktor penting untuk memperlihatkan eksistensi politik seseorang, psikologi penyangkalan kemudian dilakukan.

Sam Bowmen dalam tulisannya Politics Makes US ‘Stupid’ Because The World is Complex, memberikan istilah rational ignorance (terjemahan bebas: diabaikannya rasionalitas), yaitu sebuah fenomena di mana parpol, konsultan politik, bahkan media menjadi katalisator dari sebuah ekosistem yang menciptakan keengganan para politisi untuk berpikir rasional dalam mengambil keputusan.

Dengan mengutip ekonom John Maynard Keynes, Bowmen mengatakan, seseorang terlihat bodoh bukan karena ia ingin menjadi seperti itu, melainkan lebih karena ketidaksadaran.

Lebih halus, Bowmen mengistilahkan kondisi  ini sebagai seseorang yang berpikir tertutup. Para politisi selalu menyaring informasi dari luar sehingga alternatif informasi lain yang bisa menjadi kebenaran gagal untuk dapat diperoleh. Pikiran tertutup memungkinkaan seseorang menjadi sangat kurang informasi.

Di dunia politik yang kompleks di mana kebenaran sulit ditemukan, bahkan politik yang paling murni pun akan membuat kita menjadi bodoh. Lingkungan politik juga akan mengkooptasi pemikiran kita untuk tertuju pada satu ideologi saja.

Mungkin konsepsi identity-protective cognition dan rational ignorance dapat memberikan kita gambaran kenapa para politisi terkesan melakukan semacam kedangkalan berpikir dalam melakukan tindakan politik.

Lantas, seperti apa kedangkalan ini dihindari sehingga mendapatkan hasil yang lebih positif bagi perilaku politik kita?

Baca juga: Kenapa Politisi Selalu Berbohong?

Parpol Non-Parlemen Perlu Evaluasi?

Reza A.A Wattimena dalam tulisannya Hannah Arendt, Banalitas Kejahatan, dan Situasi Indonesia, menggunakan istilah banalitas (kedangkalan) dari filsuf Hannah Arendt untuk menggambarkan bahwa tidak berpikir  yang dianggap banyak orang sebagai dangkal berbeda sama sekali dengan bodoh.

Baca juga :  Rahasia Kesaktian Cak Imin-Zulhas?

Orang bisa saja amat cerdas, namun tak menggunakan kecerdasannya itu secara maksimal untuk berpikir secara menyeluruh.  Dan karena tak berpikir, ia seringkali tak sadar, bahwa tindakannya  merupakan suatu kedangkalan hingga kejahatan. Maka salah satu hal mendasar yang dibutuhkan untuk menjadi penjahat sebenarnya sederhana, yaitu ketidakberpikiran.

Ketidakberpikiran membuat suatu tindakan menjadi terasa wajar, termasuk tindakan yang tidak masuk akal sekalipun. Hal ini yang menjelaskan pula bahwa kedangkalan pada akhirnya menjauhkan para politisi dari kalkulasi politik yang rasional.

Seharusnya parpol non-parlemen bisa memperlihatkan sebuah paradigma baru dalam konteks politik di Indonesia. Bukannya menampakkan narasi koalisi yang sulit diwujudkan dan terkesan ilusif karena persyaratan konstitusional tidak mengizinkan.

Bisa kita lihat sebagai bahan evaluasi, dari survei Litbang Kompas yang menunjukkan tingkat popularitas parpol baru di Indonesia, yang juga merupakan parpol non-parlemen masih amat rendah atau belum dikenal publik. Selain itu, partai yang sejak tahun 2019 sudah berlaga di Pileg dan statusnya tidak memiliki wakil di parlemen, tingkat elektabilitasnya masih terperosok.

Hasil survei ini harus menjadi cambukan bagi parpol baru dan non-parlemen untuk terus bergerak ke masyarakat agar mereka dikenal oleh khalayak ramai. Sebab, indikator popularitas amat menentukan dalam upaya sebuah parpol memenangi Pileg 2024 mendatang.

Will Kymlicka dalam bukunya Contemporary Political Thought, memandang bahwa persoalan parpol harusnya lebih memperlihatkan kerja nyata bagi masyarakat dibandingkan memperlihatkan ambisi kekuasaannya.

Hal ini menjelaskan para kader partai baru dan non-parlemen harus rajin kampanye dan sosialisasi, sehingga bisa menyaingi parpol lain dalam pesta demokrasi lima tahunan. Dalam makna yang lain, hal ini berarti sosialisasi dan kampanye politik harus lebih bersifat down to earth, dengan maksimalisasi pemenuhan kepentingan rakyat.

Duverger dalam bukunya Sosiologi Politik, melihat potensi parpol non-parlemen sebenarnya kuat jika dapat memainkan peran dengan baik. Citra mereka yang tidak atau belum terlihat buruk karena tidak terlibat langsung dengan institusi pemerintahan menjadi keuntungan tersendiri.

Akhirnya, dapat kita lihat bahwa dalam politik semua hal dapat terjadi, bahkan tindakan yang dianggap “bodoh” sekalipun rupanya memiliki penjelasan yang rasional. Semoga tindakan parpol yang diuraikan di atas punya punya maksud tersembunyi, yang akan menjadi kejutan politik di masa mendatang. (I76)

Baca juga: Jangan Dengar Pernyataan Politisi


spot_imgspot_img

#Trending Article

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).

Prabowo, Kunci Kembalinya Negara Hadir?

Dalam kunjungan kenegaraan Prabowo ke Tiongkok, sejumlah konglomerat besar ikut serta dalam rombongan. Mungkinkah negara kini kembali hadir?

Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

Narasi kejayaan Nusantara bukan tidak mungkin jadi landasan Prabowo untuk bangun kebanggaan nasional dan perkuat posisi Indonesia di dunia.

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

More Stories

Ganjar Punya Pasukan Spartan?

“Kenapa nama Spartan? Kita pakai karena kata Spartan lebih bertenaga daripada relawan, tak kenal henti pada loyalitas pada kesetiaan, yakin penuh percaya diri,” –...

Eks-Gerindra Pakai Siasat Mourinho?

“Nah, apa jadinya kalau Gerindra masuk sebagai penentu kebijakan. Sedang jiwa saya yang bagian dari masyarakat selalu bersuara apa yang jadi masalah di masyarakat,”...

PDIP Setengah Hati Maafkan PSI?

“Sudah pasti diterima karena kita sebagai sesama anak bangsa tentu latihan pertama, berterima kasih, latihan kedua, meminta maaf. Kalau itu dilaksanakan, ya pasti oke,”...