HomeNalar PolitikKenapa Polemik BRIN Begitu Penting

Kenapa Polemik BRIN Begitu Penting

Belakangan ini Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mendapatkan tekanan-tekanan politik. Bagaimana sebenarnya kacamata politik memandang fenomena ini?


PinterPolitik.com

“Ketika politisi mengabaikan ucapan ilmuwan, saat itulah bencana besar terjadi”

Mungkin kalian pernah menemukan akun-akun di media sosial yang mengucapkan kalimat kurang lebih sama dengan di atas.

Yap, setelah film Don’t Look Up menjadi viral pada tahun 2021 lalu, sebagian besar warganet tersadarkan oleh suatu gagasan bahwa jangan-jangan selama ini sejumlah terobosan sains memang terhalangi oleh keputusan politik.

Hmm, walaupun gak bisa kita jawab secara pasti, kecurigaan semacam ini, tidak dipungkiri, pantas untuk kita selidiki.

Di Indonesia sendiri, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) belakangan jadi pusat kecurigaan tersebut. Sentimen negatif terbesar pertama barangkali muncul ketika Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri dipilih menjadi Ketua Dewan Pengarah BRIN. Hal itu jadi perbincangan besar karena sepertinya sebagian besar publik tidak bisa menerima kenyataan bahwa lembaga riset andalan negara “dipimpin” oleh seorang tokoh politik.

Namun, setelah lebih dari satu tahun, permasalahan BRIN ternyata tidak berhenti di pelantikan Megawati saja.

Pada Desember 2022 lalu misalnya, BRIN sempat disoroti publik karena salah satu penelitinya menyebutkan akan ada badai ekstrem yang melanda Kota Jakarta, hal tersebut berbanding terbalik dengan pernyataan dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Dan ternyata, hujan yang terjadi pada saat itu memang hanya hujan deras biasa.

Lalu, belakangan ini, BRIN kembali menjadi buah bibir publik setelah Kepala-nya, Laksana Tri Handoko, didesak mundur dari jabatan oleh Komisi VII DPR RI saat menjalani rapat kerja bersama BRIN pada 30 Januari 2023 silam. Dorongan tersebut muncul setelah pihak DPR mempertanyakan anggaran total Rp6,38 triliun yang 4 triliunnya disebut full dipakai untuk operasional belanja kepegawaian.

Tidak hanya mengkritisi itu, DPR juga menyinggung permasalahan lainnya seperti persoalan peringatan tsunami, sampai kinerja Handoko yang dinilai tidak maksimal.

Seperti yang pernah dibahas dalam artikel PinterPolitik berjudul Mengenal Panggung Panggung dalam Politik, hampir bisa dipastikan bahwa hampir setiap fenomena politik yang muncul memiliki apa yang disebut sebagai panggung belakang, tengah, dan depan, artinya, polemik yang muncul menyimpan tujuan politik terselubung yang mungkin tidak disadari banyak orang.

Karena persoalan yang ditimpakan pada BRIN sifatnya tampak politiis, maka berdasarkan pandangan di atas, sepertinya kita juga perlu pertanyakan, kenapa sebenarnya BRIN belakangan ini tampak “diserang”?

image 44

Sedang Ada Tarik Ulur Kepentingan?

Salah satu “fitur” utama yang jadi sorotan dalam gunjang-ganjing dorongan pencopotan Kepala BRIN adalah ketidaksesuaian antara anggaran yang digelontorkan oleh BRIN dan realisasinya, contohnya adalah kritik yang dilontarkan Sartono Hutomo, anggota Komisi VII DPR RI Fraksi Demokrat, yang menilai Handoko tidak menjalankan sejumlah program masyarakat di bawah BRIN.

Terkait hal itu, Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP, Hasto Kristiyanto memiliki respons yang menarik, sekaligus menjadi pembuka dari argumen di tulisan ini.

Baca juga :  Hype Besar Kabinet Prabowo

Hasto mengatakan bahwa dorongan yang begitu kuat dari DPR untuk mencopot Handoko dari jabatannya sebagai Kepala BRIN muncul karena masing-masing anggota dewan memiliki program di daerah pemilihan (dapil)-nya, sedangkan BRIN memiliki keterbatasan anggaran. Ini tentu sejalan dengan yang diucapkan Sartono terkait program-program masyarakat di bawah BRIN yang menurutnya tidak dijalankan.

Meskipun kita tidak bisa semata-mata setuju pada pernyataan Hasto di atas, kita bisa menemukan beberapa petunjuk yang memperlihatkan bahwa beberapa permasalahan yang berkaitan dengan anggaran di Indonesia sepertinya dirumitkan dengan adanya unsur politik anggaran.

Profesor Administrasi Publik dari Universitas Gadjah Mada, Wahyudi Kumorotomo dalam publikasinya Politics of Budgeting in Indonesia: A Quest for Transparency and Accountability, menyebutkan masalah utama yang sedari dulu menjangkit persoalan anggaran di Indonesia adalah akuntabilitas anggaran.

Transparansi anggaran dari tahun ke tahun memang meningkat, tapi persoalan selanjutnya adalah bagaimana anggaran itu akhirnya dikucurkan, sampai pada unsur “timbal balik” yang diharapkan dari para pemberi izin anggaran.

Terlebih lagi, dinamika yang terjadi dalam politik anggaran memiliki sifat yang begitu kompleks.

Carlos Santiso dalam tulisannya Understanding the Politics of the Budget: What Drives Change in the Budget Process?, mengatakan bahwa mengacu dari sejumlah studi yang diambil di negara-negara berkembang, persoalan anggaran negara umumnya lebih bersifat ke proses politik ketimbang persoalan teknis.

Sebagai penyederhanaannya, suatu instansi yang direncanakan akan dapat anggaran besar bisa jadi merupakan hasil perundingan para “pemegang kekuasaan” yang melihat bahwa instansi tersebut akan menghasilkan keuntungan yang besar, baik secara personal atau kelompok.

Santiso juga mengatakan, tidaklah mungkin untuk memisahkan persoalan anggaran teknis dari tata kelola politik yang lebih luas, yang diperlukan untuk membuatnya bekerja, karena pada ujung-ujungnya semua hal dalam pemerintahan mengacu pada sistem politik yang tertanam.

Dari sisi lain, suatu terobosan atau program saintifik yang efektif adalah program yang sehat secara teknis, memungkinkan secara administratif, dan “layak” secara politik.

Oke, sekarang kita coba bawa pandangan di atas ke persoalan yang bisa saja jadi akar sejumlah polemik di BRIN.

Kalau memang anggaran yang diberikan pada suatu instansi diharapkan dapat memberikan para pemegang kekuasaan sebuah keuntungan, maka keuntungan yang dimaksud tidak hanya secara ekonomi, tapi sepertinya juga keuntungan politik.

Kembali mengacu pada apa yang dikatakan Hasto, kalau benar dorongan yang diberikan pada BRIN memang berkaitan dengan dapil dari para anggota legislatif, maka pandangan yang muncul adalah seharusnya program-program yang tidak terealisasi tadi dapat menjadi semacam “pemuas” bagi sejumlah kantong suara di dapil-dapil terkait. Terlebih lagi, waktu menuju pesta demokrasi terbesar Indonesia hanya tinggal sebentar lagi.

Tentu, ini hanya interpretasi belaka. Di lain sisi, sebenarnya wajar bila anggapan di atas dijawab dengan kalimat semacam “sudah seharusnya instansi negara berkontribusi pada dapil, karena mereka juga bagian dari rakyat”.

Baca juga :  Menguji "Otot Politik" Andika Perkasa

Namun, pandangan seperti itu sebenarnya cukup berbahaya. Mengapa demikian?

image 45

“Jiwa” Sains BRIN Dipertaruhkan?

Sudah sepantasnya suatu lembaga riset negara seperti BRIN mampu memberikan terobosan-terobosan teknologi yang bermanfaat bagi masyarakat.

Tidak dipungkiri, sebagian besar lapisan rakyat Indonesia mungkin memiliki kecemburuan dengan beberapa lembaga riset di negara lain yang berhasil menjadikan negara mereka sebagai negara yang maju secara teknologi.

“Orang lain sudah bisa ke bulan, kita masih saja di sini,” katanya.

Namun sayang, perkembangan teknologi di sejumlah negara memang kenyataannya kerap berbenturan dengan sesuatu yang disebut politik.

CEO sekaligus pendiri Tesla, Elon Musk, pernah membuat opini yang sangat menarik tentang perkembangan teknologi. Ia membantah pendapat mayoritas orang yang menilai perkembangan teknologi sebagai sesuatu yang terjadi secara natural.

Menurutnya, hal yang terjadi justru sebaliknya, perkembangan teknologi tidak akan terjadi tanpa keinginan dan kebebasan manusia untuk melakukan inovasi.

Musk mencontohkannya dengan perkembangan teknologi antariksa. Ketika tahun 1969, umat manusia mampu mendaratkan dirinya di Bulan. Akan tetapi, sejak akhir era Perang Dingin kita tidak pernah lagi mengirim manusia ke bulan.

Penulis asal AS, Jeremy Jenkins dalam serial bukunya Left Behind menyebut fenomena seperti ini dengan istilah technological regression atau kemunduran teknologi. Konsep ini berlaku sebagai antitesis dari teori dataisme yang ditulis Yuval Noah Harari dalam bukunya Homo Deus.

Kita tahu bahwa perlombaan antariksa adalah sesuatu yang terdorong akibat adanya persaingan politik antara Uni Soviet dan AS. Ketika dorongan tersebut sudah tidak ada, karena AS memenangkan Perang Dingin, perkembangan teknologi antariksa pun menurun. Secara rasional, kita bisa artikan ini terjadi akibat para politisi sudah tidak lagi memandang penting perlombaan antariksa

Dari pandangan ini, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa seharusnya jika kita memang ingin memajukan kapabilitas inovasi dan teknologi suatu negara, maka negara tersebut pun harus berkomitmen untuk memiliki standar yang jelas dalam membatasi masuknya kepentingan politik dalam aktivitas inovasi.

Yang terjadi bila kita kerap membaurkan perkembangan teknologi dengan keperluan politik adalah teknologi tersebut akhirnya hanya dianggap perlu jika memang memiliki manfaat politik yang sudah jelas. Padahal, tidak semua inovasi memiliki implementasi bermanfaat yang langsung bisa dirasakan oleh masyarakat, bisa jadi, ada sejumlah perkembangan dan temuan-temuan tambahan yang diperlukan membuatnya memberikan “impact” yang nyata.

Akhir kata, kalau dugaan-dugaan di atas memang benar, bahwa perkembangan BRIN sepenuhnya bergantung pada keseimbangan keperluan politik, maka ke depannya, kalau memang Kepala BRIN akhirnya dicopot, maka bisa saja penggantinya adalah orang yang dipandang bisa lebih ahli dalam berinteraksi dengan keperluan sejumlah pemegang kepentingan, bukan orang yang benar-benar bisa membenahi riset dan inovasi di Indonesia.

Kita harap saja hal ini tidak sepenuhnya benar. (D74)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

Narasi kejayaan Nusantara bukan tidak mungkin jadi landasan Prabowo untuk bangun kebanggaan nasional dan perkuat posisi Indonesia di dunia.

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

Menyoal Kabinet Panoptikon ala Prabowo

Pemerintahan Prabowo disebut memiliki kabinet yang terlalu besar. Namun, Prabowo bisa jadi memiliki kunci kendali yakni konsep "panoptikon".

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

Ridwan Kamil dan “Alibaba Way”

Ridwan Kamil usulkan agar setiap mal di Jakarta diwajibkan menampilkan 30 persen produk lokal. Mungkinkah ini gagasan Alibaba Way?

Hype Besar Kabinet Prabowo

Masyarakat menaruh harapan besar pada kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

More Stories

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

Indonesia First: Doktrin Prabowo ala Mearsheimer? 

Sejumlah pihak berpandangan bahwa Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto akan lebih proteksionis. Seberapa besar kemungkinannya kecurigaan itu terjadi?