Dalam sejumlah isu, pemerintah kerap kali salahkan masyarakat dalam suatu krisis. Rakyat seakan menjadi pihak yang bertanggung jawab sepenuhnya tiap terjadi permasalahan besar. Apakah pemerintah terlalu tidak berdaya menangani krisis?
PinterPolitik.com
Berangkat dari kilas balik krisis maupun permasalahan besar negara, pemerintah berulang kali menunjukkan pola manipulasi bahwa semua masalah terjadi karena kesalahan rakyat. Ketika pemerintah tidak mampu untuk menangani lonjakan kasus Covid-19, lantas Satgas Penanganan Covid-19 menumpahkan kesalahan tersebut kepada perilaku masyarakat.
Adapun ketika negara dilanda lonjakan harga minyak goreng yang melambung tinggi, pemerintah salahkan masyarakat yang melakukan panic buying dan penimbunan minyak goreng. Padahal, ini merupakan bentuk kegagalan pemerintah menjamin ketersediaan bahan pokok.
Baru-baru ini negara sedang menghadapi masalah kebocoran kenaikan BBM dan data pribadi yang memicu kekecewaan masyarakat kepada pemerintah. Lagi-lagi, pemerintah salahkan pemilik mobil pribadi yang menggunakan BBM subsidi berupa pertalite dan solar dan masyarakat yang tidak rutin ganti password.
Bahkan, ini diperparah dengan pernyataan Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika (Ditjen Aptika) Kominfo, Semuel Abrijani yang salahkan hacker. Dilansir dari Suara.com, Ia memberi pesan kepada Bjorka, “Kalau bisa jangan menyerang. Tiap kali kebocoran data yang dirugikan ya masyarakat, kan itu perbuatan illegal access.”
Bukti-bukti tersebut menunjukkan pola manipulasi pemerintah yang terus-menerus salahkan masyarakat ketika dilanda isu besar. Kenapa hal ini bisa terjadi?
Hukum Ada Untuk Rekayasa Sosial
Sebelum masuk ke pembahasan, penting bagi kita untuk punya persepsi yang sama melalui sebuah teori yang disebut law as tool of social engineering atau hukum sebagai alat rekayasa sosial, yang dipopulerkan ahli hukum bernama Roscoe Pound.
Roscoe Pound merupakan seorang ahli hukum yang menganalisis yurisprudensi dan metodologi ilmu-ilmu sosial. Yurisprudensi itu sendiri diartikan sebagai keputusan hakim terhadap perkara yang tidak diatur dalam Undang-Undang yang selanjutnya digunakan sebagai pedoman untuk penyelesaian kasus atau perkara yang sama.
Yurisprudensi ini fokus kepada kepentingan sosial sehingga hukum dapat berkembang. Pada akhirnya Ia berusaha untuk membagi-bagi kepentingan yang dalam hukum antara lain kepentingan umum, kepentingan masyarakat, dan kepentingan pribadi. Kontrol sosial digunakan sebagai mengendalikan sifat manusia. Kontrol sosial dianggap sangat diperlukan untuk menaklukkan lingkungan fisikal.
Kontrol sosial ini selanjutnya akan berhubungan dengan hukum yang mana merupakan suatu bentuk khusus dari kontrol sosial. Hukum dilaksanakan melalui badan khusus dengan mengacu pada ajaran yang otoritatif serta diterapkan dalam konteks dan proses hukum.
Selain itu, Pound juga melihat hukum sebagai alat untuk melakukan rekayasa sosial (social engineering). Inti dari teori yang ingin dijelaskan Pound terletak pada kepentingan di mana sistem hukum telah mencapai tujuannya ketika kepentingan tersebut sudah diakui, namun dengan batasan pengakuan dan aturan yang dikembangkan. Hukum itu selanjutnya diterapkan oleh peradilan sehingga berdampak positif.
Pada dasarnya pemerintah telah memiliki otoritas, sumber daya, dan kekuatan yang begitu besar untuk mengatur masyarakat. Pemerintah dapat mengerahkan segala kekuatan dan pengaruhnya untuk melakukan langkah penanggulangan (termasuk juga pencegahan) terhadap masalah yang dihadapi. Bahkan ada kekuatan polisi dan tentara yang hanya dimiliki oleh pemerintah.
Langkah penanggulangan seharusnya dapat dilakukan secara tegas, sistematis, dan terukur. Pemerintah juga perlu menerapkan kebijakan yang berbasis data. Pemerintah seharusnya tidak hanya menggunakan pengaruhnya untuk merekayasa masyarakat, bukan justru membuat pernyataan yang salah.
Sebaiknya proses pencegahan dan penanggulangan masalah maupun krisis direncanakan dengan konsep kebijakan berbasis bukti atau evidence-based policy (EBP). Menurut The Pew Charitable Trust dan Mac Arthur Foundation (2014), konsep EBP diartikan sebagai suatu kebijakan yang didasari dengan penelitian dan informasi yang ada untuk menghasilkan program untuk memandu keputusan pada seluruh tahapan proses kebijakan dan seluruh cabang pemerintahan.
Pemerintah dapat menganalisis kebijakan apa yang berhasil dan mengidentifikasi kesenjangan yang dapat berpengaruh kepada efektivitas program. Konsep EBP dapat berfungsi untuk mengurangi pemborosan anggaran, membuat program yang inovatif, dan mewujudkan akuntabilitas. Ini karena EBP merupakan konsep yang dapat memungkinkan pembuat kebijakan (pemerintah) untuk menggunakan data maupun informasi dalam anggaran dan proses pengambilan keputusan kebijakan. Konsep ini dapat memantau implementasi kebijakan dan mengukur keberhasilannya sehingga program yang ada dapat dikembangkan dan meningkatkan kinerja.
Lantas, mengapa pemerintah justru salahkan rakyat ketimbang menunjukkan aksi nyatanya untuk menyelesaikan masalah?
Ketidakberdayaan Pemerintah, Politics of Blame
Konsep selanjutnya yang dapat berhubungan dengan rekayasa sosial diamati melalui sikap pemerintah yang terkesan defensif.
Layaknya seorang manusia, pemerintah memiliki perasaan tidak berdaya ketika menghadapi masalah yang berada di luar kendali. Ketakutan adalah emosi kita yang paling awal dirasakan. Reaksi kita terhadap situasi yang menakutkan adalah dengan memproyeksikan sifat tersebut kepada pihak yang ditakuti (masyarakat). Perasaan takut dan kecenderungan untuk mengendalikan orang lain akan tetap ada.
Ini artinya pemerintah menunjukkan bahwa mereka memiliki rasa takut dan tekanan yang akhirnya memicu rasa panik hingga memproyeksikannya kepada kesalahan orang lain. Akhirnya, mereka menaruh kesalahan tersebut kepada orang lain (masyarakat).
Ketika dihadapkan dengan masalah yang nyata dan sulit untuk menghindari kegagalan, pemerintah terdorong untuk saling menyalahkan. Pada kasus kebocoran data SIM Card, bukan hanya masyarakat yang disalahkan tetapi juga hacker. Ini adalah contoh yang tidak masuk akal. Hal yang serupa juga dapat dilihat dari kasus Covid-19 dimana sulit sekali untuk tidak menemui kegagalan kebijakan publik. Dengan demikian, pemerintah sebisa mungkin menghindari kesalahan dan mempertahankan diri.
Pemerintah cenderung termotivasi untuk menghindari kegagalan ketimbang mengklaim pujian atas keberhasilannya. Ini dikarenakan publik yang memiliki bias negatif yang kuat. Pujian hanya bersifat sebentar, berbeda dengan kegagalan yang kuat.
Pemerintah dapat menjadikan kegagalan sebagai dasar dari penyusunan agenda untuk proses pengambilan keputusan maupun formulasi kebijakan, pengkambinghitaman, pemborosan anggaran, dan sebagainya. Jadi, sebenarnya politics of blame bukan hanya dapat menargetkan masyarakat saja, tetapi suatu lembaga pun dapat menjadi target.
Jika salah satu target politics of blame adalah rakyat, apakah rakyat tidak dapat bersalah?
Apakah Rakyat Selalu Benar?
Terkadang perkataan yang dilontarkan pemerintah maupun individu dapat memberikan arti yang berbeda untuk setiap orang. Akibatnya, kita dapat salah mencerna argumen yang disampaikan.
Jika pemahaman kita mengenai suatu argumen ternyata kurang dalam beberapa hal, ini menjadi hal yang wajar bagi seseorang untuk merasa malu atau bersalah. Kritik serta perasaan bersalah yang menyertainya memicu ilusi bahwa argumen logis yang kompleks telah ditawarkan, menyiratkan bahwa siapa pun yang gagal dibujuk olehnya sama sekali gagal untuk memahami.
Di samping itu, akuntabilitas terhadap isu yang terjadi diperlukan agar masyarakat dapat menilai dengan cermat implementasi kebijakan yang sedang berjalan. Tentunya pemerintah bukan hanya fokus terhadap data dan informasi, tetapi juga perlu fokus untuk mengevaluasi kebijakan yang sudah berjalan. Ini lah yang membedakan akuntabilitas dan transparansi dimana pemerintah perlu juga menunjukkan tanggung jawabnya.
Berdasarkan argumen sebelumnya, konsep rekayasa sosial dapat dijadikan alasan pemerintah untuk salahkan masyarakat. Alih-alih berusaha untuk merancang pencegahan maupun penanggulangan masalah berdasarkan data dan informasi, pemerintah justru bersikap defensif.
Kembali pada teori law as tool of social engineering, Pound menganggap hukum bagaikan seorang insinyur yang memformulasikan kebijakan. Hukum merepresentasikan pengalaman, formulasi saintifik, dan pengembangan logika untuk menciptakan suatu produk (kebijakan).
Pernyataan Pound merujuk kepada sosial yang berarti sekelompok individu yang kemudian berbentuk masyarakat. Kata ‘produk’ merujuk pada suatu alat yang dapat memenuhi semua kebutuhan masyarakat. Layaknya seorang insinyur, produk tersebut memerlukan eksperimen lanjutan yang artinya suatu kebijakan harus selalu dievaluasi.
Ini menunjukkan bahwa pemerintah adalah pencipta produk (kebijakan) tersebut sekaligus pihak yang bertanggung jawab terhadap kondisi sosial. Dengan demikian, karena rakyat hanya menjalankan “desain sosial” yang dibuat pemerintah, maka sejatinya rakyat sebenarnya tidak bisa disalahkan.
Sebagai penutup, langkah yang dapat kita lakukan jika pemerintah menyalahkan rakyat adalah dengan meminta akuntabilitas pemerintah dan transparansi data maupun informasi yang berkaitan dengan kebijakan sehingga publik dapat menilai secara objektif terkait implementasi kebijakan. (Z81)