Telah lama beredar isu bahwa Gibran Rakabuming Raka akan diusung PDIP di Pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Jika isu itu benar, kenapa PDIP mengusung Gibran di DKI, bukannya di Jawa Tengah (Jateng)?
PinterPolitik.com
“Perang adalah bagian dari strategi adaptif yang terhubung dengan kondisi-kondisi teknologi, demografi, dan ekologi.” – Marvin Harris, antropolog Amerika Serikat
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno memiliki pandangan menarik soal isu majunya Gibran Rakabuming Raka di Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta. Menurut Adi, jika bicara potensi kemenangan, Gibran seharusnya diusung di Jawa Tengah (Jateng), bukannya DKI Jakarta. “Kalau di Jateng, Gibran ini tidur saja pasti menang,” ungkap Adi pada 25 Juni 2022 lalu.
Hampir setahun setelahnya, Adi kembali mengulang pernyataan serupa. “Tanpa mendahului kehendak Tuhan, tidur saja Gibran bisa menang di Jateng ketimbang di Jakarta yang dipenuhi semak belukar politik yang selalu memberikan kejutan tak terduga. Banyak orang kuat kalah,” ungkap Adi pada 20 Januari 2023.
Adi memberikan tiga alasan di balik kesimpulannya. Pertama, seperti diketahui bersama, Jateng adalah kandang banteng alias basis massanya PDIP. Kedua, elektabilitas Gibran meningkat sejak menjadi Wali Kota Solo. Ketiga, Gibran dapat didukung oleh Gubernur Jateng saat ini, Ganjar Pranowo.
Bertolak dari poin-poin Adi, itu membuat kita mengajukan satu pertanyaan. Jika potensi menang jauh lebih besar di Jateng, kenapa Gibran ingin diusung PDIP di DKI Jakarta?
Akhir-akhir ini, isu majunya Gibran semakin kuat setelah Sekretaris DPD PDIP Jakarta Gembong Warsono menyebut namanya berpotensi diusung PDIP di Pilgub DKI Jakarta 2024.
Selain Gibran, Gembong menyebut tiga nama lainnya, yakni Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Abdullah Azwar Anas, dan mantan Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi.
Bukti Tajamnya Tanduk Banteng
Bukti tajamnya tanduk banteng di Jawa Tengah dapat kita lihat pada Pilgub Jateng 2013. Saat itu PDIP mengusung Ganjar Pranowo untuk menjadi lawan petahana, Bibit Waluyo yang disebut-sebut begitu berpengaruh.
Rahmat Sahid dalam bukunya Puan Maharani Matang dalam Kerja Keras Politik, memberikan ulasan menarik di balik kemenangan Ganjar atas Bibit. Kala itu, berbagai pihak menaruh tanda tanya besar terkait keputusan PDIP mengusung Ganjar.
Pasalnya, sebagai petahana, survei menunjukkan Bibit memiliki popularitas sebesar 77%. Ini jauh dari Ganjar yang saat itu hanya memiliki popularitas sebesar 6,3%. Melihat bacaan survei, bahkan terdapat media yang menyebut PDIP “bunuh diri” karena tidak mencalonkan Wakil Gubernur Jateng Rustriningsih yang memiliki popularitas sebesar 40,6%.
Namun, analisis di atas kertas tersebut gugur. Sejarah mencatat pemenangnya adalah Ganjar Pranowo dan Heru Sudjatmoko.
Lalu, bagaimana kemenangan itu mungkin?
Rahmat Sahid menyebutnya sebagai bukti kekuatan mesin partai PDIP. Survei popularitas itu dirilis pada Oktober 2012 dan Pilgub Jateng dilaksanakan pada 26 Mei 2013. Artinya, hanya dalam waktu kurang lebih tujuh bulan, Ganjar menjadi begitu dikenal oleh masyarakat Jateng.
Sahid menjelaskan secara rinci strategi pemenangan PDIP. Pada bagan Tim Pemenangan Pilgub Jateng, terdapat tiga Komandan Tempur (Danpur), yakni Danpur Komunitas, Danpur Struktural, dan Danpur Gorong-gorong.
Danpur Komunitas bertugas mengatur aktivitas kampanye Ganjar-Heru. Fokus kegiatannya mengunjungi dan menyapa (blusukan) komunitas-komunitas di Jawa Tengah. Danpur ini juga bertanggung jawab menyebar setiap aktivitas kampanye dan blusukan di media massa dan media sosial.
Danpur Struktural bertugas menggerakkan seluruh elemen struktur partai, termasuk di dalamnya pengelolaan logistik dan atribut kampanye. Mereka juga bertugas untuk meng-upgrade tingkat popularitas dan tingkat elektabilitas Ganjar-Heru.
Sementara, Danpur Gorong-gorong bertugas mengkoordinasi jaringan non-kepartaian. Mengingat cakupan wilayah yang sangat luas, tim Gorong-gorong menambal celah-celah yang tidak tergarap secara optimal. Danpur ini juga berperan sebagai satuan intelijen yang menyuplai informasi strategis pemenangan.
Tidak hanya membentuk tim pemenangan, PDIP juga melibatkan seluruh kadernya di struktural partai, kader di eksekutif, dan di legislatif. Ini disebut dengan Tiga Pilar Partai.
Sebagaimana dirinci Rahmat Sahid, mesin partai PDIP sangatlah tangguh dan tidak perlu diragukan lagi. Inilah alasan kenapa Adi Prayitno secara satir menyebut “Gibran tidur saja bisa menang” di Jateng.
Lantas, dengan adanya kalkulasi kemenangan yang dapat dikatakan pasti, lalu kenapa Gibran justru didorong ke DKI-1? Seperti pernyataan Adi, bukankah PDIP seperti bertaruh jika mengusung Gibran di ibu kota?
Perluas Kandang Banteng?
Kita dapat menemukan jawabannya pada sejarah penaklukan umat manusia, yakni memperluas wilayah. Membaca sejarah kerajaan ataupun kolonisasi Eropa, kita melihat terdapat kecenderungan untuk memperluas wilayah dan menjadikan wilayah musuh sebagai wilayahnya. Alasannya adalah kontrol politik dan kekayaan.
Salah satu antropolog Amerika Serikat (AS) yang paling berpengaruh, Marvin Harris, dalam bukunya Cows, Pigs, Wars, and Witches: The Riddles of Culture, menyebut perang bukanlah hasrat kebinatangan tak terpahami sebagaimana yang menjadi asumsi umum selama ini, melainkan bagian dari strategi bertahan hidup (survival) manusia.
Menurut Harris, perang atau penaklukan selalu berkaitan dengan persoalan ekonomi, ekologi, dan sumber daya, khususnya pangan. Ini tidak sekadar memenuhi hasrat atas perluasan wilayah, melainkan juga dorongan untuk memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan golongan.
Baik kerajaan dan kekaisaran kuno, hingga negara modern, semuanya memiliki rasionalisasi yang sama. Mereka harus menjaga kehidupan wilayahnya. Untuk kepentingan itu, perlu dilakukan penaklukan wilayah lain untuk memperkaya sumber daya sekaligus memperkuat pengaruh politik.
Mengutip ilmuwan politik AS John Mearsheimer, suatu negara mestilah mempertahankan status hegemoninya. Untuk mempertahankan status itu, suatu negara akan memperluas dan memperdalam cengkeramannya terhadap negara lain. Di era modern, bentuknya mungkin tidak lagi seperti kolonisasi, melainkan penaklukan secara pengaruh politik – umumnya diikat oleh tekanan dan perjanjian ekonomi.
Pada kasus PDIP, kita dapat menemukan gambaran serupa. Kita perlu membayangkan PDIP seperti kerajaan, kekaisaran, atau negara yang ingin memperkuat pengaruhnya. PDIP ingin memperluas kandang banteng.
Dengan fakta PDIP sudah sangat kuat di Jateng, untuk apa mereka mengusung anak Presiden yang masih berkuasa di sana? Rasionalnya, mereka akan mengirim tentara terbaik untuk menaklukkan wilayah dengan sumber daya luar biasa yang belum dikuasai. Dan itu adalah DKI Jakarta.
Membahas Gibran tentu tidak terlepas dari sosok Presiden Joko Widodo (Jokowi). Seperti yang terlihat, status Gibran sebagai anak Presiden yang masih berkuasa membuatnya menjadi magnet politik. Ketika maju di Pemilihan Wali Kota Solo 2020, Gibran sampai hampir melawan kotak kosong karena semua partai mengusungnya.
Nah, dengan dilaksanakannya pemilu serentak pada 2024, dukungan politik (political endorsement) Presiden Jokowi tentu adalah intan permata. Berbagai partai politik dan politisi akan memperebutkannya. Sebagai syarat tak tertulis untuk mendapatkan dukungan itu, berbagai aktor politik sekiranya memahami bahwa mereka perlu mendukung Gibran jika nantinya benar-benar maju.
Dengan kata lain, tidak seperti kata Adi Prayitno, PDIP mungkin tidak benar-benar bertaruh dengan mengusung Gibran di DKI Jakarta. Terdapat kalkulasi dukungan politik Presiden Jokowi, serta keinginan partai banteng untuk memperkuat dan memperluas pengaruh politiknya. Sebagai pusat politik dan ekonomi, DKI Jakarta adalah wilayah yang sangat menggiurkan. (R53)