Meskipun tidak dijagokan berbagai pihak karena elektabilitasnya rendah, PDIP nyatanya tetap ingin mengusung Puan Maharani di Pilpres 2024. Selaku partai besar dan paling berkuasa saat ini, sulit membayangkan PDIP tidak memiliki kalkulasi rasional di baliknya. Lantas, mengapa Puan diusung?
“The voice of the people has been said to be the voice of God; and, however generally this maxim has been quoted and believed, it is not true to fact.” – Alexander Hamilton, Founding Father Amerika Serikat
Bau-bau pencalonan Puan Maharani sebagai kandidat di pemilihan presiden (pilpres) setidaknya sudah tercium sejak 2011. “Banyak kelebihan yang dimiliki Mbak Puan sehingga dia layak menjadi calon presiden untuk merebut posisi kepala negara,” ungkap Sekretaris PDIP Jawa Tengah Agustina Wilujeng pada 5 Januari 2011 silam.
Namun, roda nasib berkata lain. Pada Pilpres 2014 dan 2019, nama Puan absen di panggung kontestasi. Setelah lama menunggu, Pilpres 2024 tampaknya menjadi momen sang Ketua DPR untuk menjadi kandidat — entah sebagai capres maupun cawapres.
Sejauh ini, Puan disebut akan dipasangkan dengan tiga sosok, yakni Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, Panglima TNI Andika Perkasa, dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Melihat perkembangan isunya, dua nama pertama menjadi hal yang sekiranya paling mungkin.
Baca Juga: Andika-Puan, Duet Maut yang Dinanti?
Dengan berbagai kontroversi yang ada, seperti diduga terlibat kasus korupsi, mematikan mikrofon, hingga isu politik dinasti, berbagai pihak menaruh tanda tanya, mengapa PDIP terlihat ngotot ingin mengusung Puan?
Dan yang terpenting, hingga saat ini elektabilitas Puan juga kerap berada di posisi buncit. Di benak publik sekiranya satu, mengapa PDIP tidak mengusung Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang memiliki elektabilitas tinggi? Bukankah mengusung Ganjar adalah pilihan rasional?
Seperti pernyataan Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, PDIP merupakan partai rasional yang melihat dan membaca realitas elektabilitas, tren, dan kemungkinan terbesar kemenangan. Jika pernyataan Pangi benar, lantas mengapa PDIP mengusung Puan yang elektabilitasnya di bawah Ganjar?
Sejarah Telah Membuktikan
Terkait isu-isu miring di sekitar Puan, berbagai pihak tentu menaruh sinisme, bagaimana mungkin PDIP mengusung sosok kontroversial. Namun, sayangnya, sejarah telah membuktikan bahwa status kontroversi bukanlah halangan untuk maju di gelaran pilpres.
Wiranto, misalnya, meskipun begitu kontroversial ketika menjadi Panglima TNI di era Orde Baru, nyatanya ia maju di Pilpres 2004 sebagai capres setelah menang di konvensi Partai Golkar. Tidak hanya sekali, pada Pilpres 2009 Wiranto juga maju bersama Jusuf Kalla (JK) sebagai cawapres.
Prabowo yang namanya kerap bertengger di posisi satu survei elektabilitas juga merupakan sosok kontroversial. Mantan Danjen Kopassus ini disebut terlibat pelanggaran HAM di era Orde Baru, yang mana membuatnya sempat tidak diizinkan masuk ke Amerika Serikat (AS).
Jika Wiranto hanya maju dua kali, Prabowo maju sebanyak tiga kali. Pada Pilpres 2009 maju bersama Megawati sebagai cawapres. Kemudian, pada Pilpres 2014 dan 2019, Ketum Gerindra itu maju sebagai capres.
Stephan Lewandowsky dalam tulisannya Why people vote for politicians they know are liars dapat kita gunakan sebagai jawaban atas keganjilan tersebut. Dalam penelitiannya, Lewandowsky menemukan bahwa para pemilih di AS begitu responsif untuk mengoreksi kesalahan informasi dari kandidat.
Namun, menariknya, langkah responsif tersebut tidak memiliki hubungan dengan pembaruan keyakinan mereka terhadap sang kandidat. Dengan kata lain, dukungan tetap stabil tidak peduli seberapa banyak orang menyadari pernyataan sang kandidat tidak akurat.
Meskipun spesifik membahas perilaku pemilih di AS, temuan Lewandowsky sekiranya dapat digeneralisir untuk menjelaskan mengapa kandidat yang terbukti begitu kontroversial tetap mendapat dukungan luas dari masyarakat. Kasus Wiranto dan Prabowo membuktikan hal ini.
Pun demikian dengan Puan Maharani. Dengan sekelumit kontroversi, faktanya, Puan meraih suara tertinggi nasional di Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019 dengan 404.034 suara.
Baca Juga: Prabowo Kalah Karena Kurang “Jawa”?
Temuan Lewandowsky ini semakin terlihat relevansinya jika kita melakukan elaborasi dengan budaya Jawa. Fahri Hamzah dalam bukunya Buku Putih: Kronik Daulat Rakyat vs Daulat Parpol menyebutkan bahwa relasi masyarakat dengan pemimpin dalam falsafah Jawa berbeda dengan nilai-nilai kepemimpinan dalam demokrasi.
Mengutip Niels Mulder, dalam masyarakat Jawa rakyat dilarang memikirkan moralitas penguasa apalagi sampai mempertanyakannya, karena itu dianggap tidak etis. Meskipun terkesan anti-kritik, konsep kepemimpinan itu pada dasarnya bertujuan untuk menghindari konflik dan menjaga harmoni.
Seperti pernyataan Aris Huang dalam tulisannya Jokowi-Prabowo political reconciliation as Javanese strategy, dominasi Jawa di Indonesia telah membentuk lanskap politik di Tanah Air. Artinya, besarnya dukungan terhadap Puan di Pileg 2019 sekiranya dapat dipahami sebagai konsep kepemimpinan Jawa seperti disebutkan Fahri Hamzah.
Apalagi, dengan PDIP yang begitu hierarkis dan memiliki kultur trah, sangat wajar apabila kader-kader partai banteng memberikan dukungan terhadap Puan. Ini pula menjadi jawaban atas keluarnya istilah kader celeng terhadap mereka yang mendukung Ganjar.Lantas, apakah kultur ini yang berdiri di balik ngototnya PDIP ingin mengusung Puan?
Ilusi Suara Rakyat
Rasa-rasanya tidak hanya itu. Melihatnya secara sistem dan holistik, akarnya sebenarnya terletak pada mekanisme pencalonan kandidat. Mengacu pada ketentuan Pasal 6A ayat (2) perubahan ketiga UUD 1945, pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Artinya, penentuan kandidat pada dasarnya berada di tangan para elite partai politik.
Simpulan ini persis seperti yang digambarkan dalam elite theory. Teori ini menyatakan bahwa minoritas kecil yang terdiri dari elite ekonomi dan politik memegang kekuasaan paling besar.
Tidak mengherankan kemudian apabila elite theory menyebut demokrasi sebagai utopia. Seperti pernyataan Alexander Hamilton di awal tulisan, frasa “suara rakyat adalah suara Tuhan” atau “vox populi, vox dei” dalam bahasa Latin, pada dasarnya tidak terjadi.
Seperti dalam tulisan PinterPolitik sebelumnya yang berjudul Kita Tidak Pernah Jalankan Demokrasi?, esensi demokrasi — yakni bentuk pemerintahan di mana masyarakat memiliki kewenangan dan kesadaran untuk memilih pemimpin atau legislatifnya — tidak pernah kita rasakan. Semua kandidat pada dasarnya telah melalui lobi-lobi elite, baik elite politik di partai maupun elite ekonomi yang merupakan para oligark.
Dengan mekanisme pencalonan seperti ini, selaku satu-satunya partai yang telah memiliki tiket capres karena memiliki 20 persen kursi di DPR, PDIP dapat dengan mudah mengusung Puan Maharani di Pilpres 2024. Terkait persoalan elektabilitas, partai banteng hanya perlu mencari pasangan yang dapat mendongkrak Puan — yang sejauh ini mengerucut pada Prabowo dan Andika.
Baca Juga: Tiga Periode, Mitos Suara Rakyat?
Jika ingin mengubah mekanisme ini, seperti pernyataan anggota Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini, perlu ada amendemen untuk mengubah ketentuan Pasal 6A ayat (2) agar kandidat tidak harus diusung parpol atau gabungan parpol.
Ini juga sebagai cara untuk membuka pintu bagi capres independen. Seperti pernyataan anggota DPD RI, M. Syukur, jika calon independen untuk cagub, cabup, dan cawalkot diberi ruang dalam undang-undang, mengapa ruang yang sama tidak diberikan untuk capres?
Sekalipun tidak melakukan amendemen karena dikhawatirkan menjadi efek domino dan mengubah pasal-pasal lainnya, mungkin cara yang lebih bijak adalah penurunan presidential threshold (PT) 20 persen. Masalahnya, dengan PT 20 persen, praktis kontestasi pilpres hanya milik tiga hingga lima partai teratas. Partai menengah ke bawah hanya akan menjadi tim pembantu, bahkan pelengkap semata.
Sebagai penutup, ada dua hal yang dapat disimpulkan terkait mengapa PDIP terlihat ngotot mengusulkan Puan meskipun elektabilitasnya rendah. Pertama, sejarah telah membuktikan kandidat kontroversial tetap bisa maju di pilpres. Selain itu, terdapat psikologi pemilih yang setia terhadap kandidat pilihannya.
Kedua, mekanisme pencalonan yang berakar pada partai politik membuat elektabilitas menjadi semacam faktor pelengkap. Jika nanti sudah diusung, berbagai strategi kampanye akan dilakukan untuk mendongkrak elektabilitas kandidat.
Well, kembali mengutip Alexander Hamilton, mungkin kita perlu merevisi frasa “suara rakyat adalah suara Tuhan” menjadi “suara rakyat adalah suara pelengkap.” (R53)