Telah lama PDIP terlihat memiliki tensi dengan Habib Rizieq Shihab (HRS). Terbaru, politisi PDIP Kapitra Ampera mengomentari HRS yang baru bebas agar mengevaluasi metode dakwahnya. Kenapa PDIP terlihat memusuhi kepada HRS?
Tanpa keraguan, Habib Rizieq Shihab (HRS) adalah magnet pemberitaan. Segala tindak tanduknya selalu menjadi buah bibir publik dan headline pemberitaan. Pembebasan bersyaratnya pada 20 Juli 2022 tengah banyak dibahas. Ada gunjingan soal adakah kekuatan politik yang membantunya. Ini misalnya disebutkan aktivis Syahganda Nainggolan yang menilai ada campur tangan Amerika Serikat (AS).
Ada pula yang membahas soal dampak bebasnya HRS terhadap Pilpres 2024. Dalam acara Total Politik, Kuasa hukum HRS, Aziz Yanuar, menjawab pertanyaan berbagai pihak terkait sikap politik HRS di 2024. Menurutnya, kecil kemungkinan HRS akan netral di 2024. Sementara, untuk dukungan ke Prabowo Subianto, Aziz menyebut hubungan HRS dengan Ketua Umum Partai Gerindra itu sudah mencapai titik ‘mulai dari nol’.
Selain soal diskursus-diskursus yang mengikuti pembebasan HRS, ada satu fenomena menarik yang dapat dilihat. PDIP tampaknya cukup genit mengomentari HRS. Politisi PDIP Kapitra Ampera, misalnya, menyebut pembebasan bersyarat ini sebagai kesempatan HRS melakukan introspeksi diri. HRS dinilai perlu mengevaluasi metode dakwahnya agar tidak lagi terkesan provokatif.
Ya, seperti yang mudah ditebak, pernyataan itu memantik komentar balasan. Pendukung HRS, Ahmad Khozinudin, mengingatkan Kapitra agar tidak menggurui HRS soal isi dakwahnya.
Selain Kapitra, politisi senior PDIP Hendrawan Supratikno juga ikut bersuara, khususnya mengomentari pernyataan HRS soal negara darurat kebohongan. Hendrawan memahami pernyataan itu sebagai sebuah pengingat bersama.
“Kita terima sebagai pengingat agar kita jangan gemar mengkambinghitamkan orang lain, sekaligus menguduskan diri sendiri,” ungkapnya pada 20 Juli 2022.
Sama seperti Kapitra, pernyataan Hendrawan juga memantik balasan. Kuasa Hukum HRS, Aziz Yanuar mengingatkan Hendrawan untuk mengurus kasus Harun Masiku dulu sebelumnya mengomentari hal lain.
Selain soal komentar dari berbagai politisi PDIP, pengamat politik Adi Prayitno juga memiliki komentar menarik. Dalam prediksinya, HRS akan mendukung partai politik yang berlawanan dengan PDIP.
“Siapa pun partai politik yang diusung melawan kekuatan pemerintah saat ini, melawan PDIP, melawan Jokowi, di situlah kemudian HRS dan FPI bakal berlabuh,” ungkapnya pada 24 Juli 2022.
Di titik ini, sekiranya kita dapat merangkai satu pertanyaan menarik. Kenapa PDIP dan HRS berposisi berhadap-hadapan secara politik? Lebih frontal lagi, kenapa PDIP terlihat memusuhi kepada HRS, begitu pula sebaliknya?
Peta Ideologi Partai
Sebagai tolakan untuk menjawab, penelitian Diego Fossati, Edward Aspinall, Burhanuddin Muhtadi, dan Eve Warburton yang berjudul Ideological representation in clientelistic democracies: The Indonesian case dapat menjadi tumpuan yang bagus.
Penelitian itu meneliti sepuluh partai, yakni NasDem, PDIP, Gerindra, PPP, PKB, PKS, Demokrat, Golkar, PAN, dan Hanura. Dari sepuluh partai itu, hanya Hanura yang tidak lolos ke Parlemen.
Fossati dkk mencoba menjawab pertanyaan soal apakah partai politik menunjukkan perbedaan ideologi dan sikap terhadap suatu isu di tengah sistem klientelisme di Indonesia. Dalam temuannya, perbedaan ideologi dan sikap ternyata kentara terlihat pada isu Islam. Sementara, soal ekonomi, semua partai memiliki cara pandang yang sama.
Diagram Economic Preferences di atas menunjukkan spektrum ideologi partai tidak memberikan perbedaan atau pembelahan terhadap isu ekonomi. Pada isu kemiskinan, misalnya, semua partai memiliki pandangan yang sama. Menurut Fossati dkk, keseragaman ini menunjukkan partai politik di Indonesia gagal dalam mengartikulasi isu-isu ekonomi.
Temuan ini berkorelasi dengan tulisan Dian Dwi Jayanto yang berjudul Pragmatisme Sebagai Ideologi Partai Politik. Menurutnya, saat ini semua partai politik yang ada menawarkan narasi ekonomi yang sama, yakni membela rakyat kecil.
Sementara, pada diagram Political Islam Index di atas, terlihat perbedaan posisi kentara partai di isu Islam — misalnya soal apakah Islam harus lebih diprioritaskan dari agama lainnya atau soal apakah hukum Islam harus diimplementasikan. Ada perbedaan spektrum terhadap isu-isu itu.
Pada diagram, terlihat bahwa Political Islam Index PDIP, baik pemilih dan politisinya, adalah yang paling kecil. Ini kontras dengan PKS dan PPP yang berada di ujung atau paling besar.
Menurut Fossati, dkk, perbedaan dan pembelahan di isu Islam merupakan artikulasi partai politik terhadap hangatnya isu budaya di Indonesia. Jika di Barat isu ekonomi yang dominan menciptakan pembelahan politik, di Indonesia isu budaya seperti agama yang memainkan peranan penting.
Kembali menegaskan, melalui diagram di atas, Fossati dkk menunjukkan bahwa perbedaan posisi hanya kentara terlihat pada isu Islam. Sama dengan Political Islam Index, PDIP lagi-lagi kontras dengan PKS dan PPP di ujung.
Diametral dengan HRS?
Berdasarkan temuan Fossati dkk, kita dapat menarik dua kesimpulan penting. Pertama, pernyataan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto bahwa PDIP sulit berkoalisi dengan PKS karena perbedaan ideologi adalah tepat. Data menunjukkan, baik pemilih dan politisi PDIP, berbeda sikap dan posisi dengan PKS pada isu Islam.
Kedua, ini menjawab kenapa PDIP dan HRS berposisi diametral atau berhadap-hadapan satu sama lain. Dengan kata lain, posisi diametral itu bukan sejak Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2017, di mana demonstrasi yang dipimpin HRS membuat Basuki Tjahaja (Ahok) dipenjara, melainkan lebih dalam dari itu. Memang ada perbedaan ideologi di antara keduanya.
Menurut Shai Davidai dan Martino Ongis dalam tulisannya The politics of zero-sum thinking: The relationship between political ideology and the belief that life is a zero-sum game, adanya perbedaan atau pembelahan ideologi membuat politik berjalan secara zero-sum game.
Zero-sum game adalah salah satu game theory (teori permainan), di mana hasilnya adalah kekalahan atau kemenangan bagi salah satu pihak. Kemenangan pihak A adalah kekalahan pihak B, begitu pula sebaliknya.
Davidai dan Ongis menggambarkan konflik antara Partai Demokrat dan Partai Republik di Amerika Serikat (AS) seperti zero-sum game. Perbedaan ideologi membuat kedua belah pihak tidak dapat menang bersama-sama. Pasar besar yang didukung Partai Republik kontras dengan ekonomi kesetaraan dan pajak progresif yang didukung Partai Demokrat.
Ideologi dan nilai yang kontras itu membuat konflik menjadi tidak terhindarkan. Menurut Francis Fukuyama dalam tulisannya America in Decay: The Sources of Political Dysfunction, pembelahan atau polarisasi politik yang tajam antara Partai Demokrat dan Partai Republik, membuat kebijakan yang merepresentasikan kebaikan bersama sulit ditelurkan di AS.
Kembali pada PDIP dan HRS, mengacu pada PDIP dan HRS yang menunjukkan posisi yang berbeda terhadap isu Islam, tidak mengherankan kemudian terjadi pembelahan politik antara keduanya. Ini sama dengan Partai Demokrat dan Partai Republik di AS yang berkonflik karena perbedaan isu ekonomi.
Dalam isu pemimpin Islam, misalnya, HRS dan PDIP berposisi diametral. Pada kasus Ahok, kita dapat melihat bahwa HRS sangat menolak masyarakat Islam dipimpin non-Muslim. Sementara, PDIP tidak mempermasalahkan hal tersebut.
Well, sebagai penutup, dapat dikatakan kenapa PDIP terlihat keras kepada HRS karena memiliki perbedaan ideologi dan posisi terhadap isu Islam. Ini sama dengan pembelahan politik di AS antara Partai Republik dan Partai Demokrat dalam menyikapi isu-isu ekonomi.
Di satu sisi, pembelahan itu mungkin dinilai kurang baik. Namun, dari sisi demokrasi, itu dapat dimaknai secara positif. Politik demokrasi memang tumbuh di tengah pertengkaran diskursus narasi. Mungkin, yang menjadi catatan adalah pertengkaran diskursus itu jangan sampai diartikulasikan dengan kekerasan. (R53)