Terungkapnya transaksi misterius di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) senilai Rp300 triliun semakin meningkatkan keresahan publik terhadap kekayaan para pejabat di Indonesia. Beberapa bahkan tidak ragu menunjukkan kemarahannya di media sosial. Kenapa kita sangat mudah terpancing amarah terhadap kehidupan pejabat kaya?
“Behind every great fortune lies a great crime” Daniel Silva, Jurnalis AS
Dalam beberapa minggu terakhir, gonjang-ganjing tentang harta para pejabat Indonesia sepertinya jadi salah satu topik yang paling sering dibicarakan oleh masyarakat.
Berawal dari kasus percintaan yang berujung kekerasan oleh Mario Dandy Satrio, perhatian publik kemudian beralih ke pundi-pundi uang tersembunyi milik ayahnya, Rafael Alun Trisambodo, lalu beralih kembali ke permasalahan yang sepertinya jauh lebih besar, yakni pengungkapan harta kekayaan fantastis yang dimiliki ratusan pegawai di Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Puncaknya mungkin adalah apa yang dikatakan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengenai transaksi misterius dalam Kemenkeu, yang diperkirakan setidaknya bernilai Rp300 triliun. Ini tentu adalah angka yang fantastis, mengingat APBN kita saja pada tahun 2022 berjumlah Rp434,4 triliun. Artinya, kalau memang transaksi misterius itu benar, jumlahnya lebih dari setengah “uang jajan” negara kita pada tahun lalu.
Salah satu hal yang menarik yang kemudian dibicarakan orang adalah bagaimana kasus kekerasan seperti yang dilakukan Mario akhirnya dapat mendorong adanya semacam reformasi dalam institusi perpajakan Indonesia. Mario Dandy adalah game-changer, kata orang-orang.
Ya, hal itu mungkin memang ada benarnya.
Namun, ada satu fenomena menarik lain sesungguhnya yang muncul di balik ramainya bongkar-bongkar harta kekayaan tersebut, dan itu adalah rasa terima kasih yang ditunjukkan para warganet di media sosial atas pengungkapan kekayaan tersembunyi para pejabat Indonesia.
Di akun Instagram @PinterPolitik sendiri, kita bisa menemukan sejumlah komentar yang berbunyi “terima kasih Dandy” di beberapa posting-an yang membahas tentang investigasi kekayaan terselubung para pejabat. Beberapa bahkan ada yang sampai berkelakar ini semua terjadi berkat “jasa” Agnes Gracia, pacar Mario Dandy, yang turut berkontribusi dalam membuat kasus Mario viral dan akhirnya berujung pada “penggeledahan” di Kemenkeu.
Menariknya, banyak juga yang melihat pengungkapan kekayaan ini bukan sebagai informasi baru, karena mereka sebenarnya sudah tahu memang ada beberapa pejabat yang korup di pemerintah. Mereka justru menilai pengungkapan ini sebagai sesuatu yang sifatnya long time coming, atau ditunggu-tunggu.
Seakan memang berjanjian, bisa kita sadari bersama komentar-komentar tersebut menunjukkan ada semacam rasa puas akhirnya orang-orang kaya di pemerintahan berpotensi dipersekusi penegak hukum.
Hal ini kemudian memunculkan sebuah pertanyaan, apakah masyarakat sesungguhnya menyimpan rasa kebencian pada kelompok pejabat kaya? Dan yang paling penting, mengapa hal itu bisa terjadi?
Kecemburuan Sejak Ribuan Tahun?
Kalau kita mau lihat catatan sejarah, kebencian kelompok masyarakat biasa terhadap kelompok elite yang kaya raya tidak jarang berujung pada benturan kekerasan.
Ketika Republik Romawi beralih sistem pemerintahan ke sistem Kekaisaran misalnya, Jenderal Romawi Julius Caesar berhasil mengumpulkan amarah kaum plebeian (rakyat jelata) terhadap kaum patrician (elite), yang kerap dipandang menyimpan kekayaan Republik untuk mereka sendiri. Ini lalu menghasilkan salah satu perang sipil tersengit dalam sejarah.
Tidak tanggung-tanggung, kebencian yang terakumulasi itu kemudian berhasil menjadikan Romawi layak dijadikan contoh sistem Kekaisaran yang paling sukses dalam sejarah.
Lantas, apa yang membuat kita memiliki dendam yang kuat pada orang kaya?
Well, ada satu penelitian yang dilakukan Bradley T. Klontz dalam tulisannya The Wealthy: A Financial Psychological Profile, yang menyebutkan setidaknya ada tiga faktor yang membuat kenapa seseorang bisa begitu membenci individu yang lebih kaya darinya.
Pertama, teori ambivalensi uang. Menurut riset yang dilakukan Klontz, mayoritas dari orang yang menganut pemahaman “anti-kekayaan” atau “uang rentan dikorupsi” umumnya justru memiliki pandangan yang standar ganda terhadap uang.
Hal ini karena untuk membenci orang kaya, seseorang perlu terlebih dahulu memahami kekuatan yang bisa didapat dengan memiliki uang banyak. Akan tetapi, karena memiliki keadaan yang berbeda, orang tersebut akhirnya mencari pembenaran agar dapat meyakinkan dirinya bahwa uang hanyalah sumber kejahatan.
Kondisi ini disebut sebagai ambivalensi uang. Jika orang kaya memiliki karakter yang kurang diinginkan, maka akan lebih mudah untuk merasa senang karena tidak menjadi salah satu dari mereka. Pada akhirnya, kita akan mengambil posisi agar dapat meremehkan mereka yang memiliki kekayaan lebih dari kita agar dapat membuat kita merasa lebih baik tentang diri kita sendiri.
Kedua, psikologi kecemburuan. Mungkin kalau faktor ini sudah cukup jelas, saat kita merasa cemburu, kita kesal karena target kecemburuan kita memiliki akses ke sesuatu yang tidak kita miliki. Kecemburuan kita kemudian meningkat semakin dekat atribut yang diinginkan itu terhubung dengan harga diri kita. Artinya, kalau kita sangat menginginkan uang, maka kita akan sangat mudah cemburu pada orang kaya.
Ketiga, teori deprivasi relatif. Yang satu ini mungkin cukup menarik. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Conchita D’Ambrosio and Joachim Frick pada tahun 2007, ditemukan bahwa ternyata orang-orang di negara-negara yang jauh lebih miskin dan terkadang dilanda perang memiliki tingkat kebahagiaan yang jauh lebih besar daripada rata-rata orang di negara maju.
Ini artinya, kita tidak menilai kepuasan hidup kita berdasarkan realitas objektif, tetapi, kepuasan hidup kita adalah berdasarkan evaluasi subjektif berdasarkan bagaimana kita membandingkan diri kita dengan orang-orang di sekitar kita. Kalau memang begini, mau bagaimana pun juga, keberadaan orang kaya, bahkan tanpa alasan pun, akan membuat orang-orang merasa tidak puas dan akhirnya merasa benci.
Jika memang demikian, maka bagaimana caranya agar kemarahan terhadap orang kaya itu bisa diredam?
Pajak Seharusnya Jadi Peredam?
Seperti yang sempat disinggung di bagian kedua, persoalan kebencian masyarakat biasa terhadap orang kaya sudah berlangsung selama ribuan tahun. Selama ribuan tahun itu, peradaban manusia sebenarnya sudah membuat “senjata” untuk meredam ketimpangan kekayaan, yaitu pajak.
Ekonom ternama, Adam Smith dalam bukunya The Wealth of Nations, menyebutkan bahwa secara prinsipnya pajak diciptakan untuk menciptakan keadilan kekayaan dalam suatu negara. Bahkan kalau perlu, pajak yang diterapkan untuk orang kaya tidak proporsional, artinya lebih memberatkan dibanding pajak yang perlu dibayar oleh kalangan masyarakat biasa.
Smith menggunakan analogi pembagian saham dalam suatu perusahaan untuk menjelaskan perpajakan. Wajib pajak adalah seperti pemegang saham. Dengan demikian, pemegang saham yang lebih besar dalam suatu usaha (orang kaya) diharapkan berkontribusi lebih banyak dari pemegang saham yang lebih kecil (masyarakat biasa).
Tapi sayang, “senjata” yang diharapkan masyarakat biasa itu di Indonesia justru bersifat sangat tumpul. Menurut laporan Kemenkeu pada 2022 lalu, rasio pajak Indonesia hanya memiliki skor 10,4%, tahun 2021 bahkan lebih parah lagi, yakni 9,11%. Padahal rata-rata rasio pajak negara lain di dunia menurut OECD adalah di sekitar 34%.
Jadi, bisa disimpulkan bahwa kebencian sejumlah kelompok masyarakat terhadap orang-orang kaya sesungguhnya menyimpan sebuah perspektif kelam yang mencerminkan salah satu permasalahan besar di Indonesia. Tidak hanya kecemburuan pada orang kaya adalah hal yang nyata, tapi mereka pun tidak akan bisa mengharapkan keadilan kesenjangan ekonomi karena sistem perpajakan Indonesia yang tidak efektif.
Pada akhirnya, kita pun perlu terus memperingatkan diri kita sendiri bahwa kecemburuan yang berlebihan juga adalah sesuatu yang tidak baik. Karena, seperti kata Friedrich Nietzsche, kecemburuan adalah ujian bagi seorang manusia untuk menjadi pribadi yang lebih baik atau lebih buruk. (D74)