HomeHeadlineKenapa Jokowi Menyebarkan Ketakutan?

Kenapa Jokowi Menyebarkan Ketakutan?

Presiden Jokowi dan berbagai menteri terlihat memberikan pernyataan negatif soal ekonomi. Jika ingin soft landing di 2024, kenapa berbagai pernyataan negatif justru dikeluarkan? Kenapa Presiden Jokowi justru menyebarkan narasi ketakutan? 


PinterPolitik.com

Entah sejak kapan, politik selalu diidentikkan dengan kebohongan. Dalam artikelnya yang berjudul Truth and Politics pada tahun 1967, filsuf Hannah Arendt juga menyinggung persoalan ini. Tulisnya, “Tidak ada yang pernah meragukan bahwa kebenaran dan politik memiliki hubungan yang agak buruk satu sama lain.”

Lanjut Arendt, “Kebohongan selalu dianggap sebagai alat penting dan dibenarkan, tidak hanya untuk politisi dan demagog, melainkan juga sebagai keahlian seorang negarawan.”

Dalam kesimpulannya, Arendt seperti menunjukkan kesedihan dan kekalahan. “Melihat politik dari perspektif kebenaran, seperti yang telah saya lakukan di sini, berarti mengambil sikap di luar ranah politik,” begitu simpulnya.

Artikel Arendt itu mengingatkan kita pada sebuah cerita satir soal kebiasaan berbohong politisi. Alkisah, terjadi sebuah kecelakaan pesawat di Amerika Latin. Ketika tengah menggarap ladangnya di siang hari, seorang petani bernama Anthony mendengar ledakan keras. Boom.

Anthony terkejut dan refleks mencari sumber suara. Setelah menelusuri perbukitan sekitar 20 menit, ia menemukan sebuah pesawat dengan keadaan sudah pecah dan terbakar hebat. Bermaksud baik, Anthony kemudian berinisiatif mengubur para korban di sekitar lokasi kecelakaan. 

Selang beberapa jam, ratusan aparat kepolisian datang. Pesawat itu berisi rombongan politisi penting negara. Mereka sedang dalam perjalanan kunjungan ke luar negeri. Safari rutin di tiap akhir tahun.

Beberapa polisi bertanya pada Anthony, “di mana mayat para korban?”

“Sudah aku kubur semuanya,” jawab Anthony singkat. 

“Apakah semua korban meninggal dunia?” timpal seorang polisi berbadan cukup kekar.

“Tidak juga, ada beberapa yang mengaku masih hidup. Tapi mereka politisi, kita tahu mereka kerap berbohong bukan?” jawab Anthony.

Tentu ini adalah cerita fiksi. Tapi, seperti fungsi cerita rakyat pada umumnya, cerita satir itu menggambarkan persepsi masyarakat terhadap politisi yang dinilai kerap berbohong. 

David Runciman dalam bukunya Political Hypocrisy: The Mask of Power from Hobbes to Orwell and Beyond, menangkap dengan tegas kegundahan itu. Tanpa malu-malu, Runciman mengatakan kemunafikan memang merupakan sifat yang melekat dengan politik. 

image 39

Sebuah Keanehan?

Apa yang ditegaskan Arendt pada tahun 1967 dan Runciman pada tahun 2010, membuat kita bertanya-tanya, hingga mungkin terheran-heran dengan berbagai pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan menterinya akhir-akhir ini. 

Jika memperhatikan, secara terbuka dan berkala, berbagai pernyataan negatif seputar ekonomi justru dihamparkan ke hadapan publik. Pada 5 Agustus 2022, misalnya, Presiden Jokowi menyebut 66 negara diprediksi akan ambruk ekonominya. 

“Posisi pertumbuhan ekonomi bukan hanya turun tapi anjlok semuanya, Singapura, Eropa, Australia, Amerika, semuanya,” ungkap Presiden Jokowi dalam acara Silatnas dan Ultah ke-19 Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat. Disinggung pula soal ancaman kelaparan di depan mata, dengan menyebut sudah ada 320 juta orang di seluruh dunia yang berada dalam kondisi kelaparan akut.

Pidato itu menjadi menarik karena tidak diungkap satu kali, melainkan kembali diulang di Sidang Tahunan MPR RI pada 16 Agustus dan Pembukaan Rapat Koordinasi Nasional Pengendalian Inflasi 2022 pada 18 Agustus.

Baca juga :  PDIP and the Chocolate Party

Coba bayangkan, di tengah euforia memperingati hari kemerdekaan, kenapa narasi negatif justru dikeluarkan secara berulang kali?

Di kesempatan yang berbeda, berbagai menteri juga melakukan hal yang sama. Yang paling menarik perhatian mungkin adalah pernyataan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo yang menyebut harga mie instans dapat naik tiga kali lipat pada 9 Agustus. Setelah dibantah tegas oleh Direktur PT Indofood Sukses Makmur Tbk, Franciscus Welirang pada 10 Agustus, Limpo kemudian menyampaikan permintaan maaf.

Ada pula narasi-narasi lain, seperti kenaikan harga BBM dan dampak perang Ukraina yang disampaikan berbagai petinggi negara.

Jika melakukan komparasi, deretan narasi negatif yang terhampar belakangan ini sekiranya cukup aneh. Setidaknya ada tiga alasan untuk mengatakan itu.

Pertama, sejak periode pertamanya, berulang kali Presiden Jokowi menyampaikan optimisme ekonomi. Pada 29 April 2021, misalnya, kendati di tengah pandemi Covid-19, RI-1 optimis ekonomi tumbuh sampai 7 persen.

Kedua, ada inkonsistensi isi pidato. Di Sidang Tahunan MPR RI kemarin, misalnya, optimisme sebenarnya juga diungkapkan RI-1 dengan mengatakan fundamental ekonomi Indonesia kuat. Persoalan ini penting untuk diperhatikan karena Presiden Jokowi mestinya sangat paham pola konstruksi berita media massa. 

Mengutip Tom Nichols dalam bukunya The Death of Expertise, karena kebutuhan mencari views, klik, dan sensasi, media massa memiliki kecenderungan untuk memberitakan narasi negatif. Ini terbukti dengan berbagai media massa yang membuat berita soal ancaman kebangkrutan 66 negara dan ancaman kelaparan akut. 

Ketiga, seperti yang dibahas dalam artikel PinterPolitik yang berjudul Misteri Statistik PDB Sri Mulyani, pemimpin-pemimpin negara seperti di India, Tiongkok, hingga Argentina beberapa kali justru berupaya memanipulasi statistik Produk Domestik Bruto (PDB) mereka agar tidak mendapat sentimen negatif publik.

Bertolak dari sekelumit alasan itu, kita dapat menarik satu pertanyaan penting. Dengan pemerintahan Presiden Jokowi akan berakhir di 2024, dan tentunya ingin soft landing dan meninggalkan political legacy (warisan politik) yang positif, kenapa justru berbagai narasi negatif keluar akhir-akhir ini? 

image 43

Politik Ketakutan dan Tameng Politik

Marc Siegel dalam tulisannya COVID-19 facts obscured by the politics of fear, menjelaskan istilah menarik yang dapat kita refleksikan. Menurut Siegel, ada agenda menciptakan politics of fear (politik ketakutan) dengan memanfaatkan pandemi Covid-19.

Lalu, untuk apa politics of fear berusaha diciptakan?

Menurut John Tierney dalam tulisannya The Politics of Fear, dengan mengutip ekonom Robert Higgs, politics of fear digunakan untuk membenarkan perluasan kekuasaan pemerintah.

Dengan dalih pandemi, pemerintah memiliki justifikasi untuk bertindak lebih represif. Selain itu, ketakutan yang tersebar juga berguna membuat masyarakat lebih toleran terhadap peningkatan tindakan represif kekuasaan.

Yuval Noah Harari dalam tulisannya The World After Coronavirus juga telah menegaskan itu sejak awal pandemi, tepatnya 19 Maret 2020. Menurutnya, pandemi Covid-19 dapat menjadi preseden atas kebangkitan otoritarianisme. Poin utama yang diungkapkan Harari adalah hadirnya surveillance state atau negara pengawasan. 

Tingkat penularan Covid-19 yang tinggi merupakan justifikasi kuat bagi pemerintah untuk menempatkan berbagai CCTV, membatasi kebebasan dan hak privasi warga negara, hingga mengeluarkan aparat keamanan.

Baca juga :  Megawati and The Queen’s Gambit

Di Indonesia, apa yang dijelaskan oleh Siegel, Tierney, dan Harari dengan jelas terlihat. Terjadi berbagai perluasan kekuasaan dan peningkatan penerimaan masyarakat atas itu. Perluasan kekuasaan misalnya terlihat jelas pada pembentukan Peraturan Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).

Perppu yang sudah ditetapkan menjadi Undang-undang (UU) 2 Tahun 2020 itu menjadi perhatian serius karena adanya Pasal 27 yang menyebut segala bentuk alokasi anggaran yang dilakukan oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) tidak dapat dinilai sebagai kerugian negara.

Seperti yang dibahas dalam artikel PinterPolitik yang berjudul “Kenangan Gelap” Sri Mulyani di Perppu Corona?, katakanlah nantinya terjadi alokasi anggaran yang mencurigakan, itu tidak dapat menjadi objek tuntutan hukum, baik pidana maupun perdata.

Politisi PDIP Masinton Pasaribu yang notabene merupakan partai pendukung utama pemerintah, bahkan melayangkan tudingan tajam dengan menyebut penerbitan Perppu itu sebagai kepentingan oligarki, serta merupakan sabotase konstitusi.

Senada dengan Masinton, dalam tulisannya Awas, Penumpang Gelap Krisis Covid-19, Dipo Alam juga menyebut Perppu itu rentan ditunggangi oleh kepentingan oligarki yang disebutnya sebagai “penumpang gelap”. Dipo juga meminjam istilah mantan Ketua Bappenas Kwik Kian Gie dengan menyebutkan penumpang gelap itu adalah para “konglomerat hitam”.

Nah, di titik ini persoalannya menjadi semakin menarik. Dengan sudah meredanya pandemi Covid-19, kenapa pembuatan politics of fear tetap terlihat?

Apakah tujuannya masih sama demi perluasan kekuasaan? Rasanya tidak. Pasalnya, sejauh ini tidak terlihat terdapat pembentukan produk hukum “mencurigakan” seperti Perppu Corona. Selain itu, seperti yang disinggung sebelumnya, bukankah Presiden Jokowi butuh narasi-narasi baik agar soft landing?

Ada dua hipotesis yang dapat dibangun untuk menjawab pertanyaan tersebut. 

Pertama, bukan tidak mungkin Presiden Jokowi sedang menyiapkan tameng politik. Pasalnya, RI-1 mestilah sudah mengetahui narasi-narasi negatif yang akan dikeluarkan berbagai menterinya. Jika mengatakan tidak mengetahui, komunikasi internal Istana berarti sangat buruk.

Singkatnya, jika nanti di akhir jabatan kondisi ekonomi tidak kunjung membaik, Presiden Jokowi dapat berlindung di balik berbagai narasi negatif yang sudah disebarkan.

Kedua, bisa jadi sebaliknya, ini untuk menciptakan wow effect atau efek wah. Jika nantinya di akhir jabatan ekonomi dapat membaik, atau setidaknya stabil, Presiden Jokowi dapat membuat narasi keberhasilan. 

Di tengah kondisi ketidakpastian ekonomi, ia mampu menjaga ekonomi nasional stabil, bahkan berubah menjadi positif. Rolf Dobelli dalam bukunya The Art of Thinking Clearly menyebut ini sebagai contrast effect. Menurut Dobelli, kognisi manusia menilai perubahan dengan membuat perbandingan. 

Artinya apa? Dengan terlebih dahulu memberi gambaran awal, yakni narasi negatif, itu akan menjadi objek perbandingan yang mumpuni di akhir masa jabatan. Sekalipun gagal meningkatkan laju ekonomi, hipotesis nomor satu dapat dilakukan Presiden Jokowi.

Well, sebagai penutup, perlu untuk dipertegas bahwa sekelumit analisis dalam tulisan ini adalah interpretasi semata. Seperti yang disebutkan filsuf Ernst Cassirer, manusia adalah animal symbolicum yang senantiasa menafsirkan tanda dan merangkai simbol-simbol. (R53)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...