Berbagai pihak mengkritik Presiden Joko Widodo (Jokowi) karena menunjuk Heru Budi Hartono sebagai penjabat (PJ) Gubernur DKI Jakarta. Heru dinilai sebagai sosok yang tidak bersih karena memiliki riwayat bersinggungan dengan dugaan kasus korupsi. Lantas, jika benar demikian, kenapa Presiden Jokowi mengabaikan persepsi publik dengan tetap melantik Heru?
“Jokowi is a man of the real-world politics” – Yanuar Nugroho, dalam review-nya terhadap buku Man of Contradictions karya Ben Bland
“Seorang penjabat apalagi satu daerah yang berstatus ibu kota harus bersih dari segala macam kasus yang merintanginya,” ungkap pengamat Hukum Pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar pada 9 Oktober 2022.
Pernyataan itu merupakan respons Abdul Fickar atas kabar penunjukan Heru Budi Hartono sebagai penjabat (PJ) Gubernur DKI Jakarta.
Melansir sejumlah pemberitaan, sosok Heru diketahui bersinggungan dengan sejumlah dugaan kasus korupsi. Pada April 2016, ketika menjabat Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) DKI Jakarta, misalnya, Heru pernah diperiksa KPK terkait kasus suap reklamasi laut Jakarta.
“Presiden semestinya membatalkan penunjukan HBD (Heru Budi Hartono),” ungkap Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesoa (MAKI) Boyamin Saiman pada 8 Oktober 2022.
Well, terlepas dari desakan berbagai pihak, Presiden Joko Widodo (Jokowi) nyatanya tetap melantik Heru sebagai PJ Gubernur DKI Jakarta pada 16 Oktober 2022.
Di titik ini, sekiranya ada satu pertanyaan yang mencuat. Kenapa Presiden Jokowi tetap melantik Heru? Mungkinkah RI-1 tidak menggubris desakan berbagai pihak?
Kebiasaan Jokowi?
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah menyebut alasan di balik penunjukan Heru adalah faktor kedekatan psikologis. Ihwal ini juga diakui sendiri oleh Presiden Jokowi.
“Saya kan sudah kenal Pak Heru lama sekali, sejak jadi apa Wali Kota di DKI, kemudian waktu memegang badan keuangan,” ungkap RI-1 pada 10 Oktober 2022.
Menurut Trubus, menunjuk pejabat yang memiliki kedekatan psikologis dengannya sudah menjadi kebiasaan Presiden Jokowi. Tidak hanya pada posisi jabatan sipil, pada jabatan militer hal serupa juga terjadi.
Senada dengan itu, Aris Santoso dalam tulisannya Jokowi dan Jejaring Perwira Solo, juga menyebut Presiden Jokowi memiliki kebiasaan memilih kolega-koleganya yang dulu berdinas di Solo dalam menentukan posisi di TNI dan Polri.
Sama dengan Trubus, pengangkatan Hadi Tjahjanto sebagai Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) dan kemudian sebagai Panglima TNI juga menjadi contoh Aris dalam tulisannya.
Melihat rekam jejaknya, hubungan Hadi dengan Presiden Jokowi sudah terjalin sejak tahun 2010. Saat itu, RI-1 masih menjadi Wali Kota Solo, sedangkan Hadi adalah Komandan Lanud Adi Soemarmo, Solo.
Pengamat militer Khairul Fahmi juga melihat tendensi yang dijelaskan Aris. Namun, dalam catatannya, kecenderungan tersebut pada dasarnya tidak masalah asalkan figur yang dipilih memenuhi kompetensi yang dibutuhkan.
Lebih lanjut, dalam pandangan Fahmi, pengalaman interaksi dan kerja sama yang sudah pernah terjalin merupakan referensi kuat dan meyakinkan dalam pengelolaan formasi tim dan pembantu Presiden.
Apa yang dijelaskan Fahmi adalah apa yang dijelaskan oleh Niccolò Machiavelli dalam bukunya yang terkenal, Il Principe. Menurut Machiavelli, penguasa yang berasal dari orang-orang baru akan lebih sulit mempertahankan kekuasaannya daripada penguasa yang berasal dari satu keluarga.
Demi kepentingan memperkuat pengaruh politik, penguasa selalu menempatkan orang-orang kepercayaannya agar dapat melakukan kontrol maupun intervensi kebijakan.
Meskipun terdengar melanggengkan nepotisme, praktik ini nyatanya mesti dilakukan karena perumusan kebijakan yang efektif lebih mudah dilakukan apabila bekerja sama dengan pihak-pihak yang telah dipercayai sebelumnya.
Terlebih lagi, mengutip tulisan Sita W. Dewi dan Margareth Aritonang yang berjudul Understanding Jokowi’s Inner Circle, Presiden Jokowi disebut sebagai sosok yang sulit percaya dengan orang lain. Dengan kata lain, mungkin dalam benak Presiden Jokowi, daripada berjudi dengan orang yang baru dikenal, jauh lebih aman untuk menunjuk sosok yang memang sudah dikenalnya.
Lantas, jika Presiden Jokowi memiliki kebiasaan seperti itu, apakah itu menunjukkan RI-1 tidak menjalankan asas demokrasi?
Langkah Realistis?
Terkait pertanyaan tersebut, mungkin beberapa di antara kita akan merujuk pada buku Ben Bland yang berjudul Man of Contradictions: Joko Widodo and the struggle to remake Indonesia.
Di dalamnya, Bland menyebut Presiden Jokowi sebagai sosok yang penuh kontradiksi karena menganut ekonomi liberal, pembaharu politik, penjaga pluralisme, dan seorang neo-otoritarian sekaligus.
Menurut Bland, ekonomi adalah perhatian utama Presiden Jokowi. Sementara demokrasi hanya dilihat sebagai alat untuk meningkatkan kehidupan masyarakat, bukan sebagai tujuan. Presiden Jokowi bahkan disebut tidak memiliki perhatian khusus untuk menampilkan diri sebagai penjaga demokrasi.
Bertolak dari penjabaran Bland, apakah itu menunjukkan Presiden Jokowi adalah seorang neo-otoritarian?
Untuk menjawabnya, ada sebuah review menarik dari Yanuar Nugroho terhadap buku Man of Contradictions.
Review yang dipublis oleh ISEAS – Yusof Ishak Institute itu menyebut Bland menggunakan kacamata yang tidak tepat dalam memahami Presiden Jokowi.
Bland disebut menggunakan perspektif akademik atau teori, yang membuatnya mengkotak-kotakkan realitas. Tegas Yanuar, realitas itu kompleks dan terkadang memang kontradiktif. Seorang pemimpin seperti Presiden Jokowi selalu dihadapkan pada posisi sulit dan dilematis, serta harus memilih.
Yanuar juga sedikit menceritakan pengalamannya di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sama seperti Presiden Jokowi, Presiden SBY juga seringkali dihadapkan pada situasi sulit yang kontradiktif dan dilematis.
Ketika mengambil suatu keputusan, rasanya tidak mungkin untuk memuaskan semua pihak, mesti ada yang merasa dirugikan.
Pada konteks penunjukan Heru sebagai PJ Gubernur DKI Jakarta, situasi dilematis juga sekiranya menghinggapi Presiden Jokowi. Tentu RI-1 mengetahui catatan negatif Heru yang pernah diperiksa KPK, namun, karena dibutuhkan sosok yang sudah dipercaya, pilihan untuk melantik Heru tetap dilakukan.
Terlebih lagi, posisi yang dijabat Heru bukanlah posisi sembarangan. Heike Mayer dan David Kaufmann dalam The Political Economy of Capital Cities, menyebut ibu kota memainkan peran penting dalam membentuk identitas politik, ekonomi, sosial, dan budaya suatu negara.
Sebagai pusat pemerintahan dan pengambil kebijakan, representasi ibu kota tak hanya bersifat simbolis, tetapi juga dalam konteks ekonomi dan perannya sebagai jaringan urban nasional.
Dalam bukunya Media Power in Indonesia: Oligarchs, Citizens and the Digital Revolution, Ross Tapsell menyebut berkumpulnya hampir semua kantor pusat media di Jakarta, secara tak langsung menyebabkan pemberitaan media akan berkiblat pada “kepentingan Jakarta”, yang pada akhirnya membuat isu regional Jakarta seolah-olah menjadi isu nasional.
Singkatnya, Jakarta tidak hanya memainkan peranan penting dalam sektor ekonomi, melainkan juga memainkan peranan yang begitu vital secara politik. Atas dasar ini, tentu sangat realistis apabila Presiden Jokowi menunjuk sosok yang sekiranya berirama dengannya sebagai PJ Gubernur DKI Jakarta.
Kembali mengutip pandangan Khairul Fahmi, ini demi efektivitas kerja sama, khususnya dalam pengambilan kebijakan publik.
Kita tentu melihat berbagai pemberitaan ketika kebijakan Pemprov DKI tidak sejalan dengan pusat ketika Anies Baswedan menjabat DKI-1.
Pada akhirya, ada satu kalimat yang dapat digunakan untuk menjawab keputusan Presiden Jokowi untuk tetap melantik Heru. Itu adalah langkah politik yang realistis.
Seperti kutipan pernyataan Yanuar di awal tulisan, “Jokowi is a man of the real-world politics”. Presiden Jokowi adalah politisi di dunia nyata. (R53)