Fenomena terpilihnya Jokowi menjadi presiden merupakan babak baru dalam perpolitikan Indonesia. Mengutip Jeffrey A. Winters, Jokowi bahkan disebut sebagai presiden terlemah secara politik sejak Gus Dur. Lantas, mengapa sosok outsider atau bukan dari kalangan elite seperti Jokowi dapat menjadi presiden?
“Most people don’t like complexity. They would prefer the world to be simple.” — Catherynne M. Valente, penulis Amerika Serikat
Ketika terpilih pada 2014 yang lalu, berbagai pihak menyebut Joko Widodo (Jokowi) sebagai Obama-nya Indonesia. “A New Hope”, tulis majalah Time untuk menggambarkan mantan Wali Kota Solo ini. Bukannya tanpa alasan, terpilihnya Jokowi sebagai RI-1 merupakan kejutan. Bagaimana mungkin sosok yang bukan dari kalangan elite, bukan petinggi partai, bukan deretan orang terkaya Indonesia, justru dapat mengalahkan Prabowo Subianto yang namanya telah dikenal sejak Orde Baru.
Atas capaian ini, berbagai analisis dilakukan. Salah satu yang paling menarik datang dari Kimly Ngoun dalam tulisannya What Southeast Asian Leaders Can Learn from Jokowi. Menurut Kimly, Jokowi memiliki kemampuan memainkan simbol politik yang sangat mumpuni. Kemampuan mengonstruksi simbol ini juga disebut menjadi pembeda Jokowi dengan pemimpin di Asia Tenggara lainnya.
Bertolak dari Kimly, tidak heran apabila Jokowi begitu lekat dengan label kesederhanaan, kerja keras, dan tentunya merakyat. Melihat gestur-gestur yang ada, Jokowi memang begitu piawai memainkan simbol-simbol yang membuat dirinya identik dengan label-label tersebut. Ia bahkan dinilai sebagai politisi yang mempopulerkan praktik blusukan.
Baca Juga: Jokowi Lebih Hebat dari Anies?
Jika mengacu pada analis politik dari Northwestern University, Jeffrey A. Winters, yang menyebut Jokowi merupakan presiden terlemah secara politik sejak era Abdurrahman Wahid (Gus Dur), faktor kehebatan memainkan simbol mungkin yang menjadi kunci keberhasilan Jokowi terpilih sebagai RI-1.
Atas keberhasilan tersebut, kandidat-kandidat yang akan berlaga di Pilpres 2024 tampaknya mencoba mengadopsi keberhasilan strategi kesederhanaan Jokowi. Di berbagai baliho, pamflet, atau iklan politik yang ada, kerap kita temukan jargon seperti membela rakyat, bersama rakyat, hingga berkoalisi dengan rakyat.
Dari berbagai kandidat yang ada, Ganjar Pranowo mungkin yang terdepan mengadopsi strategi Jokowi. Kelompok relawan seperti Ganjarist, Sahabat Ganjar, dan Jokowi Mania (JoMan) juga menyebut Gubernur Jawa Tengah (Jateng) ini sebagai sosok yang paling cocok sebagai the next Jokowi.
Lantas, apa yang dapat dimaknai dari fenomena Jokowi dan kecenderungan para kandidat meniru politik kesederhanaan Jokowi?
Kita Tidak Suka Orang Kaya
Fenomena berhasilnya politik kesederhanaan, atau tepatnya simbol kesederhanaan dapat kita pahami melalui tulisan Roxanne Roberts yang berjudul Why does everybody suddenly hate billionaires? Because they’ve made it easy di The Washington Post.
Menurut Roxanne, saat ini “miliarder” telah menjadi terminologi negatif. Ini misalnya terlihat dari pernyataan mantan kepala eksekutif Starbucks, Howard Schultz yang mengaku tidak suka dipanggil miliarder meskipun memiliki kekayaan sekitar US$ 3,5 miliar. Terminologi miliarder atau kemewahan telah berubah makna menjadi ketimpangan pendapatan.
Senada, Rhymer Rigby dalam tulisannya It’s easy to hate the rich but harder to justify it di Financial Times juga menyebut ketidaksukaan terhadap orang-orang kaya bertolak dari persepsi masyarakat yang merasakan ketidaksetaraan sosial-ekonomi.
Orang-orang kaya yang memiliki uang miliaran dolar berada di puncak piramida. Jumlah mereka sedikit tapi memiliki pengaruh yang begitu besar. Kondisi ini timpang dengan masyarakat yang berada di bagian bawah piramida. Kendati jumlahnya jauh lebih banyak, pengaruh yang mereka miliki tidaklah besar.
Lebih dalam, persoalan ini dapat kita pahami melalui konsep slave morality (moralitas budak) dari filsuf Jerman Friedrich Nietzsche. Berbeda dengan master morality (moralitas tuan), slave morality adalah mereka yang tidak memiliki daya juang yang tinggi. Alih-alih menantang sulitnya hidup seperti master morality, mereka lebih memilih mengutuk kehidupan.
Baca Juga: Perang Simbol Jokowi-FPI di Istiqlal
Dalam kehidupan sehari-hari, slave morality terejawantahkan dalam perilaku nyinyir. Ketika tetangga membeli mobil Ferrari, misalnya, alih-alih bekerja keras agar bisa membeli mobil yang sama, sering kali kita justru memberikan penilaian buruk, seperti pelabelan sombong.
Penekanan tersebut senada dengan Rhymer Rigby. Menurutnya, meskipun begitu mudah kita membenci orang-orang kaya, namun pada dasarnya kita sulit menjustifikasi alasan kebencian tersebut.
Nah, tendensi psikologis semacam itu yang membuat politik kesederhanaan dapat begitu berhasil. Dalam berbagai diskursus, kita kerap mendengar pernyataan bagaimana baiknya apabila politisi menampilkan diri begitu sederhana. Masyarakat sangat suka itu. Politisi-politisi yang menampilkan kemewahan akan mendapat kritik, tidak disukai, hingga dicaci maki.
Kita ingin melihat sesuatu yang sama dengan diri kita. Karena kebanyakan dari kita bukanlah orang-orang bergelimang harta, kita ingin melihat politisi juga menampilkan hal demikian. Entah bagaimana, kesederhanaan telah bertransformasi menjadi sinyal bahwa sang politisi sama dengan rakyat dan membawa suara rakyat.
Selain faktor psikologis, ada pula nilai-nilai dalam masyarakat, khususnya agama yang selalu menekankan betapa pentingnya kesederhanaan. Dalam berbagai penegasan, kemewahan atau dunia kerap dipersepsikan minor dan disebut sebagai sesuatu yang tidak pantas.
Persepsi yang Ilusif?
Di titik ini mungkin banyak dari kita yang setuju betapa pentingnya politisi menampilkan simbol kesederhanaan. Akan tetapi, apabila berbicara mengenai pejabat atau pembuat kebijakan, faktor kesederhanaan seharusnya bukan menjadi variabel penilaian.
Penegasan itu dapat kita lihat dari Hans J. Morgenthau dalam bukunya Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace. Menurutnya, sangat bias dan menyesatkan apabila menilai kualitas politisi atau pejabat dari nilai-nilai personalnya.
Nilai-nilai personal, seperti niat baik (motif) merupakan data psikologis yang tidak baku. Oleh karenanya, Morgenthau menekankan kualitas politisi harus dilihat dari kemampuan dan dampak dari kebijakan yang dibuatnya. Itu merupakan penilaian yang lebih objektif.
Kemudian, berbicara soal simbol kesederhanaan, jika mengacu pada konsep scarcity error, persepsi kesederhanaan pada dasarnya cukup ilusif. Rolf Dobelli dalam bukunya The Art of Thinking Clearly menjelaskan scarcity error sebagai keadaan ketika seseorang keliru dalam menilai kelangkaan pastilah sesuatu yang berharga atau bernilai.
Tendensi psikologis tersebut yang berdiri di balik tingginya harga emas dan berlian, serta bekerjanya berbagai strategi marketing seperti diskon. Contohnya, dengan adanya tulisan diskon hanya terjadi hari ini, banyak pihak berlomba untuk membeli karena berpikir momen ini sangatlah langka.
Pada kasus politik kesederhanaan atau simbol kesederhanaan, scarcity error benar-benar terjadi. Mengacu pada fakta kebanyakan politisi atau pejabat berasal dari orang-orang kaya, menampilkan diri sebagai sosok sederhana kemudian dipersepsikan sebagai sesuatu yang langka.
Politisi-politisi sederhana ibarat oasis di tengah hamparan politisi yang memperlihatkan kekayaannya dan penuh dengan kenikmatan hidup. Ini kemudian melahirkan logika biner (binary logic), di mana politisi sederhana dipersepsikan baik, sedangkan politisi tidak sederhana dipersepsikan jahat.
Baca Juga: Jangan Dengar Pernyataan Politisi
Masalahnya, kesederhanaan yang ditampilkan politisi sering kali bersifat ilusif karena merupakan pengondisian persepsi publik semata – kita sebut sebagai pencitraan. Terlebih lagi, bagaimana kita menjustifikasi kesederhanaan seorang politisi? Apakah kita dapat memverifikasi langsung ke pihak yang bersangkutan?
Rasa-rasanya hanya sedikit orang yang memiliki privilese semacam itu. Kebanyakan dari kita hanya bertolak dari pemberitaan media massa dan media sosial.
Selain itu, seperti pernyataan Morgenthau, sekalipun politisi tersebut benar-benar sederhana, itu tidak dapat dijadikan acuan untuk menilainya sebagai politisi berkualitas. Kita bisa melihat kasus Jokowi atas persoalan ini.
Kate Lamb dalam tulisannya Joko Widodo: how ‘Indonesia’s Obama’ failed to live up to the hype di The Guardian menyebut Jokowi telah gagal memenuhi ekspektasi sebagai Obama-nya Indonesia. Sosok yang dikenal merakyat dan sederhana ini justru semakin terlihat dekat dengan elite dan menelurkan kebijakan-kebijakan kontroversial, khususnya terkait demokrasi.
Well, sebagai kesimpulan, kita benar-benar harus serius memikirkan terkait kesederhanaan yang lumrah digunakan untuk menilai kualitas seorang politisi ataupun pejabat.
Seperti pernyataan Catherynne M. Valente di awal tulisan, kebanyakan dari kita tidak suka melihat sesuatu yang kompleks. Kita lebih suka melihat sesuatu yang sederhana. Alih-alih memikirkan secara kompleks bagaimana menilai kualitas politisi, kebanyakan dari kita memilih jalan pintas dengan melihat sesuatu yang simple, seperti kesederhanaan. (R53)